Skip to main content
Esai

Ritus dan Seremoni

By November 28, 20214 Comments

Rasa syukur dan terimakasih melalui tulisan tak seberapa yang saya buat pagi inilah yang bisa saya lakukan untuk mengucapkan terimakasih kepada para sahabat, teman, handai taulan yang mengingat saya, mengucapkan selamat pada hari kelahiran saya 27 November kemarin.

Sebagai orang kampung dari kota kecil di Jawa Tengah, terus terang dulu saya kurang mengenal tradisi ulang tahun. Hari kelahiran lebih dimaknai dengan weton dalam sistem kalender Jawa. Pada hari weton, orangtua membikinkan bubur merah putih.

Baru pada perkembangannya terutama ketika tinggal di Jakarta saya mulai mengenal tanggal kelahiran dianggap istimewa.

Mulanya saya malu menerima ucapan selamat ulang tahun, happy birthday, dan semacamnya. Maklum orang desa, yang seperti saya sebut tadi, saya tidak tumbuh dalam tradisi nyanyi-nyanyi happy birthday—sama saya tidak terbiasa merayakan tahun baru. Suara saya fals. Urusan nyanyi biarlah dilakukan para keponakan saya, beberapa penyanyi terkenal.

Ala bisa karena biasa, begitu istilahnya.

Lama-lama saya jadi terbiasa menerima ucapan selamat ulang tahun, kalau ada rejeki dan tidak ada urusan lain lebih urgen, tidak berkeberatan didesak-desak untuk menyelenggarakan makan bersama, pesta, dan semacamnya.

Sayang saat ini pandemi, padahal enak juga pipi dicium teman-teman cewek.

Kali ini mereka cuma dari jauh bilang muah-muahhh.

Awas saya akan menagih kalau situasi memungkinan nanti.

Di antara berbagai peringatan ulang tahun, salah satu yang paling saya ingat adalah tatkala merayakan ulang tahun empat tahun lalu, tahun 2017.

Itu merupakan peristiwa istimewa bagi saya pribadi. Saat itu saya pensiun dari koran Kompas, tempat kerja saya selama 37 tahun.

Saya selalu ingat perkataan Pak Jakob Oetama yang sering merefleksikan bahwa apa yang kita jalani sebagian merupakan pilihan hidup kita sendiri, sebagian lagi merupakan pilihan nasib.

Dengan demikian selalu ada dua hal yang perlu kita sadari: yang satu adalah perencanaan, satu lagi penyerahan (pada yang Illahi).

Bukan penyerahan pasif, melainkan penyerahan aktif, begitu kurang lebih penjabarannya.

Orang harus pandai berterimakasih dan bersyukur, begitu Pak Jakob selalu mengingatkan.

Terus terang saya merasa cocok dengan pandangan beliau.

Itulah yang saya rasakan, ketika menjelang ulang tahun waktu itu, tanpa sengaja penerbit KPG berhasil menyelesaikan produksi novel saya Koran Kami with Lucy in the Sky.

“Piye nek diluncurke pas sampeyan pensiun,” kata Candra Gautama dari KPG (Bagaimana kalau diluncurkan saat kamu pensiun).

Mengapa tidak, kalau menurut penerbit memungkinkan, jawab saya ketika itu.

Tidak menyangka gagasan tersebut ditanggapi teman-teman dan sahabat.

Frans Sartono yang saat itu menjadi direktur Bentara Budaya Jakarta tidak berkeberatan acara diselenggarakan di BBJ.

Teman-teman di redaksi Kompas tidak berkeberatan bahkan antusias ingin membaca cuplikan-cuplikan novel.

Para perupa dari Jakarta, Yogya, Bandung, Bali, ingin memajang karya-karya mereka.

Teman yang punya kemampuan bermusik ikut memeriahkan acara. Tommy Awuy menampilkan Pink Floyd bersama gitaris yang kini sudah almarhum, Aria Baron (thanks Baron. I love you). Nana, teman saya di Palmerah yang suaranya selembut Nana Mouskouri jadi vokalis.

Tak henti-henti saya berterimakasih pada Sarie Febriane, Putu Fajar Arcana, Yoan, Wiediantoro, Bustomi, Teguh Candra, Hari Budiono, Warih Wisatsana, Andar Manik, Wendie Artswenda, dan masih banyak lagi yang kalau saya sebut semua khawatir tulisan ini jadi buku telepon zaman dulu.

Yang paling penting bagi saya pribadi peristiwa itu menjadi semacam tetenger, penanda, closure, dari fase kehidupan saya sebelumnya.

Seperti saya sebut di atas, saya tumbuh sebagian dalam tradisi agraris yang lumayan memberi tempat bagi hal-hal yang bersifat ritus dan seremonial. Dalam pandangan saya, ritus dan seremoni  inilah yang membedakan belahan Timur dengan belahan Barat yang mendasarkan diri lebih pada logika dan rasionalitas.

Fase-fase hidup kita ditandai dengan berbagai ritus: potong pusar, asah gigi, sunat, dan seterusnya. Sejajar dengan ritus penghormatan dan pemujaan terhadap alam: bedah bumi, gugur gunung, musim tandur, musim panen, dan lain-lain.

Dengan ritus-ritus tersebut setiap saat kita dibawa ke kesadaran baru mengenai makna kehidupan kita dan alam raya.

Malam itu, ketika acara usai, para tamu sudah meninggalkan tempat, Bentara Budaya berangsur-angsur sepi.

Bersama istri dan beberapa teman kami beres-beres. Buket bunga yang bagus kami masukkan mobil, dibawa pulang ke tempat tinggal saya, Ciawi.

Sebuah closure.

Meninggalkan Palmerah malam itu saya sadar: esok pagi ketika saya bangun tidur, hari-hari saya bukanlah hari-hari rutin sebelumnya yang saya jalani puluhan tahun.***

28/11/2021

Join the discussion 4 Comments

Leave a Reply