Skip to main content
Cerita

Wanita Itu

By October 16, 2023No Comments

MENGURUS visa ke China waktu itu saya harus membikin pernyataan bahwa saya benar-benar telah pensiun sebagai wartawan. Artinya saya bepergian untuk liburan, bukan melakukan pekerjaan jurnalistik, yang semasa belum pensiun dulu artinya menulis.

Di China, berkelana dari kota kecil ke kota kecil (bahkan desa) saya mengekor saudara sebagai pemandu. Ia kebetulan tinggal di negeri itu dan dengan senang hati menyempatkan diri jalan-jalan berlibur bersama kami.

Sebulan lebih di China kemudian kembali ke Tanah Air setelah sebelumnya mampir ke Bangkok saya berusaha tidak menulis apa pun.

Sampai akhirnya tak tahan, ingin bercerita sesuatu yang selama ini hanya saya pendam dalam hati.

Biarlah saya menulis. Toh bagi saya menulis tidak ada urusannya dengan jurnalisme.  Menulis bagi saya tak ubahnya bernapas, gerak non-motorik yang tidak bisa saya kontrol seperti detak jantung, kerja ginjal, lambung, paru-paru, dan semacamnya.

Saya ingin menuliskan pengalaman yang sampai saat ini bagi saya masih merupakan misteri, menyimpan banyak tanda tanya.

MERASA betah di kampung di puncak tertinggi penyangga langit, Shangri-La, kami berlama-lama di situ. Desa hanya dihuni tak lebih dari 40 keluarga. Ramai hanya pada siang hari di mana turis berdatangan untuk merasakan bagaimana berumah di atap langit seperti para dewa—dan pujangga.

Selepas petang sangat sepi. Kami adalah perkecualian, bukan hanya menginap, tapi tinggal berhari-hari merasa seperti kampung sendiri.

Heran juga, kenapa bisa demikian.

Pendeta yang saya temui di monastery desa setempat bilang pada saya: “Tempat ini kampung halaman roh. Roh kamu berasal dari sini.”

Saya senang mendengar ucapannya.

Marasa mendapat pengakuan.

Roh tak kenal KTP. Bisa berasal dari mana saja.

Tiap sore ketika hari agak sepi saya biasa nongkrong di kafe tak jauh dari tempat saya menginap—satu dari empat kafe/restoran di kampung ini.

Pemiliknya pasangan muda, yang laki bernama Su How yang perempuan Niu An—begitulah yang terdengar di kuping saya.

Saya menawarkan, bagaimana untuk memudahkan saya panggil mereka dengan Howard dan Annette saja.

Keduanya setuju, menyambut dengan tawa riang.

Kami jadi akrab.

Howard dan Annete mengaku berasal dari Nanjing, pernah buka usaha di Shanghai. Tatkala pandemi Covid melanda dunia mereka berkeputusan ingin tinggal di desa, mencari kehidupan yang lebih murni, lebih sehat.

Itulah yang membawa keduanya ke tempat ini.

Saya cocok dengan masakan mereka.

Apalagi kopinya.

“Kopi Yunnan terbaik di dunia,” kata Howard.

Saya tak bisa lebih daripada menyetujuinya.

SUATU sore tengah saya duduk di teras kafe sembari menikmati kopi dan biskuit jagung muncul perempuan cantik—amat sangat cantik—sendirian, membikin saya agak bertanya-tanya dalam hati: mana kok tidak ada rombongannya.

Tidak terlalu tinggi, badannya lebih berisi dibanding pada umumnya wanita-wanita yang saya temui sepanjang perjalanan (seperti di serial China yang sering saya tonton, mereka umumnya langsing-langsing).

Dari balik jendela Howard yang tengah berada di bar kelihatannya juga memperhatikan wanita ini dengan keheranan—atau ketakjuban—seperti saya melihatnya.

Wanita ini langsung mengambil tempat duduk di kursi tak jauh dari tempat saya.

Howard keluar membawa daftar menu, bercakap-cakap sebentar dengannya, kemudian masuk lagi.

“Wo renshi ni ma?” tiba-tiba ia menyapa saya.

Buru-buru saya katakan bahwa saya tidak bisa bahasa Mandarin.

Ia mengangguk-angguk dan mengucapkan kata lagi yang sedikitnya saya tahu artinya, berasal dari mana.

“Indonesia,” jawab saya.

Howard keluar membawa minuman pesanannya.

Dia kembali mengajukan pertanyaan pada saya, diterjemahkan oleh Howard yang lancar berbahasa Inggris.

“Dia katanya suka sama rambutmu,” kata Howard pada saya.

Saya tertawa senang.

Mengapa cuma rambut, bukan seluruh diri saya, kata saya dalam hati.

Wanita itu angkat bicara lagi.

“Ia juga menyukai seluruh diri kamu,” Howard menerjemahkannya, membikin saya kaget tak alang kepalang.

Dia membaca pikiran saya.

“Roh kamu berasal dari sini,” Howard menerjemahkan lagi untuk saya.

Annette keluar, ikut nimbrung pembicaraan.

“Bolehkah saya tahu nama dia dan berasal dari mana?” saya berucap pada Howard dan Annette minta tolong diterjemahkan.

