Skip to main content
Cerita

Sudah Lama Khotijah Pergi ke Kota

By June 24, 2021No Comments

Pengantar: Saya selalu tertarik pada kesenian rakyat. Bukan hanya pada aspek pertunjukannya, tetapi juga pada latar belakang sosialnya. Bagi saya pribadi latar belakang sosial kesenian rakyat bahkan jauh lebih menarik dibanding pertunjukannya. Ketoprak tobong yang pernah populer di Jateng dan Jatim misalnya, menyimpan cerita kehidupan yang amat kaya di antara para pelakunya.

Cerpen di bawah ini mengenai kesenian rakyat wayang golek. Hasan Aspahani mengirimkan pada saya kemarin, dan tidak berkeberatan saya menampilkan di website ini.

Selamat menikmati.

MARTO DEGLEG gembira, tapi gelisah. Sudah lama dia dan rombongannya tak ditanggap. Rindunya memainkan wayang-wayang goleknya jangan ditanya. Ketika ada panggilan main, dengan gemetar ia menurunkan kotak wayang dari atas lemari kayu, membersihkan debu, dan membuka kotak itu.

Lebih gemetar lagi ketika ia mengeluarkan satu per satu wayangnya, memeriksa sambungan pada sendi bahu dan siku, membersihkan debu, dan membenahi kainnya.

Panggilan  itu datang kemarin. Seorang utusan orang kaya dari kota kabupaten datang.  Si orang kaya ingin Marto Degleg dan rombongan wayang goleknya bermain untuk sebuah perhelatan. Katanya pembukaan toko, begitu. Bayarannya lumayan besar. Marto tak perlu berpikir untuk menerima tawaran itu.  Marto diminta datang lebih cepat untuk membicarakan permintaan khusus. Itu adalah hal yang biasa. Penanggap sering minta diselipkan pesan tertentu nanti di antara cerita.

Marto Degleg gembira, tapi gelisah. Ia menghubungi kawan-kawan waranggananya. Tukang gendang, pemukul gong, penabuh saron dan demung, mereka pun berkumpul, juga dengan rasa  gembira. Mereka meninggalkan pekerjaan masing-masing, yang mbecak, yang mulung, yang macul, semua mengabaikan sementara kegiatan masing-masing. Bagi mereka panggilan Marto Degleg adalah kabar gembira. Di rumah Marto Degleg mereka membersihkan peralatan masing-masing. Semua barang disimpan di rumah Marto.

“Khotijah mana? Sudah tahu dia kita mau main?” tanya Marto Degleg. Dia sebenarnya sudah tahu jawaban dari pertanyaannya itu.

“Khotijah sudah lama pergi ke kota,” kata Jarno, tukang becak yang pemain gendang itu. Jarno sudah tahu bahwa Marto sudah tahu jawabannya itu. Ia lantas memukul gendangnya beberapa kali dengan pukulan keras. Terlalu keras untuk gendang sekecil itu. Ujarnya, “Wah, kulitnya sudah tipis…”

Khotijah adalah sinden di kelompok Marto Degleg. Suaranya bagus banget. Khas. Jenaka ketika menyanyikan lagu lucu. Sedih ketika menyanyikan lagu duka. Dan membuai ketika menyanyikan lagu yang penuh bujuk rayu cinta. Lagu-lagu yang diciptakan oleh Marto, khusus untuk lakon-lakon yang ia karang. Khusus untuk Khotijah.

“Aku tak bisa menyalahkannya kalau dia pergi,” kata Marto Degleg. Seperti gumam. Seperti diucapkan untuk dirinya sendiri. Jarno mendengarnya dan menoleh perlahan ke arah Marto.

“Dia pamit saya waktu dia pergi,” kata Siman. Khotijah bilang ke Siman, ia tak sampai hati untuk berpamitan dengan Marto. Marto yang sudah seperti ayahnya sendiri. Orang yang menemukannya. Melihat bakatnya. Dan melatihnya menjadi dirinya.

Marto mengeluarkan wayang Khotijah dari kotak. Mengacungkannya.

Menarikannya.

Meliuk-liukkannya.

Siman dan Jarno, dan waranggana lain mengiringi dengan memainkan peralatan musik masing-masing. Kepala Marto ndegleg-ndegleg mengikuti gerakan Khotijah. Begitulah dia mendapatkan nama tambahan Degleg di belakang namanya. Orang yang menonton menikmati gerakan wayang dan gerakan si dalang, apa yang menyatu menjadi sebuah pertunjukan.

Marto lantas memplesetkan lagu “Iwak Peyek”… sampai tuwek, sampai elek, Marto Degleg tetap manggung….. Wayang Khotijah meliuk-liuk, menggerak-gerakkan tangannya seperti hidup.

