Skip to main content
Cerita

Seusai Ngopi di Payangan

By April 2, 2022No Comments

Diberi kesempatan tinggal di villa milik pasangan yang murah hati, Fida dan Gunadi, saya merasa seperti Hermann Hesse tinggal di Casa Camuzzi, Montagnola, Switzerland. Villa ini, namanya Umahkaja, terletak di Payangan, Gianyar, antara Ubud-Kintamani.

Sangat hening.

Hanya ada saya berdua istri ditemani beberapa aisten di villa di atas tanah seluas kampung.

Pantas Fida waktu itu menyebut villanya di Bali sebagai “di kampung”.

Ia dan Gun di Jakarta.

Di kejauhan tampak bukit, lembah, ngarai dengan latar belakang Gunung Baturiti.

Pelukis Walter Spies tidak mengada-ada.

Kabut berlapis-lapis menjadi latar depan bukit, lembah, dan gunung itulah alam Bali yang ia lihat.

Bali sebagaimana dilihat Walter Spies

Saya orang yang sungkanan.

Meski disuruh anggap rumah sendiri, nikmati saja wine yang ada, silakan baca buku-buku di ruang atas yang kamu suka, tidak dengan serta merta saya merasa ini rumah sendiri, menghabiskan semua persediaan minuman tuan rumah.

Edan apa.

Merasa harus hati-hati agar lain waktu diizinkan tinggal lama lagi.

Hanya agaknya villa ini yang sebaliknya merasa memiliki saya.

Seluruh gejala di bumi memiliki roh.

Saya sangat betah di sini.

Satu sudut ruang dengan meja kerja dari kayu tua merupakan tempat terfavorit.

Sehari-hari saya duduk di situ, baca buku, membikin manuskrip, membuka laptop, sembari menikmati cuaca yang berubah-rubah.

Permai tatkala ada matahari, melankolis ketika hujan dan kabut turun.

Jadi ingat tahun 90an, ketika saya membikin buku kumpulan cerpen dengan latar belakang Bali berjudul Sarabande.

Waktu itu banyak yang mengaku menyukai buku tersebut.

Romantis. Ceweknya cantik-cantik, kata mereka.

“Kamu saya namai Beranda Hujan Ilham,” saya berkata pada sudut ruang villa ini.

“Biar kamu jadi pasangan kamar tempat tinggal saya di Ciawi yang saya beri nama Ranjang Bulan”.

Beranda Hujan Ilham

Angin sejuk berembus pertanda pernyataan saya diterima.

Pagi hari saya jalan-jalan di sawah-sawah sekitar, ditemani Made Wita.

Ikut mengurusi tempat ini, Wita—sebagaimana kebayakan orang Bali—adalah petani dan seniman.

A farmer by day, an artist by night.

“Di sana sawah saya,” Wita menunjuk kejauhan.

“Setahun panen berapa kali?” tanya saya.

“Dua kali. Setiap kali habis panen sawah didiamkan dulu. Kalau langsung ditanami lagi bisa panen tiga kali tapi hasilnya kurang bagus. Bumi juga perlu istirahat,” ucapnya.

Saya sependapat.

Bumi—sebagimana diri kita—perlu istirahat, tidak bisa digeber habis-habisan demi produktivitas.

Ambruk kehidupan kalau caranya demikian.

Wita di sawah

Selain padi di kampung ini banyak pohon besar seperti durian, cengkeh, dan leci.

Payangan pernah terkenal dengan lecinya.

Pohon besar dengan akar menjulur-julur mengingatkan saya pada Hermann Hesse seperti saya sebut di awal tulisan.

Saat tinggal di Casa Camuzzi, pengarang penerima Nobel Sastra itu setiap pagi jalan-jalan di hutan sekitar.

Hesse pernah mengaku, pelukisan hutan-hutan, pohon beringin besar tempat Siddharta mendapatkan pencerahan dalam novel dengan judul sama, sebenarnya ia garap berdasar pohon-pohon yang ia lihat di lingkungan tempat tinggalnya, Casa Camuzzi.

Akar, semak, Hermann Hesse

Betul yang diajarkan guru silat saya, ilmu berasal dari alam.

Di Payangan, tanah sorga tempat para dewa (kata Payangan berasal dari Parahyangan yang berarti tempat para dewata), saat jalan-jalan sore saya melewati pondok di hutan sunyi.

Sangat asri pondok tersebut.

Di depannya terdapat kolam dengan teratai tengah mekar. Ikan dan udang meloncat-loncat.

Kanan kiri berhamburan bunga nagakusuma, andung, karawira, kayu mas, menur, kayu puring, dan lain-lain.

Kelapa gading kuning menjuntai di sudut halaman.

Penghuninya, pria berwajah cerah, berpakaian pendeta dengan rambut panjang digelung ke atas menegur, mengajak saya mampir.

Senang hati saya menerima tawarannya.

Saya memperkenalkan diri sebagai penulis yang tengah menjalani residensi.

Ia mengernyitkan dahi.

“Mencari ilmu dan pengetahuan di desa-desa,” saya menjelaskan.

Setelah berbasa-basi sana-sini, ia bertutur tentang cerita lama, bahwa perdikan Bali terdiri dari biara Baharu, Kadikaranan, Purwanagara, Wirabahu, Adiraja, dan Kuturan.

“Itulah enam kebudhaan Bajradara, biara kependetaan,” ucapnya.

Ia melanjutkan:

 

Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri

Terjaga dan terlindungi segala bangunan setiap orang budiman

Begitulah tabiat raja utama, berjaya, berkuasa, perkasa

Semoga kelak para raja sudi membina bangunan suci

 

Maksudnya agar musnah semua durjana dari muka bumi laladan

Itulah tujuan melintas, menelusur dusun-dusun sampai di tepi laut

Menentramkan hati pertapa, yang rela tinggal di pantai gunung dan hutan

Lega bertapa brata dan bersamadi demi kesejahteraan negara

 

Petang tiba.

Kembali ke Umahkaja, istri bertanya saya jalan-jalan kemana saja.

Saya ceritakan pengalaman di atas, tentang pondok di tepi hutan, bunga-bunga, pertemuan dan perbincangan saya dengan seorang pendeta.

Umahkaja sebagai Casa Camuzzi

“Kamu mengada-ada,” tukasnya.

Ia hapal tabiat dan kebiasaan saya: gemar mengarang-ngarang cerita.

Memang demikian. Kadang bahkan saya mencurigai diri sendiri, jangan-jangan semasa jadi wartawan saya juga cuma mengarang-ngarang.

Mudah-mudahan tidak.

Yang suka menciptakan hoax adalah penguasa sebagai constant liar.

Sekarang ini saya merasa bukan lagi utusan berita, tapi cerita.

Apa yang saya ceritakan di atas tidak ada dasarnya kecuali buku bacaan.

Dalam hal ini adalah novel-novel Hermann Hesse, juga buku Tafsir Sejarah Nagara Kretagama oleh Prof Dr Slamet Muljana.

Sewaktu jalan-jalan pagi ini saya tidak ketemu siapa-siapa kecuali orang-orang di pasar Payangan.

Di pasar bersama Made Wita saya mampir makan di warung nasi campur.

Dilanjutkan ngopi.

Lalu muncullah cerita ini, saya sebut Cerita Seusai Ngopi yang sama sekali tidak persis seperti saya alami.***

Payangan, 3/4/2022

Leave a Reply