Disampaikan padanya pertanyaan saya.

“Jen Yu. Katanya berasal dari Gunung Salju,” kali ini Annette yang menterjemahkan. “Dia tanya berapa umurmu,” tambah Annette.

“62,” kata saya sambil berbalik mengajukan pertanyaan sama untuk diri dia.

“223 tahun,” kata Annette.

Saya tertawa.

Wanita ini tampaknya suka main-main.

Dari wajahnya saya lihat dia sama sekali tak lebih tua dari saya.

Ada satu dua helai warna perak di rambutnya yang tebal hitam.

Hemmm….

“Saya suka wanita lebih tua,” kata saya sembari tertawa yang juga diterjemahkan Annette sambil tertawa.

“Itu pun saya tahu,” kata wanita itu membuat Annette maupun Howard tertawa sebelum menterjemahkan untuk saya.

Melalui Howard dan Annette sebagai penterjemah selanjutnya kami bercakap-cakap kesana kemari.

Kebetulan tak ada satu pun tamu selain kami berdua.

Di puncak Shangri-La pertemanan merupakan cara untuk menghangatkan diri dari udara yang dingin dari puncak-puncak karang serta gunung yang selalu berselimut kabut.

“223 tahun. Bahagia punya umur panjang,” saya berkomentar.

“Sebaliknya,” jawab dia. “Setiap kali saya harus melihat orang yang saya kasihi mati.”

Saya tercekat.

Pembicaraan mengenai umur yang saya kira main-main ternyata membuka pintu pada kesedihan.

“Saya melihat anak saya mati. Cucu saya mati. Sebelumnya saya melihat bagaimana mereka perlahan-lahan menjadi seperti seusia saya, lebih tua dari saya, menjadi renta, dan mati, sementara saya saya masih begini-begini saja.”

Dia mengatakan bahwa proses penuaan pada dirinya berjalan sangat lambat, kira-kira sepertiga dari proses yang dialami banyak orang.

Ketika umur anak perempuannya dulu 70an, dia sendiri masih seperti umur 30 tahun.

“Itulah kutukan yang saya alami karena memetik dan memakan bunga dewa,” ujarnya.

Saya perhatikan dirinya.

Bibirnya bagus, pipinya sehalus pualam.

Dari wujud yang tampak sempurna ini memang terpantul pengalaman hidup yang melebihi banyak orang pada umumnya.

Perempuan setengah dewa.

Dari kecil dibentuk oleh dongeng saya mempercayai ucapannya.

Saya percaya mengenai kekuatan bunga wijayakusuma, wahyu cakraningrat, air suci tirtamerta, dan lain sebagainya sama seperti saya mempercayai sejarah, geografi, fisika, matematika dan semacamnya.

Hanya pada politik saya tidak percaya.

“Saya juga melihat kekuasaan yang tumbang satu persatu dari satu generasi ke generasi karena sebab keserakahan. Ketika kekuasaan kehilangan kemurnian dan menjadi kebohongan itulah pertanda ia akan segera tumbang,” ia melanjutkan tanpa saya minta.

Dia tampaknya membaca keresahan saya akan kekuasaan.

Tirai malam turun perlahan.

Udara kian dingin.

Saya perhatikan jari-jarinya yang bagus.

Ingin saya menggenggamnya.

Menciumnya, bahkan menggigitnya.

“Saya harus pulang,” katanya berkemas.

“Kemana?” tanya saya.

“Gunung Salju.”

Dia meninggalkan tempat setelah membayar minumannya.

Saya perhatikan langkah kakinya—seperti Putri Salju melayang sejengkal di atas permukaan tanah.

Kereta yang ditumpangi Prabu Yudhistira konon juga demikian. Rodanya sejengkal di atas permukaan tanah.

Seperti Prabu Yudhistira berarti wanita ini bukan tukang bohong.

Esok sore kutunggu dia datang lagi ke kafe.

Dia tidak muncul.

Begitu pula sore berikutnya, berikutnya, dan berikutnya lagi.

Ia tetap tidak menampakkan diri.

Saya putus asa.

Kemana dia.

Siapa sejatinya dia.

Dari Howard dan Annette saya malah mendapat cerita, di daerah ini memang ada kepercayaan mengenai wanita yang hidup dalam kutukan bunga abadi, hidup selama 300 tahun.

Sampai saat ini ia masih ada, katanya tinggal di puncak Gunung Salju—gunung berupa stupa alami yang tidak bisa diinjak oleh manusia biasa.

Kadang ia muncul menemui orang yang beruntung.

“Adakah dia wanita itu?” saya bertanya pada Howard dan Annette.

“Beberapa hari ini kami berdua berdiskusi, jangan-jangan wanita yang menemui kamu itu memang dia,” kata Annette. “Kami sendiri menangkap sesuatu yang aneh. Malam itu tak ada rombongan turis dan kami cek tak ada di penginapan mana pun ada tamu yang menginap. Ia turun dari Gunung Salju menemuimu.”

Saya terlongong-longong.

Benarkah demikian?

Sampai saat ini saya masih tidak percaya pada pengalaman yang saya alami.***

16/10/2023

I Like Monday

Leave a Reply