Skip to main content
Cerita

Raja Kibul & Putri Champa

By October 29, 20222 Comments

Terilhami kebesaran negeri masa lalu yang rajanya menikahi wanita dari negeri Champa, Raja Kibul dari Negeri Kibul mendadak tergerak ingin mengawini putri Champa. Dengan itu, begitu menurut keyakinannya yang muncul tak kalah mendadak, Negeri Kibul bakal menjadi negeri besar karena aliansi dengan Champa—yang kalau sekarang letaknya termasuk Siem Reap (Kamboja), Luang Prabang (Laos),  Ayutthaya (Thailand), dan lain-lain.

Segera Raja Kibul mengumpulkan para petinggi untuk menyampaikan niatnya.

Meski heran, mengapa harus putri Champa kalau mengingat di dalam negeri wanita cantik tak kurang banyaknya, seperti biasa tak ada yang mempertanyakan kehendak raja.

Apa pun keinginan raja, para pembantu serta merta berlomba menyatakan dukungan. Itulah cara mereka menunjukkan kesetiaan tanpa reserve terhadap raja.

“Keputusan tepat,” kata menteri dalam negeri. “Putri Champa adalah makhluk tercantik seluruh Asia.”

“Seluruh muka bumi,” pemuka agama mengoreksi, tak mau kalah memberikan dukungan.

“Kami segera menyiapkan 1.000 kapal jung menuju Champa,” menteri maritim berucap sigap. Dia adalah tangan kanan raja, menguasai seluruh sumber daya kerajaan. “Kami siap kalau raja membutuhkan lebih banyak lagi.”

“Cukup 1.000. Jangan berlebihan. Negeri habis pageblug,” raja menukas. “Kita harus prihatin, sekali pun hanya pura-pura.”

Seluruh petinggi manggut-manggut.

Dengan persiapan kilat, berangkatlah ekspedisi Champa. Gugusan kapal jung meninggalkan Jawa, mengarah ke Sumatera, menyusuri selat Malaka, naik ke daerah Indochina, menuju pusat kerajaan Champa, yakni Hoi An (Hoi An adalah kota di Vietnam, sekarang kota ini di bawah perlindungan Unesco).

Putri Champa, namanya Mai Anh, tidak menduga kedatangan tamu dari jauh, membawa oleh-oleh berupa kain sutera aneka warna, perhiasan emas dan perak, cenderamata dari kayu dan perunggu, tak ketinggalan rempah-rempah yang sulit didapat di negeri ini.

Seluruh Hoi An terpesona. Luar biasa Raja Kibul dari Negeri Kibul. Hartanya banyak, tentulah raja ini pandai berdagang, pikir mereka.

Sebaliknya, rombongan Kibul tak kalah takjub. Mereka terpesona melihat kecantikan Mai Anh. Kulitnya putih bersih, membayang urat-urat halus di balik kulit. Pipi bak pualam. Kakinya bagus, tumitnya ranum kemerahan.

“Aku pengin menggigitnya,” Raja Kibul gemas.

“Baru kali ini aku ketemu orang suka menggigit,” batin Mai Anh yang agaknya diam-diam menangkap pikiran tamunya.

Usai menikmati jamuan makan malam dengan aneka rupa hidangan, tibalah saat Mai Anh menanyakan maksud kedatangan Raja Kibul.

“Apakah maksud Yang Mulia Raja jauh-jauh datang berkunjung ke negeri kami, Hoi An yang sederhana ini?” tanya Mai Anh melalui penerjemah.

“Jawab terus terang saja, tidak usah basa-basi,” menteri maritim membisiki raja. Dia orang yang kurang sabaran, sekaligus sosok paling berpengaruh di istana.

“Saya ingin menjadikan tuan putri Mai Anh istri saya,” jawab raja.

“Waduh,” Mai Anh kaget.

Begitu pun para pembesar yang mendampingi.

Baru datang tiba-tiba ngajak nikah. Ini agak kurang lazim di Hoi An. Di negeri itu biasanya orang kenalan dulu, berkasih-kasihan, kalau cocok hubungan diteruskan menjadi pernikahan. Ada pula yang selamanya memelihara hubungan saling mengasihi, tanpa  menikah. Hubungan asmara memiliki aspek spiritual yang bersifat pribadi. Suka-suka yang menjalani. Yang demikian ini tak mungkin terjadi di Negeri Kibul.

“Bagaimana ini?” Mai Anh berbisik minta pendapat penasihat kerajaan.

“Sebaiknya ratu mengajukan syarat,” penasihat memberikan pandangan.

Mai Anh mengangguk-anggukkan kepala.

Raja dan rombongan menunggu jawaban Mai Anh.

“Baiklah,” kata Mai Anh kemudian. “Saya hanya bisa menerima lamaran ini dengan suatu syarat,” lanjutnya.

“Apa syaratnya?” Raja Kibul bertanya.

“Apakah nama ibu kota Negeri Kibul?” tanya Mai Anh.

“Kibuli,” jawab raja.

“Saya tidak mau di Kibuli. Bangunkan ibu kota baru untuk saya,” kata Mai Anh.

Kaget rombongan Negeri Kibul mendengar permintaan Mai Anh.

