Minggu siang tanggal 21 Agustus 2022 bersama istri saya memenuhi undangan peluncuran buku memoir yang ditulis oleh Mia Bustam (1920-2011) di GoetheHaus, Menteng, Jakarta Pusat. Mematuhi ketentuan dalam undangan, kami hadir 30 menit sebelum acara yang dijadwalkan dimulai pukul 14.00. Bahkan karena perjalanan dari Ciawi lancar, kami tiba 45 menit sebelum acara.
Ternyata halaman parkir GoetheHaus sudah penuh. Saya parkir di halaman tempat penjual makanan di seberang jalan.
Kelihatan banyak orang berdatangan. Tamu perempuan umumnya berkebaya. Saya suka wanita berkebaya.
“Bu Mia banyak temannya,” gumam saya pada Vivi.
“Dia seorang pemenang,” tukasnya.
Kami berdua sama-sama telah membaca buku Bu Mia, selain buku yang hendak diluncurkan hari itu, judulnya Kelindan Asa dan Kenyataan, juga dua buku sebelumnya, Sudjojono dan Aku (2006) dan Dari Kamp ke Kamp (2008).
Saya termenung mendengar komentarnya.
“Banyak perempuan mengalami pengalaman pahit dalam hidupnya, umumnya tidak mampu keluar dari persoalan. Bu Mia semacam heroine. Dia melakukan perlawanan, menemukan dirinya, dan keluar sebagai pemenang. Itu yang membuat banyak orang kagum, terutama kalangan perempuan,” lanjut istri saya.
Dia pengagum Bu Mia. Di tempat acara ia membeli lagi buku-buku Bu Mia untuk temannya.
Percakapan sepintas dari tempat parkir di seberang jalan sampai pintu masuk GoetheHuis tersebut membantu pemahaman saya mengenai Bu Mia, yang selain saya kagumi tulisannya juga sempat saya kenal secara pribadi semasa yang bersangkutan masih hidup.
Bu Mia menulis dengan rancak, rinci, sederhana—sesuatu yang sebagai penulis membuat saya iri.
Seperti dibawakan oleh aktris panggung Pipien Putri dalam monolog mengenai Bu Mia dengan memukau, Bu Mia—lahir dengan nama Fransiska Emanuela Sasmiati—semula menikah dengan pelukis terkemuka, S Sudjojono. Dari perkawinan tersebut mereka mendapatkan 8 putra-putri.
Perkawinan tidak langgeng. Pak Djon, panggilan Sudjojono, berpindah ke lain hati.
Bu Mia tidak terima. Dia memilih cerai.
Dengan perceraian ini, dari seorang ibu yang melayani, mengasuh 8 anak dengan mandiri, menjahit sendiri pakaian-pakaian mereka, mengepel lantai rumah sampai bisa untuk berkaca saking bersihnya, bertransformasi menjadi iron lady dalam perjalanan mencari jati diri.
Dia memaklumkan diri bukan lagi sebagai Nyonya Sudjojono pelukis terkenal melainkan Mia Bustam (Bustam diambil dari nama leluhur dari pihak eyang putri).
Ia percaya mampu melukis.
“Aku akan menyaingimu, Mas Djon!” katanya seperti dikutip dalam buku.
Mulailah aktivisme kesenian/kebudayaan Mia Bustam.
Ia bergabung dengan Seniman Moeda Indonesia (SIM), sanggar yang didirikan termasuk oleh Sudjojono. Sebagaimana sanggar-sanggar dan kegiatan-kegiatan seni budaya pada masa itu, para anggota berafiliasi pada partai politik.
Mia bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), onderbouw PKI, yang terbilang progresif.
Saat itu Mia cukup berkibar. Salah satu karya lukisan potret dirinya dipamerkan keliling Eropa Timur.
Hanya saja nasib manusia tidak bisa dilepaskan dari kisaran sejarah.
Tahun 1965 meletus peristiwa G30S.
Mia, bunga individu yang tengah hendak mekar secara sosial, dijebloskan ke kamp tahanan oleh rejim Soeharto dari 23 November 1965, bebas 13 tahun kemudian, 27 Juli 1978.
Buku ketiga ini menceritakan pergulatan Mia seusai masa “pertapaan” dari kamp ke kamp, termasuk antara lain kamp perempuan di Plantungan, Jawa Tengah.
Dia menata kembali hidupnya.
Mengerjakan panggilan yang tertunda.
Pernah ia mencoba melukis lagi, dengan peralatan lukis yang diberikan oleh pelukis Kartika Affandi.
Ternyata dia merasa tidak mampu lagi melukis.
Ia tahu apa yang tidak bisa dilakukannya, sebagaimana ia tahu apa yang mungkin dan sanggup dilakukannya.
Ia menterjemahkan buku-buku dari bahasa Belanda maupun Inggris ke bahasa Indonesia, selain menulis sendiri apa yang ia suka.
Ia memberdayakan diri dan lingkungannya, para eks tapol, untuk melakukan kegiatan ekonomi guna menghidupi diri sendiri dan keluarga.
Selain ingin mandiri, ia berkeinginan memiliki rumah sendiri, untuk ditinggalkan kepada anak cucu andai nanti dia tiada.
Dalam pandangan saya, Bu Mia adalah simbol dari ketabahan perempuan, intelektualitas, dan lebih dari segalanya, dia adalah spirit ibu: daya yang bersifat menyemaikan dan memelihara kehidupan.
Bulan September nanti selayaknya digunakan untuk mengenang tokoh seperti ini.
Otentik dan tidak klise.
Dia telah memulai, dan tahu kapan semua akan berakhir.
Ia bukan saja menulis epilog pada bukunya yang menggambarkan bahwa perjalanan hidupnya akan segera berakhir, tetapi juga diam-diam meninggalkan wasiat termasuk tata cara upacara pelepasan jenasah dan pemakaman saat dirinya meninggal dunia.
Dalam wasiatnya, selain berterimakasih kepada para handai taulan, ia meminta semua tidak bersedih.
Selamat tinggal, dan sampai berjumpa lagi di alam keindahan nun di sana, bunyi salah satu kalimat dalam wasiat.
Pipien Putri mengakhiri monolog panjangnya sebagai Bu Mia ditutup dengan lagu Ave Maria seperti diwasiatkan Bu Mia.
Yang membawakan Ave Maria dengan bagusnya adalah putra bungsu Bu Mia, Abang Rahino.
Terus terang waktu itu mata saya berkaca-kaca.
Betul, Bu Mia adalah seorang pemenang.
Ave Maria, gratia plena
Maria, gratia plena
Maria, gratia plena
Ave, Ave, Dominus
Dominus tecum.
24/8/2022
Ulasan yang luar biasa. Aku beruntung pernah berjumpa dan berbicara beberapa kali dengan beliau dan menghadiri peluncuran serta diskusi buku pertamanya di Goethe Institut yang sepi waktu itu. Sayang sekali aku berhalangan hadir kali ini.