Hari ini saya kurang berselera melanjutkan kisah Ketika Jati Berbunga. Terus terang, saya tengah digelisahkan oleh ingar-bingar slogan dan semboyan di sekeliling saya, menggantikan suasana liris untuk menulis novel.
Slogan memang harus menghentak menggetarkan agar menggugah daya juang.
Saya barangkali jenis manusia yang terlalu payah untuk bisa digerakkan oleh slogan. Andai hidup pada zaman itu, kemungkinan saya tidak akan ikut berteriak “Inggris mati dilinggis Indonesia tetep baris”. Atau pula “Nasakom bersatu singkirkan kepala batu” dan lain sebagainya.
Setiap zaman memiliki slogan dan semboyannya, yang seperti saya sebut tadi, bukannya menggugah, tetapi bagi saya cenderung menggelisahkan.
Slogan membekukan gagasan. Dinamika gagasan, pergulatan pemikiran, dibekukan oleh slogan yang kebanyakan bersifat menutup pintu dialog. Apalagi kalau sudah diembel-embeli kata-kata “harga mati”. Matilah pemikiran.
Sulit membayangkan kehidupan yang nyaman—atau dalam konteks kehidupan berbangsa istilahnya berdemokrasi—kalau segala sesuatu dibandrol dengan “harga mati”.
Saat ini saya tengah membaca buku karya Laksamana Sukardi, Di Balik Reformasi 1998 (Penerbit Buku Kompas, 2018). Buku setebal 466 halaman ini merupakan catatan pribadi Laks—begitu saya tahu ia biasa dipanggil (adik dia, Wina Armada adalah sahabat saya)—mengenai peristiwa yang cukup mengubah wajah Indonesia dari zaman sebelumnya, zaman mencekam di bawah kediktatoran Soeharto.
Laks pada masa itu usia awal 30an tahun, dengan idealisme menyala meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang bankir sukses.
Ia mengambil resiko ambil bagian dalam gerakan reformasi dengan menjadi politikus yang disebutnya “politikus kasta paling rendah”, bergabung dengan PDI yang kala itu tak ubahnya penderita kusta: tidak ada yang berani dekat-dekat dengannya.
Ambruknya sistem perbankan saat itu yang berlanjut pada krisis ekonomi berskala besar negeri ini telah diprediksi oleh Laks dengan istilah dia, Pancasalah. Perekonomian Indonesia waktu itu ia sebut mengalami salah tata kelola; salah lihat; salah kaprah; salah asuh; salah tafsir alias tidak ada kepastian hukum.
Sungguh peringatan yang akan selalu aktual.
Dengan resiko dijauhi kawan, mengalami teror dan intimidasi termasuk usaha penculikan anaknya (yang untung gagal), menjadi saksi peristiwa berdarah penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada tanggal 27 Juli 1996, Laks yang sangat dekat dengan Megawati akhirnya melampui masa sulit dalam sejarah.
Saya belum tamat membaca bukunya. Sejauh ini salah satu bagian yang menarik perhatian saya adalah momen ketika Megawati diangkat sebagai Wakil Presiden mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid tahun 1999.
Begitu Megawati resmi diangkat sebagai Wapres, Laks yang saat itu hendak menyampaikan teks pidato yang ditulis oleh Eros Djarot untuk Mega, ditahan oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).
Ia kaget, sebab sebelumnya sehari-hari praktis ia bersama Mega yang dipanggilnya dengan sebutan Mbak Mega. Tidak ada protokoler dan formalitas keamanan seperti itu.
Begitu pun ketika dia ke rumah Mega di Kebagusan. Dia kaget. Kali itu bukan karena Paspampres, tetapi karena banyaknya orang, umumnya pengusaha, yang sebagian besar dia tidak pernah tahu sebelumnya.
Taufiq Kiemas, suami Megawati, memperkenalkan para taipan tadi kepada Laks sebagai “teman lama yang sudah ia kenal puluhan tahun”.
Bab ini dalam buku tersebut diberi subjudul ‘Lingkaran Baru Presiden’.
Saya selalu membayangkan kekuasaan sebagai entitas yang mengisolasi diri, digerakkan dan bekerja untuk dan demi kekuasaan itu sendiri.
Kurang lebih seperti dunia penulisan. Penulis tidak sepenuhnya menggambarkan kenyataan masyarakatnya. Dia mengeja kata, dan kata menggerakkan kenyataan baru yang kadang sama sekali berada di luar kenyataan seperti umumnya dipahami banyak orang.
Begitu pun penguasa. Dia mengeja kekuasaan, menggerakkan sesuatu, yang kadang berada di luar kenyataan yang bisa dipahami rakyat.
Rakyat meneriakkan slogan, yang boleh jadi juga kurang atau tidak dipahaminya.
Itulah yang menggelisahkan saya, yang menyebabkan saya memilih menulis catatan ini.
Besok mudah-mudahan saya tergerak untuk melanjutkan kisah Adriana dan Bara dalam Ketika Jati Berbunga.***