Skip to main content
Esai

Versi Cetak: Untuk Agnes

By June 19, 2021One Comment

Sahabat saya, Agnes, melontarkan sejumlah catatan terhadap cerita bersambung yang saya bikin di website breredana.com dengan judul Ketika Jati Berbunga (KJB). Dia merasa ada ketergesa-tergesaan terutama dalam bagian akhir kisah tersebut. Ia minta maaf seandainya pandangannya keliru.

Pertama saya harus katakan padanya, tidak perlu minta maaf. Apa pun dilontarkan pembaca membuat saya bahagia. Bahwa karya saya dibaca/didengar orang. Selalu saya ingat pesan dosen filsafat semasa kuliah: penghargaan pertama terhadap kemanusiaan adalah mendengar seseorang bicara.

Terimakasih Agnes.

Yang kedua, mengenai kesan bahwa ada ketergesaan mengakhiri cerita.

Sungguh saya sangat senang diingatkan hal ini. Saya merasa diingatkan mengenai prinsip olah tubuh: mengalir. Jangan dipaksakan. Dalam jalan Tao ada istilah Liok Hap. Dulu Rendra merumuskan dengan bagus mengenai prinsip tadi dengan frasa: hadir dan mengalir.

Agnes benar. Saya mempercepat bagian akhir.

Di benak saya terlanjur terbangun struktur, bahwa cerita harus berakhir seperti itu, bahkan pada episode ke-25.

Kenapa 25? Entahlah. Saya merasa angka itu bagus, lebih bagus dari 24 atau 26 misalnya.

Saya menulis KJB setiap pagi sebagai penyeimbang olah gerak, nyapu, bersih-bersih rumah, bermain dengan Rottweiler saya, dan lain-lain. Istilahnya: memukul angin 1.000 kali, menulis 1.000 kata.

Dunia terlampau bergegas. Orang merayakan percepatan. Ruang dan waktu dikuasai oleh piranti teknologi yang memang dimaksudkan untuk memenuhi obsesi manusia akan percepatan.

Di tengah situasi seperti itu saya ingin berlatih kelambatan. Mengikuti jalannya alam. Batang bambu hanya tumbuh sejengkal setiap pagi.

Kesabaran alam coba saya tubuhkan (baca tubuhkan, bukan tumbuhkan) dalam diri.

Melatih kesadaran tubuh.

Selain kecerdasan otak, ada kecerdasan tubuh.

Begitulah tiap episode KJB saya anggit setiap pagi.

Melalui krida kata, teks, tulisan, serat, saya mempelajari dinamika, irama, tempo, timing—segala hal yang berhubungan dengan waktu.

Tubuh sebagai ruang, tubuh sebagai waktu.

Pada tiap episode yang saya perhitungkan waktu baca tak lebih dari 5 menit, saya coba melengkapinya dengan unsur-unsur dramatik dari intro, konflik, pengembangan konflik, acuan dramatik menuju klimaks, serta transisi untuk kelanjutan cerita esok pagi berikutnya.

Itulah kesadaran saya ketika menulit KJB. Kesadaran menulis cerita bersambung online.

Selain teman-teman yang akrab dengan dunia online, saya punya banyak teman—yang sama seperti saya—gagap dengan medium digital. Sudah saya kirim link atau tautannya, masih bertanya bagaimana cara membukanya.

Maka terutama untuk mereka, saya bikin versi cetak KJB.

Saya lebih suka menyebut “versi cetak KJB” daripada buku. Sebab yang kemudian berbentuk buku ini, semata-mata tulisan online yang dicetak, tidak saya tambah-tambahi atau saya kembangkan lagi—meski kalau mau semua itu sangat dimungkinkan.

Selama ini saya telah menulis beberapa buku dan masih bergulat dengan beberapa buku yang tengah saya garap.

Bagi saya, menulis cerita bersambung secara online yang langsung upload tiap pagi berbeda kesadarannya dengan menulis buku.

Bagaimana bentuk perbedaan kesadaran itu?

Kapan-kapan saya akan menguraikannya.***

NB:

Untuk yang berminat terhadap versi cetak Ketika Jati Berbunga bisa menghubungi Rudy, 082112444700.

Join the discussion One Comment

Leave a Reply