Skip to main content
Cerita

This Ain’t a Love Song

By August 4, 20215 Comments

Gadis ini sering membuat saya pusing, tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan-pertanyaannya. Pertama mengenalnya dia mengaku duduk di semester 3 sebuah universitas swasta—sebuah universitas terkenal mahal. Ia menghadiri peluncuran novel terbaru saya kala itu di toko buku di dalam mal di bilangan Jakarta Selatan.

Beda dari pengunjung lain yang hanya menyodorkan novel terbaru saya untuk saya tandatangani, dia menyangking kantung belanja ukuran besar, warnanya cokelat tua ada logo fashion brand internasional. Selain novel terbaru, dari kantung belanjanya ia mengeluarkan seabrek buku karangan saya untuk saya tandatangani semuanya.

Mengingat di belakang dia masih ada antrean, saya berucap bisakah untuk semua bukunya belakangan saja.

“Sambil nanti ngopi di sana,” saya menunjuk coffee shop bersimbol bulat hijau di seberang toko buku.

Dia menyambut dengan senyum gembira.

Selanjutnya, senyum gembira seolah dunia tak ada masalah itulah yang  saya anggap ciri khas dirinya.

Sambil menikmati espresso saya tandatangani buku-bukunya. Dia duduk persis di hadapan saya.

“Untuk Yvonne,” ia memberi instruksi apa yang harus saya tulis di halaman buku. “Untuk boleh diganti dear kalau mas tidak berkeberatan,” tambahnya.

Saya suka dipanggil gadis kecil ini mas.

Maka saya pun menggores pelan kata d e a r.

“Yvonne pakai y, n-nya dua,” dia mengajari.

Satu persatu buku saya tandatangani.

Ia menunggui sembari menatap saya dengan senyum-senyum.

Seperti majikan menunggui kerja kuli.

Pipinya agak chubby dengan kulit licin, saya pastikan lalat menempel bakal terpeleset. Rambut lebat, hitam, dengan bulu-bulu halus di atas jidat yang cemerlang.

Kesempurnaan putri Champa, saya membatin. Jari-jarinya tak kalah bagus.

“Apakah semua yang mas tulis di buku kejadian sebenarnya?” tanyanya sambil saya perhatikan sejenak bagaimana matanya menatap mata saya.

“Tentu saja tidak. Ini fiksi, dik,” balas saya seadanya.

Dia tertawa cekikikan.

“Kenapa tertawa?” tanya saya.

“Baru kali ini orang panggil saya dik,” ucapnya tergelak-gelak.

“Ooh, aneh ya?” kata saya. “Kalau begitu saya harus panggil apa?”

“Tidak, tidak. Saya suka. Mas harus memanggil saya dik. Dik Yvonne. I like it,” tukasnya.

Saya tuliskan di halaman bukunya, “…dear dik Yvonne”.

Ia tertawa gembira.

“Mas lucu, tidak seangker saya bayangkan,” ujarnya. “Hemmm, mas suka espresso ya?”

“Suka. Kenapa?”

“Pahit, tanpa gula. Katanya orang yang menyenangi kopi pahit mudah bahagia. Range kegembiraannya luas, dari pahit sampai manis. Mas suka manis juga?”

Saya berhenti menandatangani buku.

Menyandarkan punggung di sandaran kursi.

Saya tatap wajahnya.

“Manis suka. Cantik suka.”

Tawanya menjadi-jadi.

“Saya sudah duga. Mas pacarnya banyak.”

“Dari mana dik Yvonne menduga?”

“Dari buku-buku yang mas tulis dong.”

“Itu cuma fiksi.”

“Saya baca di koran mas menganggap fiksi dan fakta tak ada beda. Kalau saya tak salah ingat judul tulisan di koran itu Kritik, Fakta, Fiksi.

Tulisan tersebut telah lama. Terpana saya pada perhatiannya. Dia rupanya mengikuti tulisan-tulisan saya.

