KETIKA teknologi digital menggantikan teknologi paling sederhana seperti sendok makan dan pena untuk menulis, Saskia tidak lagi merasa berada di dunia seperti ia huni sebelumnya. Bedanya dengan banyak orang yang barangkali punya pengalaman serupa, Saskia sebegitu bingungnya sampai ia tidak mengenali diri dan lingkungannya.
Siapa aku, di mana diriku, dia bingung saat bangun suatu pagi mendapati dirinya di ruang yang semuanya bergoyang, segalanya berwarna putih seperti hendak meleleh.
Apakah aku sudah mati dan berada di alam lain, tanyanya dalam hati.
Meski berlangsung cuma beberapa saat sebelum semua kembali seperti sebelumnya, pengalaman tadi teramat nyata dia alami.
Sahabatnya, Juniarty, dia memanggilnya Juna, membawanya ke spiritualis teman baiknya.
Dua sahabat ini begitu mirip satu sama lain, hanya Juna agak lebih tinggi dari Saskia.
“Engkau tertipu pikiranmu,” kata lelaki yang dipanggil Guru oleh Juna padanya.
“Saya harus bagaimana?” tanya Saskia.
“Ganti tipu pikiranmu.”
Saskia tidak paham apa yang dimaksudnya.
“Menipu pikiran?” tanya Saskia.
“Tubuh dan indramu tertipu pikiran sehingga engkau bingung terhadap diri sendiri. Wadag diperdaya pikiran. Sekarang coba perdaya pikiran dengan yang wadag.”
Tambah bingung Saskia.
“Dengan cara bagaimana?” tanya Saskia.
“Jadikan tubuhmu sebagai tubuh yang berbeda, sehingga tidak dikenali oleh pikiranmu,” jawab Guru.
Dari sejak itu Saskia mengubah dirinya. Rambutnya yang hitam panjang lurus ia tutup wig warna pirang model sepundak dan berombak. Ia selalu mengenakan kacamata hitam.
Bagi teman-temannya termasuk lingkungan jurnalis tempat kerjanya tentu ini aneh, tapi ia tak peduli.
Ada yang mengira-ngira, apakah dia tengah dalam penyamaran, mengingat beat atau tugas pokok Saskia sebagai jurnalis adalah meliput peristiwa kriminal, belakangan terorisme.
Pada perkembangannya, menyangkut terorisme Saskia menjadi jurnalis amat andal. Itulah spesialisasi dia. Jaringan informasinya luas, dari kalangan polisi sampai para ahli, bahkan jangan-jangan ia sendiri mampu mengendus sel-sel teroris.
Ia juga memperdalam ilmu kriminologi pada sebuah universitas terkemuka.
“Saskia apakah kamu tengah menyamar?” tanya teman yang mengira-ngira tadi.
“Ya,” jawab Saskia singkat.
Dirasanya tidak ada guna menerangkan apa yang tengah ia pikir dan rasakan.
Terlalu rumit menerangkan pada orang lain bahwa baginya dunia yang sekarang bukan lagi dunia kemarin.
Setelah matinya pengarang, matinya kepakaran, matinya kenyataan, matinya kebenaran, tiba saatnya dunia yang lalu, dunia yang kita kenal, benar-benar mati.
Banyak orang tidak sadar mengenai hal ini.
Mereka menghuni dunia yang telah mati.
Biar tidak ikut mati, kita harus mengubah diri.
Istilahnya: bertransformasi.
Saskia tidak tertarik lagi pada masalah kriminalitas, terorisme, jurnalisme, dan lain-lain, meski apa yang menariknya kini ia juga tidak tahu—setidaknya belum tahu.
Ada yang bilang cinta, tapi adakah cinta dari neuron dan sistem indrawi manusia yang telah diganti dengan chip dan sirkuit komputer.
Kalau mau tetap hidup, yang dibutuhkan adalah meningkatkan Imunitas tubuh.
Agar bisa selamat menuju pasca-dunia.
Dengan mengonsumsi nanas. Kebetulan sejak dulu Saskia suka nanas.
Kini dia punya kebiasaan makan nanas sebanyak-banyaknya.
Di pub langganannya, The Tamarind, ia hanya minum pina colada—campuran rum, santan kelapa, dan juice nanas.
Lain tidak.
Saking sering ke situ klub ini seperti rumah sendiri.
Semua pelayan, bar tender, para awak home band (namanya The Manayas), juga sebagian tamu regular ia kenal baik.
Di sini tidak ada yang bertanya kenapa Saskia sekarang berambut pirang dan berkacamata hitam. Para pemabuk lebih tahu diri tidak ingin mencampuri urusan orang lain.
Malam itu seperti biasa Saskia duduk di bar menikmati pina colada.
Ini gelas kedua.
Di panggung The Manayas menyanyikan Englishman in New York.
Oh, I’m an alien, I’m a legal alien
I’m an Englishman in New York
Usai lagu itu The Manayas pamit istirahat.
“Don’t be away. We’ll be back after the break,” kata Shuko, vokalis asal Magelang.
Shuko turun panggung, mendekati Saskia di bar.
Keduanya beradu telapak tangan.
“Mau minum?” Saskia menawari.
“Saya lapar, pengin makan nasi goreng di luar,” kata Shuko.
