Skip to main content
Esai

Militarism in the Making

By December 8, 2022No Comments

Beberapa bulan lalu di Jakarta saya ngobrol dengan JB Kristanto, sosok yang saya anggap punya pandangan kredibel terhadap film. Saya bilang habis nonton satu film Indonesia setelah kurang lebih dua tahun tidak menginjak bioskop.

Ia tanya bagaimana penilaian saya terhadap film itu. Masih begitu-begitu saja, jawab saya. Dalam percakapan pribadi saya kadang sarkas: dua tahun pandemi film kita tidak tambah pintar. Mas Kris tertawa.

Kini, sumpah saya ingin mengoreksi pandangan tadi.

Secara tidak sengaja, di Bangkok kemarin petang atas undangan EB Yulia saya bersama istri berkesempatan nonton film Autobiography yang ambil bagian dalam World Film Festival of Bangkok. Yulia adalah produser film tersebut, yang dalam produksinya melibatkan berbagai negara, selain Indonesia juga Perancis, Jerman, Polandia, Singapura, Filipina, dan Qatar.

Dari kelebatan gambar pertama saya dibuat terpukau. Dalam dunia shaolin ada istilah zenew yang sulit dicari padanannya, artinya kurang lebih wibawa, angker, seperti kalau kita masuk ke markas besar tentara.

Diawali gambar gelap, anak muda, selanjutnya kita tahu namanya Rakib (diperankan Kevin Ardilova) menghadap pesawat televisi yang tengah menayangkan pecatur terkenal India, Vishy Anand.

Ia menanti kedatangan pemilik rumah yang ditungguinya di kota kecil itu, seorang pensiunan jenderal bernama Purna (Arswendy Bening Suara).

Tidak lama kemudian orang yang ditunggunya tiba. Menyetir mobil sendiri. Hari telah gelap.

Sementara sang pensiunan jenderal beres-beres membuka sepatu dan lain-lain, Rakib menyiapkan minuman panas.

Dihidangkannya gelas minuman pada sang jenderal.

“Sejak kapan saya minum kopi?” begitu kurang lebih kata Purna. “Duduk,” perintahnya. “Minum.”

Suasana mencekam.

Fade out.

Layar gelap.

Di layar muncul credit title: AUTOBIOGRAPHY.

Begitulah film dimulai.

Purna kembali ke kota kecil itu untuk mencalonkan diri dalam pemilihan bupati. Rakib adalah anak yang dalam bahasa Jawa ngenger pada keluarga Purna. Dari kakek, ayahnya yang pada saat ini dipenjara, semua secara turun-temurun menghamba pada keluarga sang jenderal.

Masuk genre thriller, jantung dibikin berdegup oleh magma militerisme (dan kekejamannya) yang menyosok dalam diri Purna—diperankan dengan luar biasa oleh Arswendy.

Yulia berseloroh, ini adalah “thriller tanpa setan”.

Lebih mencekam, karena ternyata ada yang lebih setan yakni militerisme.

Tidak ada percakapan, simbol, gambar, musik, suara, yang mubazir. Seluruh semiotika sinema secara efektif menyampaikan apa yang ingin disampaikan oleh film ini, yakni bagaimana militerisme (mohon bedakan militerisme sebagai sikap dan militer itu sendiri) menguasai kehidupan masyarakat, dalam hal ini masyarakat kota kecil itu.

Termasuk darah dingin si jenderal, kemunafikannya, otoriterismenya, serta kehidupan seksnya yang di situ diisyaratkan “kanan kiri oke”.

Dia memandikan Rakib, menyabuni, menggosok-gosok tubuhnya.

Rakib gemetaran.

Anak muda bernama Agus yang merusak poster sang jenderal diam-diam dihabisi oleh si jenderal.

Orang tidak pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi. Dalam pemakaman Agus sang jenderal datang melayat, sembahyang, pidato, menempatkan Agus sebagai pahlawan seperti kepahlawanan seorang pemuda di Timor Timur (kini Timor Leste) yang dulu diceritakannya menyelamatkan nyawanya.

Meski telah berstatus pensiunan, dia berkuasa menggerakkan kekuatan militer aktif untuk menyelesaikan segala masalah.

Film ini meraih berbagai penghargaan dalam berbagai festival film. Di Jogja-Netpac ia memperoleh Golden Hanoman Award, pada Singapore International Film Festival meraih penghargaan film terbaik, di QCinema Philippines sebagai film terbaik dan sutradara terbaik, dan masih banyak lagi.

Lebih luar biasa lagi, bagi sutradara, Makbul Mubarak, ini adalah film pertamanya.

Pada acara di Bangkok, menjawab pertanyaan para wartawan setempat usai pemutaran, ia menceritakan tantangan pembikinan film ini.

Pengambilan gambar dilakukan di Bojonegoro pada masa kritis pandemi covid.

Ada yang bertanya bagaimana mengatasi pengambilan gambar yang banyak dilakukan di luar ruang.

Yang harus diatasi suara berisik, kata Makbul. Meski Bojonegoro tergolong kota kecil, tetap saja banyak orang, katanya.

Juga bagaimana memberi nuansa warna lain pada warna yang kebanyakan hijau karena hutan-hutan.

Harus saya akui, Makbul berhasil mengatasi semuanya.

Titi wanci cerita ini 2017.

Ada suatu adegan Rakib mengunjungi makam Agus karena merasa bersalah ambil bagian dalam tewasnya pemuda tadi.

Terlihat di nisan tulisan: Agus, 1998-2017.

Simbolisasi sangat cerdas.

Yang lahir di tahun 1998, termasuk reformasi, mati muda di tahun 2017.

Pelakunya yang itu-itu juga.***

8/12/2022

Leave a Reply