“Mas pernah pacaran sama bintang film?” dia bertanya mengejutkan saya.

Brengsek, ucap saya dalam hati.

“Bintang film adalah dunia akting. Jadi cuma akting, tidak sungguhan. Kalau istilah sekarang, settingan,” kata saya.

Lagi-lagi ia tertawa.

Bibirnya seranum warna delima. Giginya putih mutiara.

“Mas sangat pandai menghindar. Jangan-jangan mas juga amnesia.”

Betul-betul kurang ajar gadis cilik ini, gerutu saya. Berani menyebut saya amnesia.

Gemas saya ingin menggigitnya.

Dari sejak itu kami akrab.

Kadang ia mengajak bertemu.

Kami bertemu tidak hanya di coffee shop, ngopi, tapi juga di bar, minum bir.

Pernah malam hari sambil menikmati live music di sebuah pub.

“Merek bir kesukaan mas pun saya tahu, Stella Artois,” katanya.

Saya mencoba mengingat-ingat, jangan-jangan pernah menulis kata itu di karya entah yang mana.

“Betul kan, mas suka Stella Artois?” dia mendesak.

“Betul,” jawab saya.

“Nah, jadi benar dugaan saya, apa yang mas tulis semua kejadian nyata,” dia merasa menang.

“Sebenarnya kurang fair, dik tahu segala-galanya mengenai diri saya tapi saya tidak mengetahui apa-apa tentang dik,” begitu saya menekankan kata dik, karena dia suka saya mengucapkan kata itu.

“Saya adalah ibu satu anak, putri saya umur 4 tahun,” katanya.

Saya kaget. Tidak mengira bahwa si gadis kecil ini telah punya anak.

“Mas kaget ya, tahu saya telah menikah?”

Tidak saya jawab pertanyaannya. Saya agak terkejut, tidak menyangka, rasanya tidak percaya.

Dia sebut umurnya, yang ternyata 5 atau bahkan 10 tahun lebih tua dari dugaan saya sebelumnya.

“You look so young,” kata saya.

“Banyak orang berkata demikian. Saya punya adik lelaki, masih SMA. Ada teman dia mengira saya adiknya, dan naksir saya,” ceritanya tergelak-gelak.

“Nanti pada umur 70 dik Yvonne akan tetap muda dan cantik seperti Vera Wang,” kata saya menyebut nama desainer kondang dari New York.

“Mas bisa aja…,” ucapnya menyablek lengan saya.

Ia membuka layar handphone, memamerkan foto putrinya.

Cantik, lucu, rambutnya poni.

“Namanya Petroka,” katanya. “Panggilannya Oka.”

“Saya jadi ingat di kantor publisher ada cewek namanya Oka juga. Cantik. Semua yang bernama Oka cantik. Dia teman Mas Hariadi.”

“Siapa Mas Hariadi?”

“Sahabat saya, kini tinggal di Yogya. Orangnya sangat baik.”

“Oohh….”

“Ada juga Hari yang lain di Yogya. Hari Budiono. Pelukis. Dulu dia nakal, sekarang sudah insyaf, jadi orang baik.”

Yvonne tertawa.

“Teman mas banyak,” ucapnya.

“Di mana ayahnya?” tanya saya.

“Tidak jelas. Pergi,” jawabnya acuh tak acuh.

Saya berhenti bertanya, tidak berminat untuk tahu urusan rumah tangga orang.

“Saya tidak ingin anak saya bertumbuh tanpa kehadiran seorang ayah,” dia melanjutkan kata-kata.

Home band menyanyikan lagu This Ain’t a Love Song.

“Saya suka lagu itu,” ucap saya mengalihkan pembicaraan.

“Itu pun saya tahu. Mas pernah menuliskannya dalam esai di koran. Judulnya Ayutthaya. Mas menceritakan video klip lagu ini dibuat di salah satu kuil di Ayutthaya. Sejak itu saya bercita-cita ingin ke Ayutthaya.”