Di seberang jalan TheTamarind ada tukang goreng kaki lima favorit para pegawai klub iuga anak-anak band.
“Mau ikut makan?” Shuko ganti menawari Saskia.
“Mari saya temani. Saya tidak makan nasi goreng. Saya cuma makan nanas,” Saskia menyahut sembari meninggalkan tempat duduk.
Mereka keluar, menyeberang jalan, menuju penjual nasi goreng.
Pembeli mengantre. Nasi goreng cabe rawitnya terkenal.
Saskia dan Shuko duduk di kursi plastik di pojok jalan.
“Bagaimana cara terus-menerus makan nanas agar tidak bosan?” Shuko bertanya.
“Selain langsung dimakan sebagai buah bisa dimakan sebagai rujak, selai, salad, nastar, dan lain-lain.”
Mereka berbincang kesana kemari.
“Sebagai orang yang mengetahui banyak soal terorisme, bagaimana pendapat Saskia mengenai keadaan sekarang?” tanya Shuko.
“Keadaan macam apa?” Saskia balik bertanya.
“Kami anak-anak band mendapat peringatan agar hati-hati. Terlebih di klub yang banyak ekspatriatnya seperti The Tamarind.”
“Begitukah?”
“Manager yang kasih tahu.”
“Saya tidak lagi mengikuti perkembangan terorisme.”
“Bukankah kamu jurnalis?”
“Saya tengah meragukan diri sendiri, apakah panggilan saya di situ.”
“Jadi kira-kira apa panggilan hidupmu?”
Saskia diam, tidak tahu harus menjawab apa.
Malam merangkak.
Jalanan cukup ramai.
Maklum akhir pekan.
Tak ada mendung tak ada hujan, tiba-tiba bumi bergetar.
Belum sadar apa yang terjadi, semua orang terpental, tak terkecuali Saskia dan Shuko.
Baru sesaat kemudian semua sadar, telah terjadi ledakan di The Tamarind.
“Bom,” seru Saskia.
Entah digerakkan oleh apa, Saskia dan Shuko menghambur ke The Tamarind.
Semua teman ada di situ, bagaimana nasib mereka.
Suasana kalang kabut.
Tidak lama kemudian muncul kendaraan-kendaraan polisi dengan sirine meraung-raung.
Menyusul mobil-mobil lain, panser, ambulan, tak ketinggalan OB Van dengan simbol stasiun-stasiun televisi.
Dalam sekejap tempat ini ramai luar biasa.
Shuko disorot awak tv.
Berjaket hitam dengan paku-paku, Shuko diwawancara.
“Ini awak band di The Tamarind,” reporter televisi mengenalkan Shuko. “Bagaimana Anda bisa selamat?”
“Kami tengah break. Saya makan nasi goreng di pinggir jalan bersama Saskia,” jawab Shuko.
Saskia susah payah menyelinap menghindari kejaran para reporter tv, sebelum ia terkepung.
Dia meletakkan telapak tangan di atas alis untuk menghindari lampu sorot yang mengarah ke wajah.
Persis pada saat itu seorang jenderal polisi, dikawal ajudan dan anak buah, tiba di tempat kejadian.
Dia melihat Saskia dalam kepungan para awak tv.
Sang jenderal menghampiri Saskia.
Semua tidak lepas dari kamera tv.
Para pemirsa di rumah melihat adegan tersebut.
“Mbak Saskia bagaimana bisa di tempat ini?” tanya sang jenderal yang rupanya cukup mengenalnya menyapa dengan nada curiga.
“Saya sedang minum pina colada,” jawab Saskia.
“Pina colada?” sang jenderal terheran-heran.
“Pina colada di sini enak. Apakah jenderal juga suka pina colada?”
Jenderal itu meninggalkan Saskia.
SASKIA duduk bermalas-malasan di sofa, nonton tv sambil makan selai nanas.
Peristiwa bom The Tamarind menjadi top news, perkembangannya sepotong-sepotong muncul sebagai breaking news. Adegan sekian detik percakapan Saskia dengan jenderal polisi ditayangkan berulang-ulang.
“Sialan,” gerutu Saskia.
Tiba-tiba dilihatnya di layar tv pimpinan redaksi tempatnya bekerja muncul.
Seperti penampilannya sehari-hari, formal, serius, lelaki berkacamata ini diwawancara reporter tv mengenai anak buahnya, yang dimaksud tak lain adalah Saskia, yang menjadi saksi peristiwa ledakan.
Saskia menahan napas. Apa yang hendak dikatakan pimpinannya ini?
Dia tak menanggapi ajakan wawancara pihak mana pun. Polisi juga mencarinya. Tidak mengira awak tv mengejar pemimpin redaksi.
“Kami biasa bekerja all out. Jurnalisme adalah panggilan,” kata sang pemred.
Saskia hampir keselek selai nanas mendengarnya.
Bahkan ia tengah bimbang dengan pekerjaannya.
Dalam suasana dirundung sedih karena kehilangan teman-teman dan orang yang dikenalnya di The Tamarind, mendengar wawancara tersebut Saskia terbengong-bengong.
Apakah saya perlu menjelaskan bahwa saya di tempat kejadian semata-mata karena urusan pina colada, batinnya.
Jangan-jangan orang-orang malah mengira saya melucu kalau saya berkata yang sebenarnya.***
28/8/2021