Skip to main content
Esai

July Morning

By February 25, 2021No Comments
Nasirun diiringi Tommy Awuy dalam peluncuran buku “Majapahit Milenia” di Yogya, Juli 2019.

PENGANTAR:

Esai ini saya tulis Juli 2019, tadinya saya rencanakan untuk dimuat dalam rubrik UDAR RASA di Kompas Minggu. Karena waktu itu ada tema yang saya anggap lebih urgen, tulisan ini tidak jadi saya kirim, dan tidak pernah dipublikasikan. Saya unggah di sini, untuk memanjakan nostalgia saya mengenai apa yang terjadi di Yogya, sekitar dua tahun lalu.

Kemungkinan tak terduga dari kesenian termasuk kadang kala daya dobraknya menurut saya hanya bisa terselenggara kalau orang dimungkinkan mengekspresikan diri sepenuh-penuhnya dan seotentik-otentiknya. Jangan lagi percaya ada individu kejatuhan wahyu. Sejak lahirnya zaman pencerahan, inspirasi langit telah digantikan oleh krida otak dan pengolahan kesadaran. Penantian akan wahyu digantikan disiplin pengolahan diri dan daya hidup.

Itulah jawaban saya ketika wartawan menanyakan mengapa saya melibatkan begitu banyak orang dalam peluncuran novel Majapahit Milenia di Yogya, akhir Juli lalu. Mereka teman-teman dari berbagai kota, Yogya, Jakarta, Semarang, Bali, dan Kuala Lumpur. Profesinya macam-macam, ada desainer, pialang seni rupa, kolektor, dosen, wartawan, konsultan perbankan, dan lain-lain.

Mereka tampil di panggung, membaca petikan novel. Beberapa di antaranya menyiapkan diri secara sungguh-sungguh, sanggup menghapal bagian novel yang panjang, yang saya sendiri tidak mampu mengingatnya.

Bagus atau tidak? Sejak lama pertanyaan bagus/tidak bagus dalam berkesenian sudah saya tinggalkan. Biar itu diborong semangat hidup masa kini yang berorientasi pada hasil: sebanyak-banyaknya, sebagus-bagusnya, secepat-cepatnya. Biarlah, mudah-mudahan masih ada orang-orang yang bersedia mengkontemplasikan apa yang dilakukannya, menjadikan apa saja yang dilakukan sebagai jalan untuk mencapai kesadaran lebih tinggi. Benar-salah, bagus-tidak bagus, bukanlah hal utama.

Selain itu, saya juga mengartikan seni sebagai bagian dari srawung. Srawung, bertemu secara fisik, dalam pandangan saya adalah bagian dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial. Tidak ada manusia bisa hidup sendiri. Kewajiban individu tidak bisa dipisahkan dari kewajiban sosial untuk ikut menjaga terselenggaranya kehidupan bersama yang baik, saling mengasihi, tidak manipulatif dan tindas-menindas seperti dalam sistem politik kita yang sakit sekarang.

Dalam pertemuan santai tanpa agenda hendak mempercakapkan apa, kadang kita memperoleh cerita tak terduga. Seperti misalkan dituturkan rekan di Yogya, Bagus Satatagama. Berasal dari keluarga pedagang batik, ia menuturkan dilema industrialisasi batik.

Ia contohkan Pekalongan, kota di pesisir utara Jawa yang dikenal sebagai sentra batik. Industri batik cap, dalam prosesnya telah menguras air tanah secara besar-besaran. Limbahnya tak kalah jahat merusak lingkungan.

“Inilah dilemanya. Batik ditetapkan sebagai warisan budaya, tapi begitu diindustrialisasikan, efek perusakannya tidak main-main. Seharusnya melestarikan batik bukan hanya berorientasi pada hasil, melainkan pada nilai-nilai batik berikut proses kebudayaannya seperti dalam proses pembikinan batik tulis. Ini bukan pada soal batik cap menjadi lebih murah atau sebaliknya batik tulis lebih mahal, melainkan pada soal industrialisasi itu,” katanya sembari menikmati kopi di warung di tepi Kali Bedog di daerah Kasongan.

Sebagai pengagum Adorno dan para pemikir neo Marxist dari Frankfurt School tentu sangat mudah bagi saya untuk memahami pendapatnya. Tanpa pertemuan secara langsung mengabaikan produktivitas waktu seperti sering didengungkan orang bahwa “time is money”, sulit untuk bicara segala hal seperti ini. Komunikasi melalui media digital mustahil menggantikan kehangatan pertemuan langsung.

Teman-teman perempuan dari Jakarta, pada pertemuan di warung makan sama-sama bersepakat untuk mengenakan kain dan kebaya dalam acara di Yogya. Sebenarnya tidak ada agenda memperbincangkan dress code. Semua muncul begitu saja. Yang jelas, kalau perempuan urban memilih tidak mengenakan jins True Religion melainkan kebaya, itu berarti tindakan politis. Semua sadar, identitas kebangsaan kita tengah mengalami krisis.

Banyak hal terjadi secara tak terduga. Ketika pelukis Nasirun naik panggung pada tengah hari untuk membaca petikan novel diiringi keyboard oleh ahli filsafat Tommy Awuy, tiba-tiba terdengar suara azan menggema. Seketika ia duduk takzim di tengah panggung. Tommy terpekur di bangku di belakang keyboard. Seluruh yang hadir diam dalam keheningan.

Begitu suara azan lenyap, Nasirun mengumandangkan suluk tembang Jawa. Tommy mengiringi dengan raungan synthesizer. Sungguh itu tadi suara azan yang indah, membawa ke penghujung acara yang ditutup dengan lagu Uriah Heep, July Morning. Inti lirik lagu: bulan Juli, ketika kita mencari cinta.***

Leave a Reply