Skip to main content
Cerita

Since I’ve been Loving You

By December 15, 20222 Comments

Mungkin karena pengalaman misterius berupa kemunculan cahaya yang bisa berkata-kata di stasiun Ekkamai, Bangkok, stasiun itu kemudian menjadi tempat sangat pribadi bagiku. Dalam mood sedih aku ke situ, seperti biasa duduk di bangku peron.

Baru saja ada kabar dari Jakarta, sahabat yang kuanggap kakak sendiri meninggal dunia. Beberapa hari sebelumnya, teman yang tak kalah baik, meninggal dunia di Singapura.

Kutatap patung Buddha di kejauhan.

Kesedihan, penderitaan, samsara, ada kaitan dengan kemelekatan. Oleh karenanya semua makhluk, all the sentient beings, hendaknya belajar melepaskan.

Agak sayang, apa yang kuketahui serba sedikit itu tak bisa menghiburku.

Stasiun—seperti biasanya—sepi.

Kereta datang dan pergi. Para penumpang  turun dan segera semua bergegas meninggalkan stasiun.

Tidak ada yang duduk-duduk seperti diriku.

Semakin malam kuperhatikan di stasiun ini kereta hanya menurunkan penumpang. Tidak ada yang naik.

Semua orang tampaknya pulang. Bukan pergi.

Makanya banyak buku judulnya “pulang”. Salah satunya dibikin sahabatku, judulnya Jalan Pulang. Bagus sekali.

Angin berhembus.

Belakangan Bangkok dingin, tapi kali ini tiba-tiba aku merasakan dingin yang lain, berbeda dari dingin udara yang dihembuskan angin malam.

Pasti ia datang lagi, begitu perasaanku.

Terasa ada sesuatu di sebelahku.

“Adakah engkau datang, cahaya…,” ucapku.

“Iya,” katanya. “Engkau kelihatan sedih.”

Aku menoleh.

Cahaya duduk di sebelahku. Ia rupanya suka duduk di sebelahku.

Waktu kuajak minum bir kala itu ia juga menggeser kursinya merapat ke sampingku.

Cahaya ini mesra.

“Sahabatku meninggal dunia,” kataku.

Ia diam saja.

“Apakah engkau tidak pernah ditinggal mati teman?” tanyaku setengah meminta simpati.

“Di dunia cahaya tidak ada kematian,” jawabnya.

Ooh, pantas. Mustinya aku paham, dunia roh adalah dunia keabadian. Tidak ada kematian. Yang ada adalah kebangkitan, inkarnasi, reinkarnasi dan semacamnya, itu pun kalau kita percaya.

Kujelaskan padanya siapa yang kumaksud. Ia sosok yang memberi warna khusus pada kehidupan di suatu masa, sehingga masa itu menjadi berharga untuk dikenang. Tanpa kenangan kehidupan manusia kosong tidak ada apa-apanya. Seperti robot, kataku.

Entah mengapa tiba-tiba aku lancar bicara.

“Dan memang robot. Petuah hidup yang  diobral banyak orang dan mereka bagikan kemana-mana adalah kutipan dari piranti informasi digital. Kata penelitian orang yang gemar menyebar petuah melalui piranti digital umumnya adalah orang-orang yang tidak terlalu pintar.”

“Aku membaui sesuatu,” kata cahaya menghentikan ocehanku.

“Bau? Bau apa?” aku ingin tahu.

“Bau kamu berbeda dari biasanya.”

Kuendus pundak dan bajuku.

Baru aku sadar, memang ada bau wangi yang agak aneh.

“Bau daun kehidupan masa itu,” kataku.

“Apakah ada hubungannya dengan teman yang meninggal?”

Tak kuduga dia bertanya seperti itu.

“Dibilang ada, ada; dibilang tidak, tidak. Zaman yang kumaksud tadi agak berkaitan dengan aroma ini. Aroma daun. Di sini sekarang banyak kutemukan daun itu. Black magic woman,” pokoknya aku asal ngomong.

Hemm, jadi ingat beberapa teman. Hari Budiono pasti senang diajak ke sini.

Tanto bahkan berkata mau nyusul

Aku melanjutkan bicara: “Dia menggerakkan zaman itu dengan tulisan, musik, drama, puisi dan lain-lain karena ia memang serba bisa.”

“Siapa namanya?”

“23761,” jawabku.

