Semenjak pandemi, andaikata terpaksa bepergian terutama untuk urusan ziarah, saya memilih mengendarai mobil sendiri. Dari Jakarta ke Jawa Tengah, kadang sampai Jawa Timur.
Berbeda dibanding sebagian besar orang yang umumnya memilih jalan tol sembari membanggakan Jakarta-Semarang hanya butuh 6 menit (nanti dari ibu kota baru ke New York cuma 2 jam), saya memilih jalan lama Bekasi-Sukamandi-Patrol-Kandanghaur dan seterusnya, menyusuri kota-kota kecil sepanjang pantai utara.
Kadang berhenti, bermalam di tempat saya suka.
Sebagai penganggur, kapital yang saya miliki, banyaknya seperti air samudra, hanyalah waktu.
Saya tidak merasa perlu tergesa-gesa, tergopoh-gopoh, seperti para pejabat karena begitu segeranya hendak memajukan negeri mobilnya dilengkapi strobo dan sirine menyingkirkan semua pengguna jalan lain.
Terhadap mereka, saya yakin banyak yang diam-diam mengumpat: asuuu.
Saya hafal urutan kota-kota di pantai utara Jawa. Atas kelebihan ini istri saya sering memuji, saya berbakat jadi kondektur.
Ada satu daerah yang saya sukai, namanya Wiradesa. Sampai situ saya akan melambatkan mobil, ancang-ancang mampir ke restoran Bu Nani di kanan jalan.
Nama Wiradesa bagi saya menyatu dengan gambaran kota kecamatan di kabupaten Pekalongan itu.
Setiap kota memiliki kepribadian.
Wiradesa berkepribadian agraris. Tidak terlalu ramai. Kios-kios sederhana berjajar di sepanjang jalan.
Di pinggir jalan tak jauh dari pasar yang menjadi pusat Wiradesa terdapat pohon beringin besar memberi suasana teduh.
Tak ada nama lebih tepat baginya kecuali Wiradesa.
Ya, Wiradesa.
Itu dulu.
Kini jalanan diperlebar. Pohon beringin yang bagi saya menjadi jati diri Wiradesa telah tiada.
Sulit saya mengenali geografi lama Wiradesa.
Terakhir mampir Pekalongan, bertemu dengan sahabat saya Hendrawan Supratikno disertai teman dia bernama Heryono, kader PDIP asal Pekalongan, Heryono memberi tahu saya di lokasi pohon beringin dulu itu kini adalah gedung bank.
“Dekat situ ada penjual mie goreng yang menulis sejumlah buku sastra dengan menggunakan handphone,” kata Hery.
Saya berdecak.
Mudah-mudahan suatu saat saya bisa berkenalan dengannya.
Sastra dan mie goreng sama-sama kesukaan saya.
Melihat Wiradesa berikut perkembangannya bagi saya serasa melihat proses penjadian sebuah kota.
Kota agraris tumbuh diawali dengan pengeramatan sebuah tempat, pemujaan spiritualistik terhadap tempat bersangkutan, interaksi berkembang menjadi perdagangan, muncul pasar, selanjutnya lahirlah kota.
Literatur mengenai lahirnya kota-kota tertua di dunia menunjukkan pola semacam itu. Dari Mesopotamia di lembah sungai Eufrat dan Tigris sampai Harappan di India, Shang di China, Roma di Italia dan seterusnya, pusat kota adalah bangunan religius berupa candi, katedral, kuil, masjid, dan semacamnya. Dari situlah urbanisme bermula.
Awal mula sebuah kota adalah sakralitas. Raison d’etre mendirikan kota adalah untuk menjamin rasa aman penghuninya melakukan ritual kepercayaan.
Penghuni kota memberi imbalan pada penguasa untuk menjamin keamanan penghuninya menjalankan sistem kepercayaannya.
Penguasa yang tidak mampu menjamin keleluasaan dan keamanan penduduknya untuk menjalankan ibadat dan ritual kepercayaan adalah penguasa sontoloyo.
Pola di atas berubah seiring merebaknya dunia modern.
Kota modern seperti London dan metropolitan-metropolitan lain yang lahir setelah Revolusi Industri berkembang dari kota industrial, komersial, menuju “kota dunia”.
