Skip to main content
Esai

Dinamika Online vs Dinamika Cetak (1)

By July 17, 2021No Comments

Pekan lalu saya menulis dengan judul “Online dan Cetak (Untuk Peserta Kelas Cerpen)”. Di situ saya mengelaborasi pandangan saya mengenai perbedaan kesadaran dalam menulis untuk media online dan cetak.

Kini saya akan meninjau perbedaan masing-masing dalam hubungannya dengan dinamika penulisan—saya batasi penulisan dalam dunia fiksi.

Media cetak, koran dan majalah, pada zamannya banyak yang menampilkan rubrik cerpen dan cerita bersambung (cerbung). Setelah tamat ditampilkan sebagai cerbung, beberapa kemudian dibukukan dan menjadi buku laris.

Sebetulnya, dengan sedikit perkecualian, sebagian besar cerbung yang dimuat di koran maupun majalah oleh pengarangnya memang ditulis dengan pemikiran menulis buku, sebagai sebuah novel.

Lagi-lagi, dalam domain pemikiran media cetak (dalam hal ini kesadaran untuk menulis buku/novel), si penulis akan berabstraksi dalam ruang dan waktu media cetak, dalam hal ini buku.

Saya memakai istilah ruang dan waktu, karena itulah hakekat yang menentukan keberadaan manusia.

Kalau mau memaknakan secara lebih eksistensial: manusia lahir menemukan, berada, menjadi bagian ruang dan waktu, dan mati meninggalkan ruang dan waktu. Di luar rentang kelahiran-kematian tidak ada ruang dan waktu. Yang ada adalah wilayah tak terhingga, oblivious.

Konsekuensi dinamika dalam kesadaran bermedia (online atau cetak) akan lebih terasa pada penulisan cerber dibanding cerpen.

Untuk cerpen, baik di media online maupun cetak, habis dalam sekali tampilan.

Begitulah memang sifat cerpen. Seperti sebutannya, cerita pendek, dalam ruang yang pendek ia menyelesaikan fitrahnya sebagai cerita dengan memenuhi janji atas prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhinya. Prasyarat-prasyarat itu sebutlah penokohan, problem yang dihadapi si tokoh, konflik, penyelesaian, dan yang terpenting kemudian: moment of truth.

Elemen terpenting cerpen adalah dalam ruang yang pendek ia mampu menampilkan moment of truth. Tanpa moment of truth ia cuma jadi dongeng tak keruan, seperti celoteh tak bertujuan. Seperti keramaian pasar: banyak kejadian tanpa peristiwa. Atau ada peristiwa, tanpa makna.

Di situ perbedaan cerpen dan cerber/novel.

Novel seperti sungai, bak Bengawan Solo, mengalir sampai jauhhhh.

Alirannya bernama “stream of consciousness”. Dia mengalir menuju samudera, ke sesuatu yang besar, ke yang tak terhingga, ke “kasunyatan”.

Novel menjadi (being a novel) dengan kehendak untuk menguak kemungkinan-kemungkinan lebih luas yang tidak bisa dicapai oleh pengalaman nyata hidup sehari-hari. Penulis seperti Milan Kundera menganggap peradaban Barat (Eropa) dibangun oleh novel. Dia menyebut dari Dante Alighieri, Diderot, Balzac, dan lain-lain sampai Cervantes untuk menggambarkan bagaimana pemikiran dan cakrawala manusia dikuak oleh kemungkinan yang disediakan oleh novel. Dari situ berkembang peradaban Barat.

Hal yang sama tentulah terjadi di belahan-belahan dunia lain.

Sebagian wilayah dunia Timur, pandangan dunia masyarakatnya dipengaruhi oleh kitab Mahabharata, fiksi karya Vyasa.

Di Jawa kita mengakrabi epik Bharatayuda, gubahan Mpu Sedah yang diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Ajaran paling mendalam pada epik itu adalah Bhagawat Gita.

Novel mengarungi keluasan cakrawala manusia, menembus ke kedalaman jiwa.

Secara lebih sederhana, novel mencoba menguak psyche manusia.

Dengan ruang yang dimilikinya, tak dibatasi ruang sempit seperti cerpen, novel bisa dibuat sesuai kebutuhan penulis.

Krida ini mau tidak mau secara teknis membawa si penulis dalam pengolahan dinamika.

Mengolah bahasa tak ubahnya mengolah kehidupan.

Bahasa itu hidup; hidup itu bahasa.

Bahasa tidak boleh mati. Bahasa yang mati tidak akan membawa kita kemana-mana.

Seorang penulis harus mampu menghidupkan bahasa.

Dengan bahasa yang hidup dia menyelenggarakan kehidupan—berupa kehidupan di mana manusia/pembaca bisa berkaca diri, menemukan yang tak ada, melalui produk imajinasi bernama novel.

Melalui krida bahasa, yang mencari tidak mendapatkan yang tidak mencari menemukan.

Itulah paradoks antara usaha dan kepasrahan.

Penulis harus mengenal dan peka terhadap irama, tempo, timing, diksi, dan lain-lain.

Itu semua unsur-unsur teknis yang terkandung dalam ruang dan waktu.

Untuk menguasai hal-hal teknis, jalannya cuma satu: latihan.

Latihan memerlukan disiplin.

Secara pribadi saya lebih percaya pada disiplin daripada bakat.

Jangan percaya pada hasil, percaya pada disiplin.

Hanya dengan disiplin seseorang akan mencapai kematangan sebagai penulis.***

17/7/2021

Berlanjut minggu depan.

Leave a Reply