Kusebut pula nama sahabat perempuan yang meninggal beberapa hari sebelum dia, sambil kujelaskan bahwa yang bersangkutan memiliki kecantikan ikonik. Tidak banyak wanita yang kecantikannya menjadi ikon negeri. Jacqueline Kennedy, Catherine Deneuve, aku menyebut beberapa nama, meski selera pribadiku tetaplah Maggie Cheung.

Oh ya, begitu cahaya tadi tanya nama, aku jadi ingat bahwa selama ini aku tidak tahu siapa nama dia.

“Siapa namamu? Selama ini aku tidak tahu namamu.”

“Aku tidak punya nama,” jawabnya.

Aku heran.

“Dunia cahaya adalah dunia roh. Tidak diperlukan nama. Semua roh sama. Identitas, suku bangsa, agama, aliran ideologi, hanya berlaku pada duniamu. Di dunia cahaya semua sama, dunia yang damai dalam keabadian,” ia menerangkan.

Terus terang selama ini aku sering mendengar hal itu. Hanya saja karena yang bicara kali ini adalah cahaya herself—bukan makelar akherat—aku lebih percaya.

“Dulu pun kami pernah memimpikan keadaan seperti itu. Hidup gembira tanpa mempersoalkan perbedaan apa saja di kapal selam Yellow Submarine,” kataku.

In the town where I was born

Lived a man who sailed to sea

 

“Menarik. Apakah itu juga ada hubungan dengan temanmu?”

“Orexas,” seruku. “Make love not war.”

Aku makin ngelantur.

“Problemnya, kalau engkau tidak punya nama, bagaimana aku harus menyebutmu?” kataku.

“Engkau boleh memberikan nama padaku,”

“Begitukah? Nama apa yang engkau inginkan?”

“Terserah kamu.”

Mengingat dia kuanggap istimewa, segera aku berpikir mencari nama istimewa baginya.

Dyah Dewi Gayatri Kumara Rajasa Rajapatni, bagaimana kalau itu.

Nama yang panjang, tapi indah di telingaku. Nama itu nantinya tidak boleh disingkat-singkat. Buat apa sudah susah-susah cari nama kalau nantinya cuma disingkat menjadi sebutan dengan satu atau dua suku kata.

Di Bangkok pula dapat ilhamnya.

“Apa namaku?” dia bertanya tidak sabar.

“Since I’ve been Loving You,” ucapku.

Entah mengapa malah itu yang keluar dari bibirku.

Benar, aku makin ngaco dan sulit mengendalikan diri.

“Nama yang indah. Since I’ve been Loving You. Engkau sangat kreatif,” ia memuji.

“Tentu saja,” aku mengiyakan, tidak memberi tahu bahwa itu kucomot dari supergroup Led Zeppelin. Petikan gitar Jimmy Page pada lagu tersebut luar biasa, hanya dewa mampu melakukannya.

“Sejak sekarang namaku Since I’ve been Loving You,” ia berucap dengan gembira.

Aku gembira membuatnya gembira.

Semua gara-gara daun tadi kurasa.

“Sayangnya aku harus segera pergi. Ini sudah hampir telat. Aku ada acara,” kata Since I’ve been Loving You.

Seketika dia menghilang, membuatku bingung dan termangu-mangu.

Tidak diberinya aku kesempatan bertanya acara apa.

Biarlah, kehadirannya meski sekilas cukup menghiburku.

Kini aku malah ingat teman-teman lain, Efix, Ordar, Tonny, Jimmy, Putu Fajar yang mau pensiun, dan lain-lain termasuk pacar masa SMA, lalu pacar edisi masa kuliah, edisi lulus kuliah, edisi Denpasar, Surabaya, Paris, dan seterusnya.

Edisi Palmerah tidak ada.

Aneh.

Ah, mengapa aku malah seperti petugas sensus penduduk?

Lamat-lamat terdengar suara musik.

Apa ini?

Ekkamai serba tak terduga.

Kupasang telinga untuk menangkapnya.

Ternyata lagu yang kukenal baik.

Gila, setelah keajaiban cahaya kini keajaiban lagu yang muncul tiba-tiba.

There’s a lady who’s sure

All that glitters is gold

And she’s buying a starway to heaven

When she gets there she knows

If the stores are all closed

With a word she can get what she came for

 

Lagu tersebut sangat panjang. Yang minat silakan lanjutkan sendiri.

Aku ingin cari espresso dulu.***

15/12/2022

Join the discussion 2 Comments

Leave a Reply