Raja Kibul terbaring di tempat tidur tak bisa apa-apa.
Apa yang dikhawatirkan dirinya sendiri sebelumnya dan dikhawatirkan banyak manusia pada umumnya agaknya kian mendekat: bahwa manusia tidak hidup selamanya.
Semua akan mati pada waktunya.
Persoalannya pada Raja Kibul saat ini ia mati tidak hidup tidak.
Sudah sekian waktu ia terperangkap keadaan seperti itu. Tubuh seperti batang kayu tidak bergerak. Kesadaran telah hilang. Hanya saja ia tetap bernapas. Berarti masih hidup.
Keluarga—maksudnya tiga istri yang semuanya tak memberinya keturunan—telah ikhlas.
Kalau baginda hendak pergi, pergilah, kami semua telah rela, demikian kurang lebih doa ketiganya.
Berbagai ikhtiar dilakukan, termasuk memanggil tabib, untuk melapangkan jalan agar raja tidak menderita lebih lama di dunia.
Semua menunggu kabar baik akan meninggalnya raja. Hanya saja sejauh ini mereka tampaknya masih harus menunggu dan menunggu.
Kapan sebenarnya raja akan mati.
Ahli nujum didatangkan untuk meramal kapan waktu raja tiba.
Ni Rara Kembang Sore, demikian nama ahli nujum, mengatakan tidak akan lama lagi.
Ia membakar dupa dan menyabetkan daun kelor pada raja.
“Tiga hari lagi beliau akan mangkat,” kata Ni Rara layaknya pemegang kunci akherat.
Segera istana membikin persiapan.
Tempat pemakaman digali.
Seluruh pejabat mempersiapkan diri untuk melakukan penghormatan terakhir.
Para juru serat diminta bersiap-siap mencatat peristiwa penting ini, yakni meninggalnya Raja Jayasukangibul atau lebih dikenal dengan sebutan Raja Kibul.
Negara tengah menyongsong tibanya hari besar: hari besar wafatnya Raja Kibul.
Bahkan ada gladi resik.
Sampai kemudian hari yang ditunggu tiba.
Pagi, siang, sore, malam.
Semua kecele. Raja tidak jadi mangkat.
“Ni Rara tidak bisa dipercaya. Tak lebih tukang ngibul,” gerutu salah satu istri raja. “Mana bayarannya mahal.”
Rakyat yang tidak menyukai raja berseloroh: “Dasar Raja Kibul. Sudah ditetapkan hari kematiannya pun masih ngibul, tak jadi mati, ha-ha-ha.”
“Jangan-jangan soal sakitnya raja pun kita dikibuli,” sahut yang lain. “Kita tidak melihat sendiri apa yang terjadi di dalam istana. Tidak yang tua tidak yang muda, istana isinya tukang kibul.”
Begitulah celoteh rakyat yang tidak percaya pada penguasanya.
Selama raja absen, pemerintahan diambil alih oleh Patih Joyodigdo.
Sudah biasa Patih Joyodigdo menangani segala urusan pemerintahan. Layaknya perdana menteri, berkuasa atas roda pemerintahan. Raja cuma simbol.
Patih Joyodigdo, usianya lebih tua dari raja, adalah sosok berpengalaman, banyak makan asam garam pemerintahan.
Dia punya hubungan dengan penguasa-penguasa negeri seberang seperti Champa, Ceylon, Calicut, dan lain-lain.
Lebih penting lagi, ia punya hubungan baik dengan adikuasa Asia pada zamannya, yakni China di bawah dinasti Yuan (Yuan Shi).
Itu membuat posisinya dalam pemerintahan dalam negeri sangat kokoh.
Gugusan kapal dagang China sempat datang waktu itu. Dalam rombongan dagang tersebut ikut serta seorang tabib. Tabib China terkenal andal.
Diundanglah sang tabib oleh Patih Joyodigdo untuk melihat kondisi raja.
“Raja memiliki pegangan ilmu yang sangat kuat. Kalau ilmu itu tidak dilepas raja tidak akan mati, haiya,” begitu kurang lebih kata si tabib melalui penterjemah.
“Jadi harus bagaimana?” tanya Patih Joyodigdo.
“Harus dicari di mana dulu raja mendapatkan ilmu itu. Hanya yang memberi bisa mengambilnya kembali, haiya,” jawab tabib.
Joyodigdo menyampaikan apa yang dikatakan tabib China pada pihak keluarga.
Tercerahkan keluarga, merasa paham sekarang semuanya, mengapa raja tak kunjung wafat.
Ilmu kibul harus dilepas.
Dulu raja mendapatkan ilmu kibul di Taman Hutan Kibul, kawasan sakral berupa cekungan lembah dikelilingi lima gunung tempat bersemayam para dewa.
