Malam tiba. Menjadi penulis, dengan jadwal hidup kubikin sendiri, saat yang paling kunanti sebenarnya adalah apa yang kusebut ngaso, break time, nongkrong di bar minum bir. Piala dunia malam ini Argentina vs Belanda.
Aku menyusuri lorong Soi 65.
Dalam waktu tak sampai sepuluh menit aku telah sampai di jalan besar Sukhumvit Road.
Kaki melangkah atas nama kemauan sendiri menuju Irish bar Black Night. Pasti tempat itu ramai oleh pecandu bola.
Melewati stasiun Ekkamai jadi ingat pengalaman malam sebelumnya, ketemu cahaya. Aku setengah mabuk. Ia muncul saat aku istirahat di bangku peron.
Mendadak terbersit pikiran, bagaimana kalau duduk dulu di stasiun. Mumpung masih sober. Siapa tahu seperti malam itu ada suara “mas” diikuti munculnya cahaya—wanita cahaya.
Hitung-hitung, andai ia muncul sekarang aku punya waktu lebih panjang sebelum dia lenyap ditelan pagi.
Siapa tahu toch… (perlu kujelaskan, “siapa tahu” adalah motto hidupku: serba coba-coba, siapa tahu beruntung).
Dari celah-celah atap stasiun kulihat bulan lebih besar dari bulan kemarin malam.
Kusenandungkan lagu favoritku sambil mengenang Cher dalam film Moonstruck.
When the moon hits your eye like a big pizza pie
That’s amore
Sempat terpikir, kalau cahaya yang suka menari itu muncul akan kuajak dia bertango. Alangkah romantik, kami berdua menari di bawah cahaya bulan. Buru-buru ide tersebut kuhapus: aku tak bisa dansa.
Yang pinter dansa sahabatku dari Magelang, dokter Oei Hong Djien.
Aku senyum-senyum sendiri.
Angin berdesir.
“Mas…,” kupingku menangkap suara.
Kaget aku.
Betulkah yang kudengar?
“Dik…,” aku menjawab spontan.
Ternyata benar.
Di sebelahku cahaya muncul lagi. Tangan ditaruh di atas lutut—posisi duduk maha anggun. Maklum utusan langit, meski dia ngaku berasal dari China dan melayang sampai Trowulan pada zaman Majapahit.
“Engkau muncul lagi,” ucapku.
“Bukankah engkau mengharapkannya?”
“Iya,” jawabku malu-malu. “Apakah engkau akan selalu muncul setiap kali aku mengharapkanmu?”
“Tergantung,” jawabnya.
“Tergantung apa?”
“Dunia cahaya berbeda dengan duniamu. Kuterangkan engkau juga tidak akan paham,” katanya.
“Baiklah, aku cuma hendak bertanya, apakah malam ini engkau bisa di sini sepanjang malam?”
“Bisa,” jawabnya. “Kenapa engkau menanyakannya?”
“Aku suka,” kataku.
Dua cahaya paling bersinar yang kutengarai sebagai mata, berbinar. Kuartikan dia suka ucapanku.
“Jadi tiap malam pada jam segini engkau akan selalu muncul?” diam-diam aku ingin dia muncul tiap malam.
“Ada-ada saja, kamu. Mana bisa. Dunia cahaya banyak kegiatan yang tidak bakal engkau pahami. Cahaya muncul atau tidak bukan atas kehendak makhluk wadag sepertimu, tapi kehendak langit. Namanya wangsit. Engkau tentunya tahu apa yang disebut ndaru, wahyu, cahaya kebiruan simbol kekuasaan. Orang rajin doa sekali pun kalau langit tidak menghendaki ia tidak akan mendapatkan ndaru.”
Aku mengangguk-angguk.
“Aku tidak minat pada kekuasaan, cuma ingin tahu apakah sepanjang malam ini kamu bisa bersamaku?”
“Bisa,” jawabnya.
Lega hatiku.
Beberapa orang memasuki stasiun.
Pertama wanita muda, pakai tank top. Wanita Thailand sexy-sexy. Lalu pasangan bule. Muncul lagi wanita berbadan subur menggandeng anak kecil.
Mereka semua berdiri di peron.
Tak berapa lama kereta muncul. Berhenti. Pintu terbuka. Mereka semua menghilang masuk gerbong. Kereta bergerak lagi.
Stasiun kembali sepi.
Ekkamai tidak seramai stasiun-stasiun lain pada jalur ini seperti stasiun Thong Lo, Nana, Asok, dan lain-lain terlebih Siam.
“Apakah orang-orang tadi tidak melihat kehadiranmu?” aku tanya pada cahaya.
“Tentu saja tidak, mereka hanya bisa melihat dirimu. Cuma kamu yang bisa melihatku.”
