Selasa tanggal 29 Juni 2021 di Kompas muncul tulisan Suryopratomo, Dubes RI untuk Singapura berjudul Cara Singapura Menghadapi Varian Baru Covid-19.
Tulisannya lugas, jelas, gamblang.
Kuartal pertama tahun ini ketika Singapura cukup berhasil mengendalikan wabah dan dibakar optimisme untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, tiba-tiba terdeteksi virus korona varian baru yang penularannya tinggi masuk negeri itu.
Dengan sangat jelas, Tommy, begitu dubes ini biasa dipanggil, memaparkan kronologi dan strategi pertempuran Singapura menghadapi virus.
Lebih baik mundur selangkah untuk maju seribu langkah katanya.
Tanggal 8 Mei ditemukan virus varian B1617. Tanggal 12 Mei, empat hari setelahnya, persis sehari sebelum Idul Fitri, langsung fase pengetatan.
Luar biasa disiplinnya. Sanksi terhadap pelanggar tidak tanggung-tanggung, dari denda sampai penjara.
Sekitar sebulan sesudahnya, akhir Juni, tindakan tegas, sistematis, kompak, akuntabel ini memberi hasil.
Pemerintah melonggarkan kontrol.
Presiden Singapura Halimah Yakob pidato mengucapkan terimakasih atas kesadaran warga untuk bersama-sama menjaga kesehatan dan keselamatan bangsa.
Terimakasih Tommy untuk artikelnya.
Saya sama sekali tidak mengira, tulisan Tommy yang Selasa siang saya unggah di Twitter mendapat sambutan ramai netizen. Puluhan ribu memberi tanda like, retweet, dan komentar.
Tidak pernah di media sosial saya mendapat komentar sedemikian banyak.
Tentu bagi mereka yang akrab dengan dunia digital akan mentertawakan saya. Angka itu sekuku hitam dibanding konten menampilkan video konyol-konyolan goblok-goblokan. Pengunggah menjadi selebritas, banyak duit, didapuk jadi influencer, kemungkinan ketiban jabatan.
Meski angka puluhan ribu tak seberapa dibanding angka puluhan juta, saya lumayan gembira. Bahwa teks (bukan image) dalam media digital masih ada yang sudi baca. Orang masih membaca tulisan Tommy yang untuk ukuran kemalasan membaca abad ini cukup panjang.
Dengan kata lain, masih ada dan mudah-mudahan banyak orang yang punya perhatian terhadap teks, bahasa, pemikiran. Dengan itu humanisme belum akan tumbang oleh konten konyol-konyolan.
Kedua, mengenai tulisan Tommy sendiri.
Dalam tulisannya sepintas Tommy menyebut modal sosial yang kuat di Singapura.
Saya menggarisbawahi kata ‘modal sosial’, yang pertama kali saya dengar dari Francis Fukuyama.
Social capital menurut Fukuyama adalah pandangan bersama serta nilai-nilai bersama yang sifatnya informal dalam masyarakat, yang kemudian terinstitusi.
Tindakan saling dukung dalam pandangan dan nilai-nilai yang sama tersebut terselenggara karena adanya trust.
Trust menurut Fukuyama ibarat minyak pelumas, membuat kelompok, organisasi, atau bahkan penyelenggaraan pemerintahan berjalan lebih efisien.
Ribuan komentar terhadap tulisan Tommy di akun saya isinya serupa: ketidak-percayaan pada pemerintah. Skeptisme terhadap penguasa.
Tidak ada trust. A low trust country.
Mereka merasakan seperti saya rasakan, pemerintah ini tidak kredibel. Ibarat mesin bekerja tanpa minyak pelumas. Tanpa oli. Bergemeretak. Terancam rontok.
Fukuyama menyebut ada “radius of trust” alias radius kepercayaan.
Radius kepercayaan penguasa sempit, terbatas pada lingkungan mereka sendiri, para kroni, kolaborator, dan penjilat.
Fukuyama melihat ikatan dengan nilai-nilai tertentu dalam kelompok sempit umumnya berlaku di kalangan penjahat. Di situ mereka terikat pada pandangan dan nilai-nilai sendiri yang mereka pegang bersama, berbeda dari nilai-nilai masyarakat luas di luar lingkaran mereka.
Inilah ngomyang saya pagi ini.
Tidak apa tidak didengar penguasa yang punya nilai-nilai sendiri, entah apa.
Rakyat, para mahasiswa, buruh, tani, para profesional, seniman, dan lain-lain tidak boleh putus asa.
Kesadaran harus dijaga.
Mengutip Rendra:
Karena kami arus kali, dan kamu batu tanpa hati, maka air akan mengikis batu.***
1/7/2021
July Morning