Skip to main content
Esai

Online dan Cetak (Untuk Peserta Kelas Cerpen)

By July 10, 20212 Comments

Pada diskusi Anugerah Cerpen Kompas dalam rangka HUT @hariankompas 28 Juni lalu, bersama Putu Fajar Arcana dipandu Hilmi Faiq dan Sarie Febriane saya berucap bahwa kesadaran menulis untuk media online dan cetak berbeda.

Seorang peserta diskusi yang pernah ikut kelas menulis cerpen Kompas 2 tahun sebelumnya melalui WA bertanya pada saya: apa beda menulis untuk media cetak dan media online.

Di sini saya ingin mengelaborasi ucapan yang tidak saya uraikan lebih lanjut waktu itu.

Media cetak: Dalam menulis untuk keperluan media cetak saya memanfaatkan waktu lebih lama memelihara dan mengembangkan gagasan. Gagasan tersebut, entah berupa problem yang menyangkut kehidupan individu atau pun sosial kemasyarakatan, saya biarkan berkecamuk di otak untuk menjaga concern dan engagement saya terhadap kehidupan.

Menulis adalah bagian dari soul searching.

Saya tidak merasa perlu buru-buru.

Kedalaman, kematangan gagasan, lebih utama daripada keinginan untuk buru-buru memproduksi suatu karya.

Saya ingin memberi ilustrasi. Di Bandung ada produsen kopi bermerek Aroma.

Mereka punya gudang untuk menyimpan berkarung-karung biji kopi agar mengering secara alami. Proses penyimpanan ada yang 4 tahun, 6, tahun, 8 tahun, bahkan belasan tahun sebelum kemudian disangrai, diolah lebih lanjut untuk siap dikonsumsi.

Kurang lebih demikian proses menulis untuk media cetak, terlebih buku.

Proses pematangan tak kalah menggairahkan dibanding proses menulis nantinya.

Media online: Memenuhi kesegeraan medianya, apa yang terlintas di otak berupa apa saja yang saya anggap layak untuk dibagikan akan segera saya carikan kemasannya.

Bagaimana mencari kemasannya?

Bayangkanlah Anda punya produk untuk dijual. Perlu kemasan. Kemasan bisa bikin sendiri atau kulakan di tempat lain entah berupa dus, plastik, botol, dan lain-lain.

Dalam hal karya sastra, kemasan bisa Anda kais-kais dari buku-buku sastra sebagai inspirasi, pengalaman hidup sendiri, cerita hidup orang lain, tontonan, musik, dan sebagainya.

Sulit membayangkan seseorang ingin jadi penulis tanpa memiliki kebiasaan membaca.

Coffee shop: Lagi-lagi mengambil kopi sebagai metafora, menulis untuk media online saya bersikap seperti pengusaha coffee shop.

Selain menyiapkan kopi yang enak yang produknya tersedia secara ajek sehari-hari saya  mendandani gerai saya dengan chic, berharap langganan sudi datang tiap hari.

Tergantung konsep coffee shop, secara pribadi mungkin saya memilih membuat gerai kecil-kecilan, biar sambil menyediakan kopi saya bisa ngobrol dengan pelanggan seperti @ninuk_pambudy, @lindachristanty, @jurubaca, @wedangdekok, @SarieFebriane yang dikagumi @ridooetoro1 dan lain-lain.

Mempertimbangkan medium: Dalam menulis online saya akan sangat mempertimbangkan mediumnya, yang jelas berbeda dibanding media cetak. Saya pengikut doktrin McLuhan, “the medium is the message”.

Banyak hal akan saya kompromikan dengan kelebihan maupun keterbatasan medium online.

Misalnya dispilin komposisi yang saya taati dalam menulis untuk media cetak, di sini akan saya abaikan.

Kaidah bahwa satu paragraf selayaknya terdiri sedikitnya dari 3 kalimat, sangat mungkin saya langgar.

Mengapa?

Saya mempertimbangkan layar HP. Pembaca akan kesulitan kalau dalam satu layar terdiri satu paragraf panjang tanpa jeda space antar kalimat.

Dengan sendirinya, kalimat, kata, diksi yang saya pilih akan jauh berbeda dibanding tatkala saya menulis untuk media cetak.

Irama, tempo, timing, semua menjadi beda.

Kesegeraan: Saya merasa tidak perlu menahan tulisan untuk saya kaji berulang-ulang, merenungkannya kembali, mengedit berkali-kali, dan lain-lain.

Langsung publish.

Aksi-reaksi-refleksi.

Habis itu saya melakukan kegiatan lain. Tidak lupa tidur siang.

Besok buka warung lagi, ketemu pelanggan-pelanggan yang menyenangkan karena mereka tidak anonim seperti pembaca media cetak.

Hanya engkau yang tahu: peserta kelas cerpen tadi pernah mengirimkan 2 tulisannya kepada  saya. Dia bertanya, menurut penilaian saya tulisan dia itu untuk media online atau cetak.

Jawaban saya: hanya engkau yang tahu.

Dia bilang, menulis suka-suka dia.

Bagus, kata saya.

Menulis, dunia surat, seperti dunia silat, terdiri dari banyak perguruan, banyak aliran, banyak teknik yang berbeda satu dan lainnya.

Tidak ada yang lebih benar tidak ada yang lebih salah.

Bedanya, mengutip ucapan Rendra, dalam dunia silat tidak ada pendekar nomor 2, dalam dunia surat tidak ada pendekar nomor 1.

Saya menceritakan jalan saya, jalan yang saya ketahui, bukan jalan orang lain yang tidak saya ketahui dan dalam beberapa hal juga saya tidak peduli.

Dunia sepi: Terakhir, apa sebetulnya yang ingin saya sampaikan melalui esai pendek ini?

Mari menulis.

Betul kata Pramoedya, menulis adalah dunia sepi, tapi menurut saya tidak sepi-sepi amat kalau kita punya teman seperjalanan.***

10/7/2021

Join the discussion 2 Comments

Leave a Reply