Skip to main content
Esai

Glow Bogor Glow…

By October 7, 20212 Comments

Menjadi warga Bogor terbilang sangat jarang saya menginjakkan kaki masuk Kebun Raya meski ke mana-mana musti mengelilingi jalan raya yang melingkari kebun sangat terkenal ini. Salah satu warung mie ayam langganan juga terdapat di sudut jalan yang menghadapnya. Satu dua kali saya masuk Kebun Raya semata-mata untuk menyenangkan tamu keluarga dari luar kota maupun luar negeri.

Kebun Raya sangat menakjubkan dengan pohon-pohon raksasa, kolam, sungai, situs sejarah, dan lain-lain, namun beberapa kali ke situ sulit saya menahan gejolak jengkel, gemas, marah, nelangsa, dan rasa tak berdaya.

Sampah tercecer di mana-mana. Di kolam dengan daun teratai sebesar tampah berikut bunga yang di mata saya menggambarkan kesucian  Buddha mengambang botol minuman kemasan. Terlalu di tengah, saya tidak mampu mengambilnya.

Entah manusia biadab dari mana membuang botol ke situ.

Pengalaman seperti tadi membuat saya selalu deg-degan setiap kali mau masuk Kebun Raya.

Adakah hari ini ia baik-baik saja. Rasanya seperti hendak melihat kekasih cantik yang saya merasa tidak kuat melihat satu titik noda pada dirinya.

Itulah yang membuat saja cenderung ragu dan menjaga jarak dengan Kebun Raya.

Mungkin demikianlah perasaan derita cinta.

Kaget hampir semaput ketika dengar putri cantik taman hutan ini akan dirias dengan Glow—cahaya warna-warni malam hari. Agar orang bisa jalan-jalan malam hari, seperti tercermin dari laporan media massa yang gumunan, gumun dengan atraksi cahaya.

Kontroversi merebak.

Khas kecenderungan zaman ini, semua orang mendadak ahli. Ada yang bilang cahaya bersifat merusak ekosistem tanaman dan mengganggu kehidupan nokturnal binatang. Yang lain bilang hutan seluruh dunia memakai atraksi cahaya. Lihat Singapura, Dallas, Mexico, San Antonio. Dari Winona sampai Arizona juga demikian. Dah mari dari Cibedug sampai Sukasari kita bikin kayak gitu. Selain jual talas kita jual cahaya.

Saya bukan ahli tanaman bukan ahli binatang tidak tahu apakah binatang seperti manusia bakal jingkrak-jingkrak kegirangan dengan lampu warna-warni di malam hari.

Cahaya lampu berkemungkinan merusak vegetasi saya juga tidak tahu, untuk belajar biologi perlu setidaknya enam tahun dan saya pastikan otak saya tak sanggup.

Yang terasa aneh adalah mengapa terutama belakangan ini semuanya harus dimirip-miripkan dengan apa-apa yang di luar negeri.

Di mana-mana dibangun Menara Eiffel Prancis, Menara Pisa miring Itali, kincir angin Belanda, dan lain-lain. Sama-sama menara, kenapa tidak membanggakan Menara Kudus, sintesis kebudayaan Hindu dan Islam yang membentuk kekinian kita.

Belum lama saya ke Salatiga, yang cinta saya terhadapnya hampir sama dengan cinta saya pada Kebun Raya. Di tengah sawah tempat permainan saya dulu dibikin jalur beton untuk memudahkan orang berfoto, memfasilitasi histeria selfie manusia masa kini.

Bagi masyarakat masa kini sawah bukanlah medan berlumpur tempat kami dulu cari belut dan menangkap kunang-kunang tapi sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan diri kita kecuali sebagai citra.

Dengan sekali jepret memaklumkan diri sebagai pencinta sawah.

Begitulah nasib zaman ini.

Orang memilih pemimpin juga berdasar citra audio visual yang mereka tonton. Tak heran kehidupan berbangsa jadi kayak sinetron.

Demikian pula Glow Kebun Raya, yang kabarnya proyek dihentikan sementara. Dengan sekali tanam modal pihak berduit semua orang terbebas dari gelap, menikmati cahaya ultra modern.

Jadi ingat pemusik Bandung Iwan Abdulrachman.

Abah Iwan, begitu saya memanggilnya, pernah bercerita bagaimana ia mencipta lagu Melati dari Jayagiri. Lagu itu dipopulerkan Bimbo, pemusik bersaudara yang rendah hati dan hangat dalam pergaulan.

Katanya waktu itu abah sedang berada di kegelapan gunung. Malam hitam pekat.

“Ketika malam sangat pekat, satu bintang kecil yang tiba-tiba muncul di langit terasa membuat seluruh alam terang benderang,” begitu kurang lebih cerita abah.

Dari situ lahirlah lirik:

Gelap ‘kan datang, dingin mencekam

Harapanku bintang ‘kan terang

Saya menjadi paham apa yang diungkapkannya ketika merasakan sendiri pengalaman dalam gelap melihat kemunculan satu bintang di langit malam di Pulau Naoshima, Jepang. Di pulau ini arsitek Tadao Ando yang mendasarkan karya-karyanya pada keheningan Zen merancang suatu tempat bagi orang untuk menikmati gelap malam. Sambil tiduran berselimut menahan dingin kita dibawa pada pengalaman pergantian petang menuju malam—dari terang menuju remang untuk kemudian alam menjadi gelap sama sekali.

Dari pengalaman berjam-jam itu mata kita dikondisikan awas mampu melihat kemunculan satu bintang di langit kelam.

Terpesona oleh sesuatu yang tidak pernah saya alami sebelumnya, waktu itu saya menulis:

Terang menjadi gelap

Perlahan muncul cahaya

Dari putih menuju ke yang Ilahi

Ah, tapi saya tahu kelewat tidak masuk akal bagi kepentingan praktis zaman ini untuk memahami makna satu bintang di langit pada gelap malam.

Ini zaman serba cepat.

Orang butuh segala sesuatu secara seketika: sukses seketika, kaya seketika, gemebyar seketika.

Glow Bogor glow.

Glow my life glow….***

 

7/10/2021

Join the discussion 2 Comments

Leave a Reply