Benar-benar luar biasa pembaca saya ini, pikir saya.

Kami di situ sampai larut, sampai bar tutup.

Itulah terakhir kali kami berjumpa secara langsung.

Tidak lama setelah itu dunia dinyatakan masuk masa pandemi.

Hubungan kami sebatas saling kirim teks lewat WhatsApp, telepon, atau video call.

Saya makin banyak tahu tentang dia.

Pernah dia kirim teks bertanya, apakah saya suka mangga.

Ya, balas saya.

Dia mengirim foto perkebunan mangga di Indramayu, tepatnya di Bongas. Perkebunan mangga itu ia sebut “milik bapak saya.”

“Oh saya kira dik Yvonne tanya karena mau kirim mangga,” ucap saya.

“Saya kirim kalau mas mau.”

“Terimakasih,” jawab saya. “Sedikit saja, tidak perlu dua truk.”

Dia membalas dengan emoticon orang tertawa terguling-guling .

“Mas selalu membikin saya tertawa.”

Lalu tiba hari, ia sebut hari ulang tahunnya.

Buru-buru saya mengucapkan selamat ulang tahun.

Ia cerita, pada ulang tahun ini dia mendapat hadiah istimewa dari suaminya: piano.

Beberapa kali memang dia menyebut suka bermain piano dan merindukan punya piano yang bagus.

“Ini grand piano betulan,” ucapnya dengan nada bahagia. “Phillips memberi kejutan untuk saya.”

Baru saya tahu bahwa nama suaminya Phillips.

“So Prince Phillips is back,” ucap saya.

Dia tergelak dan kemudian bercerita, sejak pandemi suami tidak lagi bekerja, memilih menyerahkan semua waktunya untuk dia dan Oka.

“Berbahagialah engkau, dik Yvonne,” sambut saya.

“Mas mau saya menyanyikan lagu untuk mas?” tanyanya.

Tentu saja saya tidak berkeberatan.

Kami melakukan video call.

Dari layar handphone saya lihat dia di depan piano. Tersenyum, melambaikan tangan. Saya membalas lambaian. Dia memonyongkan bibir, mengucap muahhh.

Menyenangkan sekali si dik ini.

Lalu mulai memencet tuts.

Mantap, terampil, penuh determinasi.

Dengan atasan tank top, ia mengingatkan saya pada drummer cewek dari Amerika asal Asia, Ami Kim. So sexy.

Dia mengedipkan mata dan berucap: I know you love this song.

Kemudian dari bibirnya mengalun lagu Bon Jovi This Ain’t a Love Song.

Tidak saya kira suaranya sebagus ini.

Dalam benak saya melintas apa yang selalu saya pikirkan belakangan: selama pandemi ini banyak orang menemukan kembali apa yang hilang.

Saya merasakan kebahagiaannya.

Selain kebahagiaan saya sendiri, mendengar seseorang menyanyikan lagu tadi untuk saya.***

4/8/2021

Join the discussion 5 Comments

  • Hartono R says:

    Membaca cerpen dengan tema pandemic, pada bagian akhir selalu bikin deg-degan. Sebagian besar mengabarkan kehilangan alias kepergian orang-orang yang pernah mewarnai hidup kita. Kali ini sebaliknya. Pandemi mengajarkan orang-oraang untuk menemukan kembali apa yang pernah hilang: love, passion, etc.

  • Nung Hikmah says:

    Sisi lain menikmati tulisan mas Bre, selalu ada referensi lagu-lagu yang bagus …begitu ada judul lagu baru, langsung googling…saat didengar.. sungguh enak dinikmati…referensi yang tak ternilai. Nuhun mas😊

  • DaHonoF says:

    Duh Stella Artois… kapan lagi bisa bertemu denganmu?

  • Andy Riza says:

    Asik bacanya Mas Bre, salut untuk cerita-ceritanya.

  • Teguh Candra says:

    wkwkwkwk… apik apik Mas hahaha…

Leave a Reply