Berita ini runtut, menimbulkan simpati pendengar atau pun pembacanya. Kapal perusak Kolombia diterjang badai di Laut Karibia dalam pelayaran dari Amerika Serikat. Delapan pelaut tak jelas nasibnya, pencarian sia-sia, sebelum muncul kabar satu di antaranya ternyata selamat, terdampar di sebuah pantai setelah sepuluh hari terombang-ambing di tengah laut.
Di negerinya orang-orang mengelu-elukannya. Ia disambut bak pahlawan, bisa selamat setelah ditinggalkan oleh Caldas, nama kapal tadi.
Keajaiban bisa terjadi di mana-mana, begitu pun nasib pelaut ini. Ia bertahan selama sepuluh hari di tengah laut, terserang halusinasi, ditemani hantu, dan lain-lain yang membangkitkan perasaan takjub dan iba pendengarnya.
Semua tampak wajar, sebelum kemudian muncul laporan panjang wartawan cum sastrawan bernama Gabriel Garcia Marquez. Wawancara panjang dengan pelaut bernama Luis Alejandro Velasco itu dimuat berseri sampai 14 nomor di koran Kolombia, El Espectador.
Hal terpenting dari cerita yang sebelumnya tampak wajar ini adalah sejatinya tidak pernah ada badai.
Yang terjadi, kapal kelebihan muatan. Lama berhenti di Amerika, para pelaut belanja segala macam barang elektronik seperti kulkas, mesin cuci, dan lain-lain. Ketika ombak besar datang, kapal oleng. Barang-barang yang hendak dimasukkan ke negeri sendiri secara illegal tersapu dari dek, termasuk delapan awak kapal.
Kru yang lain berusaha mencari mereka, tapi pencarian tak membawa hasil. Caldas kemudian meninggalkan tempat meneruskan perjalanan.
Garcia Marquez membuat laporan berseri di koran tahun 1955. Berselang 15 tahun kemudian, 1970, laporan dalam bahasa Spanyol itu dibukukan. Tahun 1986, muncul edisi bahasa Inggris buku tersebut, berjudul The Story of a Shipwrecked Sailor.
Sebenarnya, seberapa banyak kabar/berita yang kita terima, tampak runtut, logis, masuk akal, tapi sejatinya tak pernah terjadi seperti soal badai tadi?
Adakah media memproduksi dan mendistribusikan kebohongan, istilah zaman sekarang hoax?
Tidak. Boleh jadi media tidak memaksudkan demikian. Boleh jadi bahkan atas nama kredibilitas, media membikin laporan berdasar niat mulia ingin menempatkan peristiwa pada duduk perkaranya.
Problemnya, dunia tidak seberes dikira orang. Banyak orang kelewat lugu. Tak terkecuali wartawan.
Kondisi dunia entah dikarenakan pengkondisian politik, sosial, agama, keluarga, dan lain-lain membuat orang bisa mengarang cerita, runtut, dengan mengarang-ngarang soal badai seperti diceritakan oleh pelaut tadi sebelum akhirnya dia mengaku apa yang sejatinya terjadi pada Gabo—panggilan sayang Gabriel Garcia Marquez.
Di dunia pers sudah tentu Gabo sedikit perkecualian—kalau malah bukan sebuah keajaiban.
Terlebih jika ditempatkan dalam konteks zaman ini. Banyak orang telah kehilangan kepekaan dan kekuatan intuisi.
Kalau peristiwa itu terjadi saat ini—di perairan sini pula—kemungkinan tak pernah terungkap bahwa badai sebenarnya tidak ada.
Si pewawancara menelan begitu saja apa yang diucapkan sumber berita. Seperti burung: masuk pepaya keluar pepaya.
Dikarenakan perkembangan teknologi digital/virtual, banyak orang, meminjam istilah zaman ini, menjadi halu.
Ditambah sedikit kecerdasan, manusia halu berpotensi menjadi “a plausible liar”.
Maksudnya orang yang mampu berbohong dengan meyakinkan, penuturannya lancar, koheren, masuk akal, kekurangannya cuma satu: yang ia tuturkan tidak benar atau bahkan tidak ada sama sekali.
Apakah orang seperti ini hanya bisa mengelabui media massa ecek-ecek dan tidak kredibel?
Percayalah pada saya: media massa atau koran berwibawa sekali pun bisa jadi kuda tunggangan a plausible liar.
Kalau hal ini sepertinya tidak pernah terjadi di media, selain karena pihak bersangkutan tak berani mengakui, kemungkinan semata-mata kebohongan memang tak terungkap, boleh jadi tak akan pernah terungkap sampai kiamat. Terkubur oleh keluguan—meski ada yang bilang, lugu dan bodoh tipis batasnya.
Intuisi kian menjadi binatang langka, dianggap tidak relevan dihadapkan pada diktum zaman ini: algoritma dan big data.
Nama jujurnya rating.
Ketika media massa, tak peduli media massa apa saja, online atau pun cetak menentukan pilihan prioritas pemberitaan semata-mata berdasar urusan rating, mampuslah kemanusiaan.
Informasi membanjir disertai daya rusak terutama terhadap otak.
Ibarat sebuah planet, planet informasi telah menjadi planet yang gelap karena kekeruhan informasi.
Tidak ada yang selamat dari kegelapan yang disebabkan oleh gerhana banjir informasi. Paling gradasinya yang berbeda. Wilayah mendos gelap gulita, media online gelap, media cetak remang-remang. Para partisan masing-masing jenis media silakan menentukan gradasinya sendiri, dibolak-balik juga tidak apa-apa.
Sami mawon. Kita hidup di zaman kegelapan.
Lalu, adakah planet lain yang tidak segelap planet informasi?
Mungkin ada.
Planet itu bernama planet buku—lebih khusus novel—disertai elemen-elemen lain seperti meditasi, kontemplasi, refleksi, dan semacamnya.
Planet Anak Bajang Menggiring Angin.
Sebuah planet yang sunyi, tidak gegap gempita oleh riuh rendah informasi, termasuk khotbah dan petuah mengenai kebajikan hidup di grup-grup WA.
Lantas ada apa dengan novel?
Ini dia. Bukan karena saya membuka tulisan dengan The Story of a Shipwrecked Sailor yang digarap seperti novel, melainkan novel adalah produk sintesis atau strukturisasi pengalaman, imajinasi, dan nilai-nilai manusia.
Yang lain-lain adalah subordinat novel.
Dengan mengolah semua elemen yang disebut tadi, intinya mengolah kesadaran, kalau beruntung kita akan melihat seberkas cahaya, seperti di gelap malam kita melihat satu bintang di langit.
Dengan setitik cahaya bintang, planet informasi yang gelap gulita mendadak tampak terang benderang.
Hanya manusia yang bisa melihat keajaiban alam seperti itu.
Bukan robot.***
26/9/2021
Ini adalah dakwah yg menyejukkan hati. Trims Bre Redana. Rahayu.