Skip to main content
Cerita

Taman Hutan Kibul

By July 10, 2022No Comments

Hari-hari belakangan Raja Jayasukangibul, dijuluki rakyatnya Raja Kibul, dilanda resah. Pikirannya terganggu. Ia merasa makin tua.

Tak ada orang hidup selamanya.

Betapa pun ia tak bisa mengusir rasa cemas. Ia pernah dengar, orang yang waktunya hampir berakhir umumnya mengalami pengalaman-pengalaman ajaib, nyata/tidak nyata.

Semacam halusinasi.

Itulah yang diam-diam raja alami belakangan.

Pernah ia didatangi lelaki tua, kurus, pakaian compang-camping, langkah gemetaran. Dia minta pertolongan raja. Katanya daerahnya miskin, dilanda perang, dan tak ada keadilan.

Dari mana ia datang, pertanyaan melintas di benak raja.

Belum sempat terucap apa pun dari mulut raja, orang tua tersebut lenyap, menguap bak uap.

Pertanda apa ini, raja bertanya-tanya.

Pernah pula suatu petang raja melihat kereta kencana datang.

Turun wanita yang menurut pandangan mata rabun raja cantik jelita.

Busananya tipis. Dari sela-sela paha persis di selangkangan memancar cahaya kemilau.

Apakah kelaminnya bercahaya, ataukah karena efek matahari senja di latar belakang penampakannya?

“Maharatu,” raja menghambur menyongsong.

Mendadak semua lenyap.

Raja kaget.

Tidak ada kereta kencana, tidak ada maharatu seperti disebutnya, tidak ada apa-apa kecuali langit senja warna jingga.

“Adakah gara-gara aku tertidur di depan pintu pada senja hari? Bukankah itu pamali?” raja teringat petuah lama: jangan tidur kala senja.

Masih banyak lagi pengalaman yang raja simpan dalam hati.

Tidak kuasa lebih lama menyimpan segalanya sendirian raja memanggil penasihat spiritual istana.

Raja menceritakan semua yang dialami.

“Waktu, paduka. Waktu…,” kata si penasihat. “Waktu sudah dekat. Sebaiknya paduka menyiapkan pengganti tahta.”

Raja termangu-mangu.

Persis di sinilah persoalannya.

Ia tidak memiliki keturunan.

Pernikahan pertamanya, dengan perempuan Kediri, tak menghasilkan anak.

Atas nasihat orang sekelilingnya waktu itu raja mengambil wanita lain lagi untuk dinikahi demi kelangsungan tahta.

Wanita kedua berasal dari luar pulau di bagian timur, hitam manis, dengan ciri-ciri tubuh bahwa yang bersangkutan memiliki gairah seks seliar kuda Sumba.

Apa boleh dikata, serupa dengan si cantik dari Kediri, dengan si manis dari luar pulau ini pun raja gagal mendapat keturunan.

Setelah bertahun-tahun, hampa dalam penantian, kembali karena desakan sekeliling, raja menikahi wanita muda belia, kali ini dari Pakuan.

Selisih usia mereka 40 tahun.

Katanya wanita dari tatar Sunda cakap, mesra, dan telaten menghadapi gaek.

Sang putri tidak hanya melayani raja olah raga/olah irama/olah rasa di atas ranjang. Selain suka ngajak mandi bareng, neng geulis ini rajin menyiapkan uga rampe olah asmara seperti jamu, obat-obatan dari negeri jauh, mantram penguat jiwa, dan lain-lain.

Tahun pertama, tahun kedua, tahun ketiga dan seterusnya berlalu tanpa hasil.

Whuuu….

Raja capek sendiri.

Satu-satunya penopang hidup raja hanyalah keinginan untuk terus berkuasa.

Hanya saja, dengan kondisi tubuh-pikiran-jiwa yang kian merosot, rakyat semakin abai dan cuek terhadapnya—sementara intrik kekuasaan di sekelilingnya makin menjadi-jadi—bagaimana cara mempertahankan kekuasaan ini.

Beberapa pembantu dekatnya bahkan ada yang mulai berani menyatakan secara terbuka dan terus terang, mengaku bahwa merekalah calon pengganti raja.

“Aku isih urip meger-meger, mereka sudah bilang mau jadi pengganti,” raja kesal tapi tak berdaya.

Terbentuk aliansi-aliansi kekuatan.

Masing-masing saling intai dan menakar kekuatan.

Kembali raja memanggil penasihat spiritual.

“Paduka melupakan ilmu sejati paduka,” kata sang spiritualis.

“Ilmu sejati?” raja bertanya. “Apa ilmu sejati yang kumiliki?”

“Bukankah dulu ketika hendak meraih tahta paduka bersemedi minta tuntunan para dewa di Taman Hutan Kibul?”

Raja tersentak.

Ya, Taman Hutan Kibul.

Pusat dunia yang dikelilingi lima gunung, sama seperti pusat dunia yang dikenal orang sekarang seperti Machu Pichu, Stonehenge, Haight-Ashbury, Rex, dan lain-lain.

Di pusat kosmologi seperti itu semua energi terkumpul.

“Bukankah waktu itu paduka mendapat wangsit langit berupa ilmu ngibul. Para dewa  menganugerahi nama baru pada paduka waktu itu, yakni Jayasukangibul Angrusak Bumi,” sang penasihat meneruskan.

“Ya, ya, aku ingat,” ucap raja. “Amurwa Bumi, bukan Angrusak Bumi,” raja mengoreksi.

“Tapi praktiknya paduka merusak,” kata penasihat spiritual blak-blakan.

“Apakah aku harus kembali ke sana untuk mendapat wangsit anyar?”

“Ada baiknya demikian.”

