Skip to main content
Nota

Bangkit dari Kubur

By March 25, 2022No Comments

Di lobi Sarinah saya melihat sesuatu bangkit dari kubur. Bikin merinding. Itulah yang saya rasakan ketika memasuki pusat pembelanjaan di Jalan Thamrin Jakarta ini pekan lalu dalam soft opening usai Sarinah ditutup selama 2 tahun untuk renovasi.

Sarinah adalah pusat pembelanjaan modern pertama di Indonesia. Ia muncul paruh pertama tahun 60an bersama fasilitas-fasilitas modern Indonesia lainnya seperti Hotel Indonesia di Jakarta, Hotel Ambarukmo di Yogya, Samudera Beach di Pelabuhan Ratu, dan Bali Beach di Sanur.

Sedianya Sukarno akan meresmikan Sarinah tahun 1965 tapi tertunda karena peristiwa G30S. Sarinah baru dibuka tahun 1966.

Mungkin masih ada satu dua orang yang punya kenangan tentang Sarinah di masa lalu. Dulu di situ ada Miraca Sky Club, tempat para the have nongkrong.

Srimulat yang berbasis di Surabaya, beberapa kali pentas di Sarinah saat melawat ke Jakarta sebelum mereka membikin panggung permanen di Taman Ria Remaja Senayan.

Pentas Srimulat di Senayan bubar, menurut guyonan orang Jakarta karena kalah lucu dibanding para pelawak di gedung sebelahnya, gedung DPR.

Atau yang agak lebih baru dibanding pengalaman super jadul tadi, dibukanya restoran waralaba terkenal pada zamannya, McDonald’s.

Pengunjung membludak antre sampai halaman.

Saya ingat si pemegang franchise, teman baik saya, pengusaha Bambang Rachmadi, ikut terjun menggoreng kentang.

Back to the future.

Usai renovasi sekarang Sarinah bertransformasi dari Sarinah gadis desa cantik menjadi Sarinah cewek urban yang kinclong, gemerlap, outstanding di antara yang lain.

Ia berada di jantung Jalan Thamrin yang makin luar biasa penampilannya.

Menurut saya Sudirman-Thamrin saat ini adalah salah satu boulevard terbaik di Asia.

Entah mengapa kurang ada yang mengapresiasi kerja gubernur DKI saat ini, Anies Baswedan.

Tabik pak @aniesbaswedan.

Salam dari saya, bukan cebong bukan kadrun dan tidak tertarik pada salah satunya.

Di lobi Sarinah saya tergetar, disambut relief-patung raksasa, tinggi hampir mencapai 3 meter panjang 15 meter.

Sosialisme realis menyambut tamuYang digambarkan oleh relief ini adalah patung-patung masa itu, ketika Indonesia bercita-cita mulia jadi negeri sosialis: tani dan nelayan.

Saking takutnya negeri ini pada hantu sosialisme-komunisme, puluhan tahun karya tersebut dikubur dalam gudang, seperti para manusia diasingkan dalam Gulag negeri ini bernama Pulau Buru.

Kurator seni rupa, Asikin Hasan, menggambarkan keadaan relief-patung ini ketika ditemukan dalam proses renovasi sebelum direstorasi dan ditampilkan lagi kini di lobi untuk menyambut pengunjung.

Mengalami rusak ringan dan berat. Ada bagian yang diguyur cat warna putih.

Menurut Asikin patung-patung ini tak jelas siapa penganggitnya.

Edan menurut saya. Karya modern tanpa nama seniman yang mengerjakannya.

Seperti manusia tak ber-KTP.

Sungguh patung-patung ini menggambarkan nasib banyak orang pada suatu rejim di negeri ini: manusia-manusia tanpa hak sipil.

Bersyukur, kini relief-patung tersebut dihidupkan kembali, termasuk terus diteliti dan dilakukan studi atas dirinya.

Modernitas hampa tanpa kesenian.

Lantai 6 Sarinah kini dijadikan Distrik Seni, ditangani si tangan dingin yang selalu berhasil menangani proyek seperti ini, Heri Pemad.

Dilibatkan pula kurator Farah Wardani.

Untuk soft opening Sarinah, Distrik Seni menghadirkan karya seniman Iwan Yusuf, dikenal dengan karya-karya realisnya yang super-realis.

Iwan Yusuf melakukan studi atas relief-patung yang terkubur di Sarinah itu.

Ia membikin ‘studi relief dalam jaring’.

Iwan Yusuf dalam ‘studi relief dalam jaring’

Dengan medium jaring nelayan ia membikin karya serupa relief-patung itu dengan teknik sebagaimana para nelayan menambal-nambal jaring yang koyak.

Dari segi teknik mencengangkan, dari segi kreativitas otentik, dari segi gagasan brilian.

“Saya cuma diberi waktu seminggu oleh Heri Pemad untuk bikin karya ini. Selama seminggu tiap hari saya bekerja 16 jam,” kata Iwan, seniman otodidak kelahiran Gorontalo.

Iwan Yusuf (kiri) bersama orang tak dikenal.

Iwan tidak hanya mengkopi bentuk, tapi juga tafsir ulang atas karya itu.

Sosok para tani pada relief-patung Sarinah dalam beberapa hal ada kesamaan dengan monumen yang di Jakarta terkenal dengan sebutan Tugu Tani.

Di monumen yang terletak di kawasan Menteng, pak tani bersenjata, berdiri dengan dagu agak mendongak, bersama bu tani.

Kalau diperhatikan, figur mereka lebih figur Eropa.

Sosok bu tani seperti sosok Luna Maya.

Tugu Tani adalah karya seniman Russia, hadiah pemerintah Uni Soviet untuk Bung Karno.

Para tani Iwan Yusuf lebih bersosok Indonesia.

Diungkapkan melalui media jaring nelayan, ia menjadi karya kontemporer yang menggugah.

Seperti pusat pembelanjaan Sarinah sekarang sebagai pusat pembelanjaan kontemporer yang sexy.

Kapan kita ngopi di situ, dik… ***

Sanur, 26/3/2022

Leave a Reply