Skip to main content
Nota

Astari

By May 10, 2021No Comments
Astari di Candi Ceto

Dari sejak Sri Astari Rasjid berakhir tugasnya sebagai Dubes RI untuk Bulgaria-North Macedonia-Albania tahun lalu, baru akhir pekan lalu saya jumpa lagi dengannya. Saya jarang meninggalkan rumah pada masa pandemi. Begitu pun Astari. Sejak kembali ke tanah air bulan Agustus tahun lalu dia mengaku melulu di rumah.

Bertiga, Astari, istri saya Vivi, dan saya, berbuka puasa di rumahnya di Kebayoran Baru.

Semua yang mengenalnya tahu, Astari cakap menjamu teman.

Petang itu dia menyiapkan dari es doger sampai shabu shabu.

Yang menangani Indah. Asisten rumah tangganya sejak lama. Ketika Astari di Sofia, Indah ikut ia bawa kesana.

Dia kelihatan santai dan punya banyak waktu. Saya tidak sungkan nongkrong, ngobrol sampai malam.

“Sekarang saya tenang membaca buku, menulis, berkarya, tidak seperti sebelum-sebelumnya, harus keluar rumah menghadiri acara ini-itu,” katanya.

Astari adalah seniman. Dia melukis, membikin patung, serta karya-karya instalasi dengan berbagai medium.

Sebagai dubes, kesadarannya tetap kesadaran seniman. Diplomasinya ia sebut sebagai diplomasi kebudayaan.

Saya sering mendengar apa yang dilakukannya di Bulgaria selama 4 tahun lebih. Berpameran, memasang patung aluminium di sudut kota, membuat cenderamata botol wine dengan hiasan wayang, dan lain-lain.

“Dugaan saya kamu adalah dubes paling sibuk,” kata saya.

Dia tertawa.

Teringat saat dia menyelenggarakan acara perpisahan di Bulaksumur, Yogya, menjelang keberangkatan ke Bulgaria. Ia mengadakan pameran restropeksi besar-besaran.

Tak ketinggalan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, dengan 2 dalang, Sujiwo Tejo dan Ki Seno (kini almarhum).

Di tengah tamu-tamunya, berpenampilan chic dengan kainnya, Astari mondar-mandir.

Meski memakai kain, alas kaki dengan heel, sama sekali dia tidak seperti “putri Solo” yang sering dilukiskan mlakune koyo macan luwe (berjalan seperti macan lapar).

Dia adalah wanita yang gesit. Jalannya cepat.

“Aku bakal ketinggalan kalau jalan sama kamu,” ucap saya.

Beberapa kali saya melihat dia berkarya. Naik ke steger, membikin patung.

Ia mengaku saat ini tengah mengerjakan patung Sukarno-Hatta di Yogya, tingginya 3,5 meter.

Ketika mendengar saya melakukan perjalanan ke candi-candi di Jawa Timur untuk keperluan menulis novel, dia bercerita bahwa sebelum berangkat ke Bulgaria dulu ia ziarah ke Candi Bajang Ratu di Trowulan.

Ia sempat menyinggung pandangan maupun pengalaman spiritualnya.

Banyak orang ingin menjadi sorotan. Mencari cahaya.

Dalam pandangan saya, Astari sebaliknya. Dia adalah sosok yang dicari oleh cahaya—limelight.

Sebelum pandemi, ketika mobilitas manusia tidak dibatasi, kesibukannya luar biasa.

Kini dia tampak sangat menikmati punya banyak waktu.

Dia memberi saya buku yang dia buat secara kilat menjelang berakhirnya masa tugas di Bulgaria. Buku berjudul Art of Diplomacy.

Saya yang jelas punya banyak waktu sebagai pensiunan, membaca buku tersebut pelan-pelan.

Selain membaca juga menikmati foto-foto karyanya, tak ketinggalan foto dia di Candi Ceto—candi yang memberi saya banyak inspirasi.***

Leave a Reply