Membangun ibu kota baru, untuk seorang istri? Memindahkan ibu kota, untuk putri Champa? Bukankah persyaratan ini kelewat berat, kalau tidak malah bisa disebut mengada-ada?

Para petinggi Negeri Kibul saling pandang. Tidak ada yang buka suara.

Raja Kibul pun terdiam sejenak, sebelum kemudian tersenyum dan buka suara: “Saya terima persyaratan tuan putri.”

Lagi-lagi kaget para pembantu raja. Bagaimana raja menyanggupi persyaratan yang tak masuk akal ini? Apakah pesona pada pandangan pertama bisa membuat orang jadi sedemikian buta?

Hanya saja, lagi-lagi tidak ada yang berani berkomentar mengenai keputusan raja.

Mereka kalangan sendika dawuh.

“Kapan ibu kota itu hendak dibangun?” tanya Mai Anh.

“Secepatnya,” jawab raja.

“Berapa lama pembangunannya?”

“Satu malam.”

Samber geledek. Terperanjat Mai Anh dan para petinggi Hoi An. Begitu pun rombongan Negeri Kibul.

Raja hendak membangun ibu kota, hanya dalam satu malam.

Sangat sulit dipercaya.

Bahkan keputusan ini lebih mengejutkan bagi rombongan raja daripada pihak Mai Anh.

Sangat beresiko.

Apakah raja hanya ngibul seperti biasanya, beberapa petinggi Negeri Kibul yang tahu sifat raja bertanya dalam hati.

Seperti julukannya, Raja Kibul memang tukang ngibul.

Persoalannya, kali ini taruhannya teramat besar.

Pertemuan usai. Rombongan raja meninggalkan Hoi An.

“Bagaimana raja hendak membangun ibu kota?” menteri keuangan bertanya dengan waswas kepada raja.

“Tidak perlu khawatir. Tidak ada keuangan kerajaan dipakai,” jawab raja.

Menteri keuangan lega.

“Saya akan mengerahkan pasukan jin,” kata raja.

Terkesima semua yang mendengar rencana raja. Raja selalu di luar dugaan. Kadang di luar nalar.

“Mengapa tidak,” raja meyakinkan para menteri dan petinggi. “Inilah yang disebut kearifan lokal. Kalian, para menteriku, kurang baca, kurang paham sejarah. Kalian tidak pernah mendengar, raja Bandung Bondowoso dari kerajaan Pengging dengan bantuan jin membangun 1.000 candi hanya dalam semalam untuk memenuhi permintaan putri Roro Jonggrang.”

“Oohhhhhh…,” semua berseru serentak.

Baru sadar mereka semua mengenai keistimewaan negeri.

“Ya, ya, kearifan lokal,” ucap juru bicara kerajaan menirukan ucapan raja seperti orang baru bangun tidur.

Ini nanti yang hendak dia wartakan kepada penduduk seluruh negeri. Raja hendak membangun ibu kota baru dalam semalam. Rakyat akan percaya. Selama ini rakyat percaya apa saja, kecuali apa saja yang memerlukan pemikiran.

Di antara lima gunung raja bersemedi, memanggil raja jin dan pasukannya.

Berteman sejak lama dengan Raja Kibul, raja jin dan ribuan anak buah muncul seketika.

“Wkkkkkkkwzzzzzzhhhzzzz,” raja jin menyapa raja.

Bahasa kalangan jin hanya dipahami orang-orang tertentu.

(Arti suara di atas: apa kabar? Apa yang bisa para jin bantu?).

“Ssschawrzzzzzneggggerrr,” jawab raja.

(Kabar baik, segar bugar).

“Ccllgkkkk?” tanya raja jin.

(Kamu minta apa?).

“Kkkpppttttkktttcrrt.”

(Tolong bikinkan aku ibu kota baru dalam semalam).

“Okay. Cruttt.

(Kali ini campuran bahasa Inggris).

Tanpa aba-aba, para jin bekerja. Mereka memang begitu: spontan, penuh inisiatif, kreatif, rawe-rawe rantas malang-malang tuntas.

Berbeda dari jin kelompok Prambanan yang bisa dikelabui Roro Jonggrang, pembangunan candi kurang satu karena mengira pagi telah datang dikarenakan ada suara kokok ayam jantan, jin lima gunung lebih cerdas.

Ada atau tidak ada kokok ayam mereka terus bekerja dengan riang gembira. Sambil menyanyi, berdiskusi, baca puisi, menari, olah raga, ngayang, dan lain-lain.

Tidak heran, dalam semalam ibu kota baru benar-benar terbentuk.

Tidak ada yang kurang, komplit sesuai pesanan putri Champa.

Dibangun jin, tentu saja kota ini sifatnya maya, tidak bisa dilihat secara kasat mata.

Sebagaimana tiap kota memiliki semboyan, semboyan ibu kota baru adalah “Aku Percaya Maka Kamu Ada”.

Peresmian berlangsung pada malam 1 Suro—malam yang dianggap sakral, wingit.

Hanya orang yang belajar sastra dan sejarah tahu peristiwa tersebut.***

30/10/2022

Join the discussion 2 Comments

Leave a Reply