“Berarti mereka melihatku ngomong sendiri?” aku waswas.
“Begitulah.”
“Aku seperti Min Kebo,” gerutuku menilai diri sendiri.
“Siapa Min Kebo?”
“Legenda kota kecilku.”
“Kamu menyukainya?”
“Aku menyukainya selain juga menyukai Gabriel Garzia Marquez,” sengaja kusebut nama jurnalis/sastrawan kondang sejagat itu agar diriku tampak bermutu di mata cahaya.
Aku ingin kelihatan hebat di mata cahaya.
“Terus terang aku ingin melihatmu menari lagi di peron ini,” kataku.
“Kemarin kan sudah,” ucapnya.
“Aku ingin melihatnya lagi.”
“Malu,” ucapnya.
Lagi-lagi aku kaget.
Ternyata cahaya pemalu.
“Kalau begitu bagaimana kalau kita jalan-jalan?” aku mengusulkan.
“Mengapa tidak,” ia menyanggupi.
“Kemana?”
“Terserah kamu.”
Kami sama-sama bangkit dari tempat duduk. Benar, ia tak terlalu tinggi. Mungkin seperti Winona Ryder. Kira-kira sepundakku.
Kami keluar stasiun.
Kupilih jalan yang sepi. Aku ingin suasana pribadi bersama cahaya.
Teringat masa remaja di kota kelahiran. Hampir semua jalan kecuali jalan utama kota gelap dan sepi. Firdaus bagi yang gemar pacaran.
Kami sampai daerah Phra Khanong.
Di pojok perempatan jalan raya terdapat tempat terbuka, atraktif dengan restoran-restoran bertenda dan food truck. Beberapa menggoda dengan jualan draught beer berbagai merek.
“Bagaimana kalau kita minum bir di situ,” aku memberi usul.
“Silakan, aku tidak minum bir,” kata cahaya.
“Hah?”
“Bagaimana sebenarnya kamu ini. Minum dan makan hanya dibutuhkan oleh yang masih terikat dengan wadag. Kami cahaya tidak memerlukan minum makan,” cahaya menerangkan.
Waduh, aku tersadar kegoblokanku.
“Minumlah,” ucapnya.
Duduk menghadap meja di udara terbuka perempatan Phra Khanong aku menikmati bir. Cahaya menemaniku, menyatakan dia senang dibawa jalan-jalan ke tempat yang kutemukan secara tidak sengaja ini.
Tangannya ditaruh di atas meja. Dari konfigurasi cahaya yang memberikan bentuk tangan, aku melihat bentuk jari-jarinya yang bagus.
“Bolehkah aku memegang tanganmu?” tanyaku.
Setiap kali minum bir aku jadi pemberani.
Mata cahaya berbinar.
Tiba-tiba tangannya bergerak memegang tanganku.
Nyessssss, dingin laksana es.
Aku kaget, secara kilat kutarik tanganku.
Cahaya tertawa.
“Kenapa?” tanyanya.
“Dingin bagai es,” jawabku.
“Sudah kukatakan dunia kita berbeda. Lama-lama engkau akan terbiasa.”
Kembali cahaya memegang tanganku.
Aku mengerahkan daya buat bertahan.
Betul, lama-lama aku merasa nyaman.
Tidak hanya itu. Pundakku juga terasa dingin. Ia menyandarkan kepala di pundak.
Gila, decapku dalam hati. Di seluruh dunia hanya aku yang melewatkan malam akhir pekan bersama cahaya.
Malam berlalu terlampau cepat.
Kucurigai pagi menjelang datang.
“Apakah engkau akan segera pergi,” tanyaku pada cahaya.
“Sepuluh menit lagi,” katanya.
Baru kutahu dunia cahaya memiliki hitung-hitungan waktu seperti kita.
Sepuluh menit kemudian ia benar-benar pamit dan langsung menghilang.
Aku celingukan di perempatan jalan besar Phra Khanong sendirian.
Aneh tapi nyata, batinku.
Di jalur sky rail yang melintang di atas jalan raya terdengar gemuruh suara kereta—kereta terpagi hari ini.
Aku mampir supermarket kecil yang buka 24 jam membeli kopi panas.
Sambil membayar di kasir aku tanya siapa yang menang: Argentina atau Belanda.
“Argentina,” jawab kasir.
Aku bahagia.
Belanda keok.
Oh ya, tadi aku lupa menanyakan siapa nama cahaya.
Kalau besok ketemu lagi, akan kutanyakan siapa namanya.***
11/12/2022
Waiting for the next story is a longlng.
Emha pernah bilang, setelah kita meninggal, kita akan jadi debu, atau cahaya….