Skip to main content
Esai

Get Back

By November 8, 20213 Comments

Barangkali sama seperti dialami banyak orang, pandemi membuat tersadar ada pengalaman yang lama tidak saya alami: menginjak airport. Di airport, membolak-balik halaman majalah, rasanya sudah lama tidak saya lakukan. Bab terakhir itu pasti merupakan pengalaman banyak orang semenjak digitilasi menguasai hidup sehari-hari manusia. Di airport, di angkot, di emperan puskesmas, tidak ada orang baca buku majalah koran dan lain-lain. Semua tertunduk membaca gosip di piranti digital masing-masing.

Pekan lalu, menginjak terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta dan kemudian melihat kios buku Periplus saya seperti melihat oase di sahara.

Mata terbeliak, jantung berdebar-debar.

Menghambur saya ke kios buku internasional itu. Melihat-lihat rak paling depan. Isinya semua buku bisnis. Topik ini agaknya paling dinikmati manusia zaman ini. Semua orang tertarik bisnis. Apalagi penguasa. Mereka bisnis.

Saya tidak tertarik. Lebih suka fiksi.

Rak fiksi tempatnya agak tersembunyi. Rak tidak semeriah rak bisnis. Sebagian besar juga buku-buku lama, beberapa telah saya baca.

Untuk obat kecewa saya mencomot novel Haruki Murakami, Norwegian Wood. Kalau selesai baca nanti bisa saya lungsurkan ke keponakan saya di Samarinda yang belajar sastra.

Lenggang kangkung saya menyusuri rak lain. Rak majalah.

Kembali mata saya menyala melebihi efek espresso. Saya melihat majalah The New Yorker. Edisi terbaru. Segera saya renggut, khawatir kehabisan stok seperti ibu-ibu takut kehabisan stok kue brownies merek terkenal dari Bandung.

Duh nikmatnya pengalaman ini.

Saya duduk di ruang tunggu menanti panggilan boarding sembari membolak-balik halaman The New Yorker—terserah pilihan kalian, bagi saya majalah ini majalah terbaik di dunia.

Perhatian saya tertumbuk pada halaman center spread, foto luar biasa The Beatles muncul di depan publik terakhir kalinya di atap gedung Apple, London, 30 Januari 1969.

Foto ini menjadi ilustrasi laporan David Remnick dengan judul menggugah: “Let the Record Show”.

Laporan sangat panjang, 10 halaman, saya lahap seperti orang kelaparan.

Dia mengawali tulisan dengan deskripsi pesta di kediaman Paul McCartney di desa pantai East Hampton baru-baru ini.

Pada senja dengan cahaya matahari keemasan, ia gambarkan para tamu mulai berdatangan. Mereka adalah nama-nama besar: Anjelica Huston, Julianne Moore, Alec Baldwin, Bon Jovi, dan lain-lain.

Remnick menulis laporan dengan sangat menarik (tidak ada tulisan di The New Yorker yang buruk). Kata dia, mau dikelilingi nama seterkenal apa pun, perdana menteri, atau siapa saja, McCartney tahu belaka, bahwa mereka semua adalah fans Beatles. Rasanya tidak ada pernyataan lebih benar.

Penulis ini memilih kutipan dari ucapan McCartney yang tak kalah cerdas. Kata McCartney di antara penggemarnya: “Saya juga fans Beatles.”

Mereka berkumpul petang itu dalam rangka peluncuran film dokumenter berjudul The Beatles: Get Back. Para tamu akan menikmati penayangan perdana film sepanjang 100 menit garapan sutradara Peter Jackson, yang dikenal banyak orang melalui karya Lord of the Rings. Termasuk dalam dokumentasi ini penampilan Beatles di atap gedung Apple di London yang dikenang semua manusia abad ke-20 tadi.

Dalam tulisan panjangnya Remnick bicara sangat luas, detil perjalanan Beatles yang jarang didengar orang, termasuk tentu saja perseteruan antara Paul McCartney dan John Lennon-Yoko Ono.

Waktu berlalu. Dari laporan tadi kita membaca, semua telah menjadi manis lagi sekarang.

Sean Lennon, putra John Lennon-Yoko Ono, berucap: “Waktu membuat kita melembut, dan lebih menghargai satu sama lain. Paul adalah pahlawan bagi saya, sama seperti ayah saya. Dia berada dalam satu rak dengan ayah saya.  Ibu saya juga mencintai Paul, sangat menghargainya.”

Terus terang, sebagai pensiunan membaca reportase seperti ini saya menjadi rindu untuk kembali melakukan pekerjaan jurnalistik.

Tiba-tiba saya saya ingat ucapan Gabriel Garcia Marquez: jurnalis adalah pekerjaan terbaik di dunia.***

8/11/2021

 

Join the discussion 3 Comments

  • Salomo Simanungkalit says:

    Ah, “Norwegian Wood” sudah lama saya baca. Tidak sepucat novel2 lain Murakami. Sependapat: tak ada tulisan buruk di “The New Yorker”, sebaliknya dapat satu tulisan bagus saja setiap hari pada sebuah koran, “Bersyukur, bersyukur, bersyukur, Bung.”

  • Antyo® says:

    Membaca majalah cetak. Sensasi lawas era kertas, karena aksara dan aneka teks saya kenal dari kertas, termasuk kertas bungkus. Saya masih membaca media cetak, tapi terus berkurang. Bahkan sekarang untuk majalah tinggal Panjebar Semangat. Untuk Kompas saya langganan digital dan koran cetak sekaligus.

  • Bre Redana says:

    Saya hanya membaca beberapa karya Murakami. “Norwegian Wood” menurut saya kelihatan pengaruh Salinger “The Catcher in the Rye”.

Leave a Reply