Skip to main content
Esai

Tanamur

By April 21, 20213 Comments

Bulan puasa mendadak saya teringat teman dekat saya—kini telah almarhum—yang saking akrabnya waktu itu boleh dikata tiap hari kami bertemu. Teman ini lelaki cukup berpunya. Murah hati. Kebahagiannya mentraktir teman.

Salah satu tempat yang sering kami kunjungi adalah Tanamur. Diskotik ini dalam kacamata saya merupakan salah satu penanda sosial kebangkitan gaya hidup anak-anak muda era Orde Baru.

Tanamur bertahan cukup lama melintasi berbagai perubahan Jakarta. 35 tahun. Dibuka tahun 1970, gulung tikar 2005.

Waktu itu sekitar akhir 80an. Teman tadi menjemput saya ke kantor, mengajak buka puasa.

Berangkatlah kami ke hotel berbintang yang menyajikan buffet segala rupa masakan.

Buka diawali dengan jajanan-jajanan tradisional yang dikemas secara wah. Dilanjutkan main course tak kalah luar biasa.

Usai makan, kami ngopi. Lalu menikmati cognac sambil merokok. Waktu itu saya masih merokok.

Dia minta saya ganti rokok dengan cerutu. Bersama dia saya kecipratan gaya hidup mewahnya.

Waktu merangkak. Pukul 23.00.

“Bagaimana kalau kita ke Tanamur,” dia mengusulkan.

Ide jenius, kata saya.

Saya masih jomblo. Belum ada yang mau. Sulit menemukan alasan untuk pulang ke rumah selekas mungkin.

Bagi mereka yang pernah mengenal Tanamur barangkali masih bisa mengenang suasana egaliter diskotik ini. Gayanya rustic, mirip gudang.

Tidak ada formalitas. Manusia dari segala kelas sosial campur aduk di tengah gelegar musik disko dan alkohol. Dari manusia mahal dengan dandanan gemerlap sampai mereka yang bersandal jepit.

Dari nama-nama terkenal sampai yang bukan siapa-siapa.

Apa daya tarik Tanamur sampai awak Deep Purple, Mick Jagger, bintang-bintang dunia yang singgah ke Jakarta perlu mampir Tanamur?

Sulit mencari jawabnya.

Kebetulan saya kenal dengan pemiliknya, Ahmad Fahmy (kini telah almarhum). Pada perkembangannya dia membangun restoran sederhana bersebelahan dengan Tanamur.

Menunya tak kalah sederhana. Yang terkenal nasi goreng.

Fahmy memaksudkannya untuk melayani para pengunjung yang boleh jadi kelaparan setelah berjingkrak-jingkrak. Mereka tidak butuh yang aneh-aneh. Cukup nasi goreng.

Seiring perkembangan Jakarta, makin banyak muncul tempat hiburan malam wah.

Saya ingat tempat-tempat yang sering saya kunjungi bersama teman tadi. Ebony di Kuningan; Pasir Putih di Kemang; Jimbaran Café di Kemang; Fashion Café di Plaza Indonesia; dan lain-lain.

Saya minta pendapat Fahmy tentang tempat-tempat baru yang lebih wah ketimbang Tanamur.

Dia tersenyum.

“Biar saja. Nanti orang juga akan kembali ke sini. Tempat-tempat baru itu ibarat sekolah. Setelah lulus mereka ke sini,” ucapnya enteng.

Seabrek drama hidup terjadi di Tanamur. Tanamur pernah saya jadikan latar belakang cerpen maupun novel saya.

Tanyai mereka yang gemar kluyuran di tempat-tempat hiburan malam kala itu, yang kini telah menjadi opa-opa dan oma-oma. Mereka sekarang mengajarkan kepada anak cucu agar jadi manusia saleh. Bagus. Pendidikan yang baik harus berdasar pada pengalaman sendiri.

Kembali pada malam itu.

Kami di situ sampai Tanamur tutup pukul 02.00 dini hari. Lampu menyala terang menggantikan suasana remang-remang mendekati gelap sebelumnya. Memang enak buat pacaran.

Kepala saya sedikit pusing. Ingin cari taksi. Pulang.

“Jangan pulang dulu,” bujuknya. “Kita sahur dulu.”

Kami menuju hotel yang bubur ayamnya legendaris.

Sambil menikmati bubur menjelang fajar, saya katakan padanya, tadi di lobi hotel sepertinya saya sekelebat melihat mantan pacar dia. Perempuan yang barangkali masih mendendam padanya.

“Kamu mabuk. Pandangan kamu salah,” kata dia.

Mungkin dia benar. Saya kebanyakan minum bir.

Usai makan bubur, keluar ke tempat parkir, kami berdua terkejut.

Di wiper mobil terselip kertas putih. Tulisannya:

“Mobil ini dijual. Hubungi monyet. Nomor telepon: …..”

Ditulis lengkap nomor telepon teman saya.

“Ini tulisan tangan dia,” gerutunya.

Saya tertawa terguling-guling. Hubungi monyet, ha-ha-ha. Sakit kepala hilang seketika.

Pernah diam-diam saya menggambarkan karakter dia dan ceweknya dalam cerpen saya. Cerpen dimuat di salah satu koran nasional.

“Karya-karyamu tak keruan, tidak berkejuntrungan, agak amoral,” kata dia mengomentari tulisan saya. “Ibarat sastra, karyamu adalah sastra Tanamur.”

Saya diam saja.

“Kamu jangan tersinggung. Meski tak keruan, urakan, banyak yang senang. Paling tidak saya. Kayak Tanamur,” ucapnya.

Kali itu saya tertawa.

Sampai sekarang saya sering ingat ungkapannya yang terasa otentik tersebut: “sastra Tanamur”.***

(Untuk mengenang sahabat, semoga engkau damai di sisiNya)

Join the discussion 3 Comments

  • marinA says:

    Terasa riil sekali. Saat membaca, seperti ditarik ke masa itu dan ke lokasi Tanamur. Ikut merasa mabuk dan cekikikan saat “mobil dijual hubungi monyet”.
    Begini ini yang jadi cara asyik melintasi waktu. Tks mas Bre.

  • Bre Redana says:

    Dulu kl ada acara dan harus isi buku tamu, utk alamat drpd harus isi alamat kos pake RT RW, saya isi: Tanamur.

Leave a Reply