“SAYA melihat mega berbentuk ayam jantan di langit. Awan bergerak, menunduk pada si ayam jantan dengan bulu keemasan dari awan yang terkena semburat cahaya matahari senja. Langit meredup sebelum malam tiba. Apa kira-kira arti mimpi yang saya alami semalam seperti saya uraikan tadi?” Raja bertanya pada penasihat sekaligus juru tafsir mimpi langganan istana.
Sang juru tafsir mendengar dengan seksama.
Raja melanjutkan.
“Malam yang kemudian mengantikan petang tak kalah luar biasa penampakannya. Langit dipenuhi jutaan bintang. Rembulan sangat dekat dengan permukaan tanah. Tinggal petik seperti memetik buah mangga Situbondo, kalau mau,” kata Raja.
Ia menanti jawaban juru tafsir, yang selain cakap membaca mimpi Raja juga rajin berkeliaran di pasar-pasar untuk menawarkan jasa menafsir mimpi rakyat jelata.
Tiap hari pasar, Jumat Legi, juru tafsir mimpi buka lapak di pasar.
Orang-orang berkerumun, antre untuk membeli jasanya.
“Apa mimpi sampeyan?” tanya juru tafsir pada pedagang yang giliran konsultasi tiba.
“Saya mimpi melihat laut mengering. Pasirnya dikeruk. Hutan-hutan gundul. Gunung longsor,” kata si pedagang.
“Oh, itu artinya dagangan sampeyan bakal laris. Sampeyan bakal kaya raya, makmur sampai tujuh turunan,” kata juru tafsir mimpi.
“Kok bisa?” pedagang bertanya, ingin ada penjelasan lebih lanjut.
“Pokoknya demikian. Tafsirku tidak pernah meleset. Sudah puluhan tahun saya melakukan pekerjaan ini,” jawab juru tafsir. “Giliran berikut,” ia berteriak pada pengantre berikutnya.
Bunyi genderang mengiringi.
Demikian kurang lebih gambaran cara kerja juru tafsir mimpi.
Banyak orang membutuhkan keahliannya.
Juru tafsir mimpi pandai menyenangkan hati pengguna jasanya.
Taik kucing rasa coklat, mengutip lagu zaman dulu.
“Jadi bagaimana menurutmu arti mimpi saya tadi?” Raja menegur juru tafsir yang tampak berpikir keras.
“Mimpi yang luar biasa,” juru tafsir buka suara. “Itu artinya kerajaan bakal mencapai kemuliaan luar biasa, istilahnya zaman emas. Pada pemerintahan putra baginda nanti negeri ini akan jadi negeri emas. Paling berkilau sejagad raya.”
Raja tersentak.
“Pada pemerintahan penerusku?” tanya Raja.
“Betul,” jawab juru tafsir.
Raja terdiam.
Bagaimana juru tafsir ini bisa paham pikiranku, Raja membatin.
Beberapa hari belakangan Raja memang tengah memikirkan akan kelangsungan tahta. Dia merasa diri telah tua, saatnya untuk bersiap-siap undur diri dan pulang ke tempat asal, sebuah goa di lereng gunung di dekat sungai.
Raja dulunya dikenal sebagai manusia goa.
Bersama permaisuri, Raja dikaruniai anak kembar, putra dan putri.
Dalam kepercayaan lingkungan keluarga Raja, anak kembar harus dipisahkan. Maka, sejak bayi si anak lelaki dititipkan kepada kerabat Raja, petinggi kerajaan juga, dikenal sebagai anggota dewan mahkamah kerajaan.
Kini keduanya telah dewasa.
Putri Raja telah menikah dengan pangeran dari tanah seberang.
“Saatnya putraku kembali ke istana untuk saya persiapkan menggantikanku sebagai raja,” demikian pikiran Raja beberapa hari terakhir.
“Apakah menurutmu putraku telah siap menggantikanku?” tanya Raja pada juru tafsir mimpi.
“Lebih dari siap. Ayam jantan yang baginda lihat dalam mimpi adalah pertanda kesiapan dia. Seperti Hayam Wuruk.”
“Tidak adakah pihak yang berkeberatan mengingat dia masih sangat muda?”
“Awan yang menunduk-nunduk seperti dalam mimpi baginda merupakan pertanda bahwa semua petinggi kerajaan akan menunduk-nunduk seperti awan tersebut. Mereka akan bilang ya sambil menyembah-nyembah apa pun yang baginda Raja ucapkan.”
Raja lega.
Selama ini kelakuan para menterinya persis seperti diucapkan juru tafsir mimpi.