Hanya dewa yang bisa melepas ilmu kibul raja.
Setelah rapat, disepakati tiga istri raja berangkat ke Taman Hutan Kibul dikawal beberapa petinggi istana dan para para prajurit.
Sesampai rombongan di Taman Hutan Kibul, melalui ritual khusus dipimpin spiritualis istana, lima dewa muncul.
Penampilan para dewa di sini tidak seperti penampilan para dewa pada umumnya yang terikat pakem, menganggun-anggunkan diri.
Dewa lima gunung tampilannya agraris.
Suka-suka sendiri, kadang ada yang memantas diri memakai kacamata.
Harap diketahui, dunia para dewa sifatnya relatif, tidak terikat ruang dan waktu, bisa apa saja, tidak ada istilah anakronisme.
“Ada apa ini sosialita kota ayu-ayu berbondong-bondong ke sini,” ucap penguasa tertinggi dewa gunung (lihat, bahasanya bisa terdengar kontemporer).
“Ampun paduka dewa yang mulia,” ucap istri tertua asal Kediri, bibirnya tipis, paling fasih di antara istri-istri raja lainnya. “Kami ingin dewa mencabut ilmu kibul yang pernah dewa berikan pada suami kami, Raja Jayasukangibul.”
“Kenapa? Kalian dikibuli juga? Raja punya cemceman lagi? Itu bagian dinamika urban tho…,” kata dewa ini ngawur.
“Oooh, bukan itu. Raja sakit tak kunjung wafat, konon karena ilmu sakti yang dimilikinya. Mohon dewa sudi mencabutnya.”
“Tidak gampang. Ilmu ngibul terlanjur manjing pada suamimu. Kamu tahu tho arti manjing. Embedded. Sudah kalian pulang saja. Sebentar lagi ada kabar duka dari istana.”
Para dewa lenyap.
Semua celingukan.
Kabar duka dari istana.
Dewa kalau bicara memang penuh teka-teki, tidak gamblang.
Kita harus pintar-pintar mengartikannya.
Ucapan dewa tadi bisa diartikan bahwa sebentar lagi raja akan mati.
Syukurlah.
Dewa lebih bisa dipercaya daripada Ni Rara.
Ni Rara cuma dibesar-besarkan orang yang gumunan.
Mereka kembali ke ibukota dengan perasaan lega.
Betul juga. Begitu sampai ibukota mereka disambut kabar duka dari istana.
Patih Joyodigdo baru saja meninggal tadi pagi.
Mendadak.
Sepertinya serangan jantung.
Oh, dewa jagat batara….
Mengapa bisa jadi begini….
Alam menyimpan rahasia dan kemungkinan, melampui apa yang bisa kita pikir dan harapkan.
Baru semua sadar betapa manusia kadang keblinger.
Hanya mampu mendengar apa yang ingin didengar.
Hal lain yang tak kalah mengagetkan, seiring meninggalnya Patih Joyodigdo perlahan-lahan raja bergerak, kemudian bangkit, menjadi sehat walafiat seketika.
Seluruh negeri bertanya-tanya.
Tersebarlah desas-desus, selain ilmu kibul raja menguasai ilmu lain, ilmu yang mampu menghindarkan pemiliknya dari kematian.
Dikenal kalangan luas, ilmu tersebut namanya rawa rontek.
Ya, rawa rontek.
Ilmu langka. Hanya segelintir orang menguasainya. Ternyata raja memiliki ilmu rawa rontek.
Raja bakal hidup abadi.
Tidak bisa mati.
Setiap kali raja sakit, tak berdaya seperti kehabisan batere, orang-orang terutama kalangan istana waswas.
Siapa akan jadi tumbal kali ini?
Selalu ada korban.
Begitu ada yang mati, raja segera bangkit kembali, sehat walafiat, bahkan terlihat tambah muda.
Kekuasaan bertransformasi dari waktu ke waktu.
Memerintah dengan ilmu kibul, kebohongan, kosok balen, lain diucapkan lain dilakukan, kekuasaan raja menjadi semacam kutukan bagi negeri.
Akibat dikondisikan oleh kebohongan dari generasi ke generasi, dari abad ke abad, dari orde ke orde, negeri lantas menjadi negeri yang tidak pernah tahu apa lagi paham mengenai kebenaran.
Sejarah digelapkan.
Kebenaran tidak ada.
Kasunyatan tidak dikenal.
Sebuah negeri tanpa masa lalu, yang berarti juga tanpa masa depan.
Dalam teater rakyat ketoprak, cerita mengenai negeri itu muncul dengan lakon berjudul: Sirnaning Kasunyatan Jenggala.
Teroktok-tok-tok-tok-tok.***
17/7/2022
Rocky Gerung kl baca cerita ini pasti ketawa 😅