Tanpa menunggu berlama-lama, raja berangkat ke Taman Hutan Kibul.

Setelah menciptakan hening, lalu hening tercipta, muncullah para dewa yang masing-masing bermukim di puncak mehru.

“Ada apa lagi Raja Kibul?” tanya dewa paling berkuasa, penghuni puncak mehru paling tinggi mewakili empat dewa lainnya.

“Kekuasaan di ambang krisis, hamba mohon petunjuk para dewa.”

“Nasihatku tetap sama. Lanjutkan ngibul,” kata sang dewa yang suka bicara sembarangan, kadang malah kurang berkejuntrungan ini. Penduduk lima gunung terbiasa dan percaya dengan kenegarawanan dewanya. “Kamu tahu tho, apa pun perlu konsistensi. Begitu pun ngibul. Jadilah constant liar. Aku sengaja pakai bahasa Inggris agar ngibulmu mendunia, tidak cuma lokal. Kalau engkau sanggup melakukannya zonder beban, jangankan 5 tahun, 10 tahun, 30 tahun, 32 tahun, 1.000 tahun pun engkau bisa tetap berkuasa.”

“Apa yang harus hamba kibulkan kali ini?” tanya raja.

“Dewa tidak mengurusi hal-hal teknis. Urusan dewa adalah hal-hal yang bersangkutan dengan kosmologi, misteri, sangkan-paran. Kamu orang yang pragmatik. Pakailah kreativitas sendiri, ngibul yang otentik.”

Setelah berucap demikian para dewa lenyap.

Ngibul yang otentik.

Raja memeras otak.

Edan. Mengapa ngibul pun harus otentik.

Dulu lebih mudah, mungkin karena waktu itu aku belum begitu banyak dikenal, pikir raja.

Akhirnya raja mendapat cara, meski sebenarnya tidak otentik-otentik amat.

Dia meminta istri termudanya mengikatkan keranjang separuh bulat di perut. Ditutupi busana panjang, jadilah sang istri tampak hamil.

Negeri gempar.

Tuan putri hamil.

Raja akan punya penerus.

Terlanjur keadaan dikuasai intrik, prasangka, kebohongan, tak urung muncul desas-desus: jangan-jangan bukan benih raja.

Reaksi seperti ini tak terpikir oleh raja.

Cangkem rakyatku makin payah, ia membatin.

Dia merasa perlu mengambil langkah sebelum desas-desus dan gosip tak pantas tersebut menyebar luas.

Seperti diusulkan para pembantu yang masih lumayan setia, perlu dibikin isyu tandingan.

Istilah mutakhirnya: counter narrative.

Agar perhatian rakyat teralihkan.

Untuk itu diselenggarakan tebak-tebakan oleh istana: janin yang dikandung tuan putri lelaki atau perempuan.

Hadiah besar menanti yang tebakannya tepat.

Banyak orang ambil bagian dalam tebak-menebak.

Tak lupa raja mengundang para cerdik pandai ke istana untuk ikut menebak, biar acara tampak berbobot.

Ramai para cerdik pandai mengungkapkan tebakannya di depan raja, didukung alasan yang dibuat-buat dan tidak jujur.

Hanya ada satu cerdik pandai yang tampak acuh tak acuh.

Ia kurang suka pada kecerdasan palsu teman-temannya.

Raja kurang suka pada tipe semacam ini.

Berkatalah raja padanya.

“Engkau belum berkata apa pun. Menurut kamu, lelaki atau perempuan?”

Si cerdik pandai yang ditanya menjawab singkat:

“Hamba tidak tahu janin itu lelaki atau perempuan, yang hamba tahu istri paduka hamil.”

Raja tergelak-gelak.

Dalam hati ia bangga atas keunggulan diri sendiri.

Para cerdik pandai mudah dibohongi. Termasuk yang angkuh ini. Wong di balik perut istriku hanya keranjang, raja merasa pintar.

Akan tetapi, seusai sang cerdik pandai tadi berucap seperti di atas, istri raja muntah.

Begitu mendadak dan dahsyat rasa mual timbul, tuan putri berlari menyingkir dari acara.

Tuan putri pucat pasi.

Tabib datang memeriksa.

“Tidak apa-apa. Tuan putri muntah-muntah karena hamil,” tabib melapor raja.

Raja bingung.

“Betulkah?” tanya raja pada tabib.

Kurang percaya, raja mengundang tabib lain.

Setelah memeriksa beberapa saat, tabib ini pun berucap kurang lebih sama seperti tabib sebelumnya.

“Kandungan tuan putri baik-baik saja,” kata tabib.

Semua tabib dipanggil, semua memberi kesaksian serupa.

Tuan putri hamil.

Bagaimana mungkin?

Sudah lama, terhitung tahun-tahun belakangan raja tidak lagi menyetubuhi istri, baik istri  termuda apalagi dua istri terdahulu. Yang dua orang itu bahkan raja telah lupa, bahwa mereka istri-istrinya.

Tukang kibul mudah lupa.

Esok dele sore tempe.

Apakah ucapan cerdik pandai mengandung mantra: apa yang terucap menjadi kenyataan?

Idu dadi geni?

Ataukah sang istri ada main di belakang dirinya?

Maklum, di lingkungan istana banyak orang celuthak.

Dari dulu kala skandal seks umum terjadi di lingkungan istana.

Tuan putri yang dikenal pendiam, tutup mulut.

Bangkit murka raja.

Perut bumi bergetar.

Goro-goro.

Saudara-saudara sekalian, dalam teater negara/negara teater, risalah istri raja yang hamil ini akan menjadi episode cerita berikutnya.

Sementara sekian dulu.

Selamat hari libur.***

10/7/2022

Leave a Reply