Skip to main content
Esai

Duduk Perkaranya ada pada Jaringan Otak Kita

By January 30, 20223 Comments

Saking skeptisnya terhadap banjir bandang informasi sekarang ini, saya tidak tertarik pada berita yang pakai judul bla-bla-bla faktanya; nyesel tidak tahu bla-bla-bla; fakta-fakta mengenai bla-bla-bla; dan seterusnya.

Termasuk terhadap mereka yang hendak menjelaskan secara tirik-tirik duduk perkara sebuah peristiwa, saya telah kehilangan minat.

Mending dengerin keroncong, Sundari Soekotjo.

Puluhan tahun kerja di institusi pers yang punya niat pikiran mulia bahwa berita hendaknya mampu menjelaskan duduk soal—dodok seleh dalam bahasa Jawa—kini saya sering berpikir apa sebetulnya makna duduk perkara.

Apakah tanya sana-sini, mengutip semua pihak (bukan cuma satu-dua sumber), lalu itu dianggap menjelaskan duduk perkara sebuah peristiwa?

Menggelindingkan gosip tentang seseorang, lalu meminta orang bersangkutan menjelaskan tentang gosip atau desas-desus tersebut.

Dalam bahasa media sebutannya konfirmasi.

Bukankah ini sontoloyo…

Jangan-jangan tanpa peduli atau mendengar informasi pikiran orang malah akan kian jernih.

Ada dongeng mengenai guru Zen, meminta muridnya bertepuk dua tangan, kemudian murid disuruh menggambarkan bunyi tepukan dua tangan.

Si murid mendeskripsikan dengan baik.

Selanjutnya si murid disuruh bertepuk dengan satu tangan. Sang guru ingin tahu seperti apa bunyi tepukan satu tangan.

Berkutatlah murid dengan percobaan-percobaannya, bertepuk dengan satu tangan.

Dia datang kepada guru, mengatakan bunyi tepukan satu tangan seperti angin berdesir.

Guru bilang tidak, coba cari lagi.

Murid memfokuskan diri, mendengarkan bunyi ketika satu tangannya menepuk.

Seperti menepuk angin; seperti suara perkutut yang memecah keheningan siang hari di kampung Pakde Mul di Solo; seperti lagu Simon and Garfunkel dalam Sound of Silence; dan seterusnya.

Bukan itu semua, kata sang guru.

Mengembaralah si murid untuk mencari tahu bunyi tepukan satu tangan, sebelum beberapa tahun kemudian kembali ke perguruan, dan bilang pada guru: saya tidak mendengar apa-apa. Saya menemukan ketenangan.

Bagi saya, bukan guru Zen, cuma pensiunan pekerja pers, menyebut ini sebagai metainformasi.

Jangan pedulikan informasi.

Prekkk.

Bikin otak keruh, korslet, hang.

McLuhan telah meramalkan akan datangnya era seperti sekarang, di mana teknologi menempatkan otak atau isi kepala manusia dalam satu jaringan.

Sesuai tesis dia mengenai supremasi medium—bentuk medium yang menentukan, bukan content alias  isinya—kini otak kita diseragamkan oleh medium digital.

Dalam dunia pascakasunyatan, kita disuruh mencerna segala hal yang seolah-olah perlu padahal sama sekali tidak perlu; digerojok segala informasi agar jadi cerdas (kita merasa demikian) padahal kecerdasan tak lagi dibutuhkan, digantikan oleh artificial intelligence, dan dengan itu percayalah, dalam waktu tak lama lagi lembaga pendidikan tamat.

Lembaga pendidikan mengajarkan agar orang bisa memperoleh informasi, menganalisa, membuat keputusan.

Buat apa semua itu kalau artificial intelligence dengan mudah bisa menggantikannya, dengan lebih segera, tepat, keputusan yang diusulkan tanpa disertai bias kepentingan.

Dari waktu ke waktu informasi adalah komoditas yang hendak dikuasai satu pihak, entah itu pemilik kekuasaan atau pemilik modal, atau pemilik kedua-duanya sekaligus.

Begitu informasi di tangan mereka, terlebih dengan medium digital yang telah mengubah cara kerja cerebral cortex kita, jadilah kita seperti banteng aduan dalam pertunjukan matador.

Digoda agar seruduk sana sini sebelum sang matador menancapkan tombak ke tengkuk kita.

Cerebral cortex adalah bagian dari otak manusia yang bertugas mengolah kesadaran (consciousness).

Bentuk kesadaran manusia pertama—yang menyebabkan dia sadar akan dirinya, berbeda dari spesies lain yang tak sadar akan dirinya—adalah kesadaran primordial.

Bahwa dirinya milik dan bagian salah satu kelompok tertentu.

Kalau mengingat kesadaran primordial merupakan kesadaran paling purba, bisa dimaklumi, dengan mengusik masalah primordialisme, persatuan sebuah bangsa paling mudah diacak-acak.

Siapa paling dituntungkan kalau persatuan bangsa teracak-acak?

Silakan jawab sendiri.

Selama jutaan tahun proses kesadaran manusia mengalami evolusi.

Tikungan paling penting dalam evolusi kesadaran manusia adalah tatkala ditemukan bahasa.

Dalam Bible ada ungkapan: pada mulanya adalah kata.

Siapa yang menentukan kata akan menentukan segala-galanya.

Lagi-lagi, bukan sebagai ahli kitab suci, semata-mata sebagai pensiunan pekerja pers, soal kata dan bahasa inilah yang saya anggap problematik dalam soal duduk perkara manusia saat ini.

Ada keprihatinan mendalam, dalam pemilihan kata, bahasa, pekerja pers mengekor bahasa penguasa.

Mungkin pekerja pers atau siapa saja sekarang ini adalah semata-mata produk tak berdosa dari medium yang jaringannya telah mengobah cara kerja otak kita.

Tanpa sadar—kecuali para penjilat yang melakukan secara sadar—kita menjadikan penguasa sebagai protagonis yang bukan saja segala ucapannya dianggap benar tapi juga dipuja-puja, dirayakan, tidak boleh diusik, siapa saja yang mengusik penguasa dianggap—istilahnya sekarang: radikal, kadrun, cebong, dan seterusnya, tergantung pada pihak mana kita berdiri, whose side are you on.

Setiap kali membaca berita saat ini dalam hati saya selalu berharap tidak ketemu istilah oknum; senpi; laka; nataru; sinergitas; dan lain-lain yang bikin perut saya mual.

Pada otak yang telah dikuasai oleh sistem jaringan seperti itu, pada gilirannya juga akan ikut-ikutan menganggap perbudakan sebagai pembinaan; kejahatan sebagai niat baik; kesewenang-wenangan sebagai kesalah-pahaman; percabulan sebagai hubungan suami-istri (seolah hubungan suami istri sebatas tumpak-tumpakan); dan lain-lain.

Saya jadi rindu bahasa rakyat yang otentik seperti jancuk, sontoloyo, mbelgedezz, asu, dan sejenisnya.

Asu tenan.***

30/1/2022

Join the discussion 3 Comments

Leave a Reply