“Di mal mana terjadinya?” tanya Hari.
Kami bercakap via telepon. Tinggal di Yogya, profesi dosen, ia sering saya mintai nasihat untuk hal-hal berbau mistik.
Kali ini saya menghubungi untuk apa yang baru saja saya alami di sebuah mal.
Seperti biasanya dia mencecar terlebih dulu dengan sejumlah pertanyaan. Serupa pengalaman dulu, yang membuat saya percaya akan kekuatan mata batinnya.
Waktu itu selama beberapa hari kunjungan ke Yogya saya mampir ke rumahnya. Ia tinggal di daerah Bantul, di pinggir Kali Bedhog yang konon angker. Pada malam 1 Suro selalu terlihat lampor—cahaya seperti lampu minyak berkarnaval mengalir di atas kali.
Selain menguasai hal-hal gaib dia dikenal sebagai pengobat. Banyak orang datang berobat padanya.
Saat itu kepadanya saya mengeluh, hari-hari terakhir pundak kanan terasa berat seperti memikul beban. Berbagai upaya saya lakukan, nyeri tidak berkurang.
Bukan bertanya latihan gerak macam apa yang saya lakukan sebagai pesilat, sambil tertawa dia malah berucap: “Keluyuran kemana saja kamu di Yogya?”
Kemana? Saya coba mengingat-ingat kemana saja belakangan.
“Seingat saya sejak mengunjungi rumah di Jetis,” jawab saya.
Seorang sahabat, Delia, wanita kaya raya, baru saja mengakuisisi rumah kuno. Bagus luar biasa di mata saya. Katanya rumah itu dibangun akhir tahun 1800an.
“Ada yang ikut kamu dari rumah itu,” kata Hari.
Hah, saya tidak percaya.
“Ikuti saya. Pejamkan mata untuk melihat hal yang tidak terlihat dengan mata tertutup,” perintahnya.
Dia bersedekap, memejamkan mata
Saya mengikuti.
Selang beberapa saat dia berucap: cukup.
Saya membuka mata.
“Bagaimana?” tanyanya. “Coba rasakan pundakmu.”
Aneh. Enteng seketika. Tidak ada lagi rasa sakit, nyeri, atau beban berat seperti sebelumnya.
Dengan agak terheran-heran saya melontarkan pujian, “Kamu benar-benar Ki Ageng Mangir.”
“Kalau bertamu lagi ke mbakmu yang tentunya ayu itu, berucap kulonuwun terhadap penghuni yang tidak kelihatan,” nasihatnya.
“Bagaimana Ki Ageng tahu dia ayu,” saya menanggapi selorohnya. “Dengan penglihatan batin juga?”
“Kalau itu tidak memerlukan mata batin. Cukup mengenali dirimu saja,” tukasnya diiringi tawa ngakak.
Brengsek, ucap saya.
Dari waktu itu saya percaya padanya.
“Di mal mana kamu melihat penampakan tadi?” dia mengulang pertanyaan.
Berceritalah saya.
Mal terletak agak di pinggir kota tempat tinggal saya. Berkonsep alami. Bangunan dikelilingi pohon-pohon kelapa sawit dan pohon-pohon besar lainnya. Mal ini selalu mengingatkan saya akan mal-mal di kawasan pemukiman di California. Tidak terlalu besar, menjadi mal keluarga, akrab dengan lingkungan.
Saya mampir karena ada yang hendak saya cari di supermarket di dalam mal itu.
Sempat saya mengira mal tidak beroperasi. Pintu utama tutup.
Ternyata sejak pandemi yang dibuka hanya pintu samping.
Setelah pemeriksaan suhu badan oleh petugas saya melangkah masuk. Serasa masuk karang hantu. Sebagian besar toko tutup. Gerai-gerai yang biasa ramai menggelar dagangan di tengah atrium diselimuti kain seperti raksasa tidur.
Sedih melihatnya.
Saya melewati butik kopi, Coffee & Bakery Co.
Coffee shop ini dulu langganan saya.
Tak beda dengan toko maupun restoran sekeliling, ia tutup.
Iseng-iseng saya mengintip dari balik kaca.
Gelap tidak ada apa-apa.
Pandangan saya bawa berkeliling.
Mendadak saya terkesiap. Di kursi pojok sana, saya melihat tas wanita warna pink—tas merek terkenal.
Mengapa ada tas di sana?
Bukankah itu tas dia?
Dulu kami duduk di meja itu.
Saya senantiasa memperhatikan semua detil perempuan yang menarik perhatian saya.
Dia hendak ke toilet.
“Tolong jagain tas saya,” ucapnya kala itu sambil bangkit dari tempat duduk.
Saya perhatikan sosoknya dari belakang. Amat menawan.
Kemudian saya perhatikan kursi yang ditinggalkannya, dengan tas di atasnya. Pegangan tas diikat scarf bermotif tengkorak.