Tidak lama kemudian dipanggillah pulang sang putra untuk tinggal di lingkungan istana bersama Raja dan permaisuri.
Permaisuri ingin menyiapkan putranya bagaimana menjadi penguasa, sebagaimana dia lakukan dulu terhadap suaminya.
Perlu mahkota yang sangat bagus untuk menghiasi kepala putranya yang ia sadari sejatinya tak seberapa isinya.
Dalam hal ini, peran permaisuri terhadap penyelenggaraan kekuasaan sangat besar.
Dilakukan persiapan besar-besaran untuk pengangkatan putra mahkota sebagai Raja.
Istana dihias dengan bendera, umbul-umbul, patung, panggung, dan segala rupa perlengkapan pesta.
Para bintang panggung didatangkan untuk memeriahkan acara.
Busana dan jubah terbaik dibikin oleh penenun paling langka yang dimiliki negeri.
Hanya orang berduit bisa memesan busana dari penenun ini.
Begitu pun alas kaki. Mahal, dari negeri seberang.
Tepat pada saat pengangkatan pangeran menjadi raja suara musik bergema bertalu-talu.
Cahaya berkilauan merah biru kuning menyiram tempat upacara dari segala penjuru.
Jubah keemasan turun dari atas panggung, merengkuh pangeran yang berdiri di bawahnya.
Suasana tambah meriah tatkala confetti berupa potongan kertas kecil warna-warni bergemerlapan mengguyur bagai air hujan di seluruh penjuru ruang pertunjukan.
Itulah akhir dari tontonan panggung berjudul “Raja dan Putranya”.
Pertunjukan dimaksudkan untuk merayakan kebesaran Raja dan monarkinya.
Layar turun, disusul acara curtain call di mana pembawa acara mengumumkan satu persatu nama pendukung acara dan meminta nama yang disebut naik panggung untuk diperkenalkan pada penonton.
Hanya sayangnya, Saudara-saudara, pada acara curtain call ini semua penonton telah pulang.
Tak ada yang menonton pertunjukan sampai selesai.
Mereka bosan.
Pertunjukan dirasa monoton, melelahkan, dengan para pemain yang tidak memiliki kecakapan apalagi kharisma sebagai bintang.
Mereka tidak profesional.
Maklumlah, seperti diperkenalkan oleh pembawa acara di penghujung acara, para pemain sandiwara ini semuanya kalangan petinggi istana, ada perdana menteri, menteri, pembantu menteri, petinggi militer, staf khusus, orang kaya, dan lain-lain.
Yang tersisa di bangku penonton tinggal Raja (yang ini raja yang sebenarnya, bukan yang di panggung tadi) dan keluarganya, sanak saudara para pemain, dan pihak penyelenggara acara alias EO—event organizer.
Bahkan para wartawan kebudayaan telah meninggalkan tempat kecuali yang terhitung media partner.
Itu pun mereka mengikuti acara sambil menggerundal.
Ketika pembawa acara meminta para wakil dari VVIP untuk naik panggung memberikan bunga pada para pemain, sebagian yang dianggil ternyata juga tidak ada, sudah pulang.
Tidak terdengar tepuk tangan untuk acara pemberian bunga.
Ucapan terimakasih terhadap sponsor dan pihak-pihak yang mendukung acara pun tidak mendapat sambutan.
Mereka sudah meninggalkan tempat, atau mungkin juga memang tidak hadir.
Pembawa acara seakan bicara pada ruang hampa.
Sepi.
Raja dengan masygul meninggalkan tempat tanpa dicegat kerumunan manusia yang mengelu-elukan.
Ia sadar acara ini gagal.
Begitu pun para pemain.
Tidak ada manusia yang menyambut dan memberikan selamat.
Yang ada hanya kalangan EO.
Mereka berseragam kaos dengan di punggung tertulis “Penguasa dan Anaknya”.
Di dada bagian kiri terdapat logo EO, bentuknya kayak logo lidah menjulur Mick Jagger dari Rolling Stones.
Mereka sempat berfoto dengan Raja dan para menteri sambil menebar tawa ceria.
Jari membentuk tanda V—simbol cinta.
Foto-foto itu dan foto berbagai adegan pertunjukan mereka sebar di media sosial, diikuti teks batapa pertunjukan sukses luar biasa.
Penonton membludak, bertahan dari awal hingga akhir.
Semua penonton puas seribu persen, kata mereka.
Ditambah kata-kata: inilah pertunjukan terbesar abad ini.***
12/10/2024