Khotijah pergi ke Jakarta. Ia lalu jadi pesohor. Ia punya acara di televisi. Ia menjadi juri kontes menyanyi di televisi lain. Tapi bagi Marto itu bukan Khotijah. Khotijahnya adalah Khotijah yang dulu, yang menyanyi mengikuti gerakan wayang yang ia bikin khusus untuknya. Khotijah anak Rukiyem. Rukiyem sinden yang dulu membuat wayang goleknya bagai tak pernah berhenti ditanggap. Rukiyem yang tiba-tiba berhenti karena hamil dan dia tak pernah memberi tahu siapa yang membuatnya hamil. Marto patah hati. Ia mencintai Rukiyem. Diam-diam. Ia memberhentikan waranggananya karena tak ada yang buka mulut. Kelompok wayang golek itu bubar. Marto tak lagi mendalang.  Sampai kemudian Rukiyem datang membawa gadis cilik.

“Namanya Khotijah. Dia anakku. Dia ingin menjadi sinden. Aku ingin dia belajar padamu. Ajarilah, seperti dulu kamu mengajari saya menjadi sinden. Ajaklah dia mbarang…” kata Rukiyem.

Khotijah menghidupkan lagi Marto sebagai dalang wayang golek. Siman, Jarno, tetangga-tetangganya ia ajak bermain. Ia ajari memainkan alat musik pengiring. Gong dan gendang.

Rukiyem sendiri kabarnya pergi lagi ke kota, setelah menitipkan Khotijah. Tak pernah ada kabar yang didengar oleh Marto tentang Rukiyem, setelah itu. Marto pun tak terlalu peduli. Ia bahagia karena Khotijah bersamanya. Khotijah yang mirip sekali dengan Rukiyem.

Khotijah tumbuh menjadi Rukiyem yang baru. Marto menciptakan lagu, bahkan cerita, juga boneka Khotijah. Dulu, Marto juga membikin boneka Rukiyem. Boneka yang tak pernah ia mainkan lagi setelah kepergian Rukiyem.

Marto dan kawan-kawannya dijamu makanan mewah dan berlimpah. Buah-buah berbungkus plastik. Lauk berbagai jenis. Marto merasa kecil di hadapan meja makan besar dan makanan mahal itu. Ia terbiasa prihatin. Apalagi ketika akan tampil memainkan wayang golek.

Si tuan rumah adalah seorang pengusaha, ketua cabang sebuah partai besar, calon anggota DPRD Kabupaten, dan kabarnya sedang menyiapkan diri untuk jadi Bupati pada pemilihan berikutnya. Marto kenal dia. Dulu dia pemasok saprotan ke desa-desa, ke toko-toko dan koperasi, termasuk ke desa Marto.  Dia punya toko besar di kota.

“Saya mengundang Pak Marto untuk memainkan lakon ‘Mbangun Pasar Parang Akik’, supaya usaha baru yang akan saya buka lancar jalannya,” kata si tuan rumah penanggap.

Itu yang membuat Marto gelisah. Lakon itu dimainkan untuk meruwat pasar rakyat. Sementara apa yang hendak diruwat kali ini adalah usaha minimarket waralaba. Si tuan rumah penanggap akan membuat serentak lebih dari 20 toko waralaba. Marto tahu itu justru akan mematikan pasar rakyat.

“Saya juga ingin memperkenalkan istri saya, kami baru menikah,” kata si tuan rumah. Sudah lama terdengar bahwa istri pertamanya meninggal karena sakit jantung.

Ia lantas memanggil istrinya. Nama yang dikenal oleh Marto tapi ia pikir mungkin saja itu hanya kebetulan sama. Seorang perempuan dengan pakaian hijab syar’i nan mewah datang. Dengan balutan pakaian yang berbeda, Marto tetap tahu itu adalah Rukiyem.

“Saya juga nanti akan bernyanyi, Pak Marto…” kata seseorang yang menyusul Rukiyem masuk ke ruang makan, bergabung di meja makan.

Marto kenal benar suara itu. Tapi tak urung ia bertanya karena setengah tak percaya.

“Khotijah?”

“Iya, ini anak saya, Pak Marto,” kata si tuan rumah sambil menoleh pada Rukiyem, seakan minta pembenaran, “…biarlah sekarang semua orang tahu rahasia ini.”

Di mata Marto Khotijah dan Rukiyem perlahan berubah menjadi wayang golek dan kemudian meliuk-liuk mengelilingi kepalanya….

Jakarta, 2019-2021

Leave a Reply