Cukup mengenal dunia fashion, saya tahu scarf itu produk Alexander McQueen.
Yach, namanya wanita makmur.
Terlintas bayangan dia di benak saya.
Kami jarang ketemu.
Berkomunikasi lewat handphone pun terbilang jarang.
Saya tahu diri. Dia sibuk. Blebar-bleber ke luar negeri.
Lalu suatu hari ia mengirim pesan.
“Saya sedang di kotamu, ketemuk yuk,” begitu pesannya.
Segera saya balas sambil bertanya tengah di mana dia.
Ia menerangkan sedang di perkebunan tanaman obat untuk keperluan pabrik jamunya.
Ooh, saya paham.
Kami janji ketemu di sini.
Ia memuji kopi dan kue-kuenya yang menurut dia sangat enak.
Saya sampaikan compliment-nya pada Michael, pemlik coffee shop ini yang saya kenal baik.
“Thank you,” seru Michael. Dari tadi ia kelihatan takjub dengan kecantikan wanita ini.
Pasti semua itu terjadi sekitar 2 tahun lalu.
Sejak pandemi saya tidak kemana-mana. Baru kali ini menginjak kembali mal ini.
Bagaimana tas dia berada di situ, saya terheran-heran.
Saya tegaskan pandangan.
Tas lenyap. Tidak ada lagi.
Gila. Pengalaman macam apa yang tengah saya alami.
Apakah saya diperdaya penglihatan sendiri?
Jelas tadi saya melihat barang itu di situ.
Warna pink, sangat nyata, sangat mencolok di dalam keremangan ruang.
“Tidak mungkin saya salah lihat,” kata saya pada Hari.
Sejenak tidak ada suara.
Mungkin Hari tengah merenungkan cerita saya.
“Sebagai pengarang, bagaimana kamu biasa menulis cerita?” terdengar kemudian Hari berkata.
Pertanyaan yang jawabnya gampang-gampang susah.
“Kamu Ki Ageng Mangir atau kritikus sastra?” saya berseloroh.
“Ada hubungan dengan cara kamu berkarya. Ini kalau kamu percaya padaku,” ucapnya.
Saya berhenti bercanda.
“Cara berkarya yang macam apa?”
“Tanya sendiri dirimu seperti saya bertanya tadi, sebagai pengarang bagaimana proses berkaryamu?”
“Saya mengkomunikasikan getaran.”
“Getaran macam apa?”
“Ilmu gerak. Badan menggerakkan pikiran, pikiran menggerakkan badan. Putaran tersebut, seperti dinamo, menghasilkan daya. Itulah yang saya kirim pada pembaca.”
“Lanjutkan,” dia memerintah saya untuk bertutur lebih lanjut.
“18 nada.”
“Apa itu 18 nada?”
“Memanfaatkan alam. Irama dan nada adalah air dan angin. Gairah dihadirkan dengan memanfaatkan unsur api. Tempo pada bumi, tanah. Ketika saya merasa saatnya seseorang harus muncul, dengan menjejak bumi 3 kali saya hadirkan dia.”
Kembali Hari terdiam.
“Kamu harus memurnikan tubuhmu,” kata Hari selanjutnya.
“Memurnikan tubuh?” saya tidak paham apa yang dimaksudnya.
“Ya.”
“Caranya?”
“Mandi.”
“Mandi?” saya mengulang apa yang ia ucapkan.
“Nanti, tengah malam, kamu harus mandi. Keramas,” kata Hari. “Apalagi mengingat ini bulan Suro. Jangan lupakan itu. Kamu perlu mandi keramas.”
Saya tersadar, belakangan saya kurang tirakat.
Kepada Hari saya berjanji akan melakukannya nanti malam.
“Jangan lupa doa setelah itu,” Hari berpesan.
Menjelang tengah malam tatkala saya bersiap-siap untuk mandi, handphone bergetar.
Saya periksa pesan yang masuk.
Kaget alang kepalang.
Dari wanita yang saya ceritakan.
“Selamat malam. Maaf ya, malam-malam. Mendadak saya teringat coffee shop yang dulu itu. Kapan kita ke situ lagi,” begitu tulis dia. “Atau karena aku baru saja baca kembali bukumu yang berjudul Urban Sensation. Bikin kangen.”
Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini?
Teringat saya pada apa yang saya lihat tadi siang.
Malam sepi. Di luar hujan mulai turun.
Tidak saya jawab pesannya.
Besok pagi saja.
Malam ini saya hanya perlu mandi keramas dan berdoa.
Memurnikan tubuh.
Apalagi, seperti disebut Hari, ini bulan Suro.
Saya ingat Hari juga sempat wanti-wanti memperingatkan saya: jangan main-main dengan ilmu rogoh sukmo.***
12/8/2021
Urban sensation, bukan urban legend. Bukan soal hantu di dalam mall, tapi soal kepekaan, imajinasi, kenangan, dan semacamnya.