London, New York, Amsterdam, Shanghai, Singapura, dan lain-lain.
Pada mulanya lahirnya metropolitan-metropolitan modern menimbulkan keresahan.
Terbaca keresahan Dickens terutama melalui Hard Times tatkala dia melihat kota semakin materialistik, membikin jiwa para penghuninya mengeras, mengikis rasa welas asih (compassion), menggerus sosiabilitas dan rasa komunitas.
Saya bisa membayangkan Dickens, bagaimana dia melihat London ketika pusat kota sebelumnya, katedral St Paul, digantikan oleh Royal Exchange.
Mungkin seperti saya rasakan ketika melihat beringin di pinggir jalan utama Wiradesa diganti gedung bank magrong-magrong.
Perubahan tak terhindarkan.
Rasa komunitas digantikan anonimitas.
Kerap kali diam-diam saya merasa kehilangan.
Kini kita juga akan membangun ibu kota negara yang baru.
Kalau dalam era agraris tahapan perkembangan kota adalah sakralitas-perdagangan-kota, lalu dalam era modern perdagangan-industri-metropolitan, maka ibu kota yang hendak dibangun ini sifatnya tidak organik seperti itu.
Ibu kota baru dibangun sepenuhnya dengan rencana dan rekasaya politik/kekuasaan: birokrasi-ultra high tech-kota paling modern sedunia.
Dari Jakarta mau terbang kemana pun di dunia nantinya saya tidak akan lagi sudi transit Singapura.
Pilih dari ibu kota baru karena dari situ ke New York hanya 2 jam.
Para pegawai negeri, birokrat, pejabat, pertama-tama akan dipindah ke situ.
Mudah-mudahan para pegawai negeri, birokrat, pejabat ini mendadak berubah jadi pelopor, pembaharu, pioneer bagi proses penjadian kota kelas dunia.
Saya doakan mereka segera mampu menyulap Nusantara (oh ya, ini nama kota, bukan jajaran pulau-pulau di khatulistiwa) melebihi kota mana saja di dunia, melebihi New York dengan Empire State Building-nya; Broadway-nya; MoMA-nya (kota harus mampu menyuburkan kesenian); Fifth Avenue-nya; kafe-kafe gemerlapannya; dan lain-lain.
Setelah itu saya akan nyusul pindah.***
26/1/2022
Melanjutkan wiraasta (krida tangan) menulis udar rasa edisi 2022. 😀
Saya menulis komen ini karena bbrp X ke Pekalongan, ke Wiradesa n mampir ke warung – atau rumah makan Bu Nani tsb. Top!
Saya selalu senang mas Bre Redana menulis tentang kota-kota kecil di pantura, seperti mengingatkan sejarah orang-orang biasa yang tinggal di kota tersebut. Bukan sejarah orang besar di kota besar.
Wiradesa selain menjadi wajah agraris Pekalongan juga terdapat pertigaan menuju wilayah selatan kabupaten Pekalongan seperti kecamatan Bojong, Kedungwuni, dan Pekajangan.
Oh ya, nama penjual mie goreng yang suka menulis kalau tidak salah Haryono, jika di Facebook memakai nama Aveus Har. Beberapa waktu yang lalu saya berhubungan dengan dia melalui no WA, dan akan saya bagikan tulisan ini.
Saya selalu senang bila mas Bre Redana menulis kota-kota di pinggir jalan Daendels pantura. Seperti mengingatkan sejarah orang-orang biasa penghuni kota-kota kecil tersebut. Bukan riwayat orang besar di kota besar. Kebetulan saya tinggal di Subah, salah satu kota kecamatan tersebut.
Wiradesa selain menjadi wajah agraris Pekalongan juga memiliki pertigaan menuju Pekajangan, Kedungwuni, Doro, kota-kota kecamatan agraris lain pendukung industri batik.
Oh ya, penjual mie goreng itu jika tidak salah bernama Haryono, jika di di Facebook memakai nama Aveus Har. Bulan lalu saya dan dia saling membagikan no kontak, dan tulisan ini akan saya bagikan kepadanya.