Skip to main content
Nota

Cerpen Bukan Kompas

By March 21, 2021One Comment

Saya memiliki ikatan batin dengan rubrik cerpen Kompas. Belasan tahun saya ikut mengasuh rubrik itu.

Kemudian ketika 11 tahun saya menjadi editor Kompas Minggu (kalau tak salah ingat tahun 2001-2012), saya dianggap paling bertanggungjawab terhadap pemuatan cerpen serta ilustrasinya.

Sejatinya saya tidak sendirian menentukan mana karya pantas dimuat atau tidak.

Waku itu tiap hari kami menerima sedikitnya 5 cerpen. Cerpen yang diterima ditangani sekretaris Kompas Minggu, Mas Heru Sudarwanto. Didaftar nama pengirimnya, alamatnya, kontaknya. Kalau tidak dimuat dikirim balik, kalau dimuat jelas kemana mengirim honor.

Setelah didaftar, untuk karya-karya yang dikirim via email akan diprint (waktu itu, terutama di masa-masa sebelumnya, kebanyakan penulis mengirim karya via pos. Banyak yang menulis dengan mesin tik).

Dalam bentuk cetakan di kertas, oleh Mas Heru setiap karya ditempel selembar kertas, tempat kami redaksi memberikan rekomendasi, karya dimuat atau tidak. Kalau disetujui untuk dimuat tulis “OK”. Kalau tidak “R” (Retour).

Dengan sehari rata-rata 5 karya, berarti dalam sebulan 150 karya. Naskah-naskah itu harus kami baca, di luar tugas lain seperti merencanakan dan membuat liputan; melakukan tugas lapangan; wawancara; rapat; dan lain-lain.

Semua naskah saya baca terlebih dahulu. Yang benar-benar amburadul dan tidak layak dipertimbangkan langsung diberi tanda “R”. Yang pantas dipertimbangkan—jumlahnya tak kalah banyak—saya bagi ke teman-teman redaksi.

Tiga sampai 5 orang membacanya. Kami membikin mekanisme kerja yang praktis. Kalau 3 diantara 5 redaksi “OK”, karya dimuat. Begitu pun sebaliknya, kalau 3 diantara 5 menolak, “R”.

Sering kami menghadapi karya yang kami rasa tak cukup hanya diputuskan secara voting seperti itu. Untuk karya-karya demikian kami mendiskusikannya, kadang berdebat seru. Terutama menghadapi Mas XJB dan Mas Efix, saya melulu nyerah. Saya juga memerlukan perspektif perempuan. Di situ ada Mbak Ninuk.

Yang kami perlukan adalah argumen, bahwa karya yang akan kami muat bisa kami pertanggungjawabkan.

Dalam berbagai diskusi dengan kalangan sastra, berkali-kali saya harus menjawab pertanyaan mengenai kebijakan pemuatan cerpen Kompas. Saya menguraikan mekanisme seperti saya tulis di atas.

Hanya saja, penjelasan saya mengenai mekanisme tadi lebih banyak tidak ada gunanya. Rata-rata kalangan penulis mendakwa bahwa pemuatan cerpen Kompas berdasar subyektivitas pribadi.

Pribadi siapa?

Pribadi Bre Redana, editor Kompas Minggu.

Sadar bahwa dunia sebagian memang terbangun atas kesalah-pahaman dan kesalah-mengertian, lama-lama saya terbiasa mengiyakan anggapan tersebut.

Apakah cerpen Kompas dipilih berdasar subyektivitas anda, demikian pertanyaan sering saya terima.

Ya, jawab saya.

Dasarnya apa?

Kalau penulisnya teman akan saya muat, jawab saya untuk melegakan dugaan bahwa karya-karya yang dimuat Kompas didasarkan koncoisme.

Saya tidak berminat menjelaskan sebaliknya. Jangankan teman baik, sahabat, saudara. Cewek yang saya kencani dan pengin jadi penulis pun tidak saya muat karyanya.

Intuisi saya benar. Cewek tadi tidak jadi penulis, kaya raya, lalu tinggal di luar negeri.

Pernah ketemu dia di Hamburg, saya bilang padanya: seandainya tersedia pekerjaan lain selain jadi penulis saya juga akan seperti kamu memilih tidak jadi penulis.

Ingat teman baik yang sering mengirim karya namun selalu kami kembalikan, saya juga jadi ingat FX Rudy Gunawan. Soal berteman baik, jelas kami berteman baik. Kami sama-sama “anak Palmerah”. Dia waktu itu wartawan Jakarta Jakarta.

Berhenti dari Jakarta Jakarta, Rudy membuat jejak luar biasa dalam dunia literasi. Dia menjadi redaktur pelaksana jurnal budaya Mitra, merintis penerbit Gagas Media, dan lain-lain langkah besar dalam kebudayaan.

Terakhir saya dengar ia mengikuti program residensi penulis di New York.

Suatu ketika saya kaget. Rudy menerbitkan buku kumpulan cerpen. Judulnya: Zarima: Kumpulan Cerpen (Bukan) Pilihan Kompas.

Buku ini sukses besar.

Sumpah mati sebagai teman saya ikut bangga. Dari zaman  kuda makan batu sampai sekarang saya berkeyakinan, mustahil Kompas mampu menjadi benchmark karya sastra  Indonesia. Yang ditampilkan Kompas adalah karya pilihan para anggota redaksi, sebatas kriteria estetik yang sanggup kami pertanggungjawabkan.

Di luar itu, dunia kreativitas adalah samudera tanpa tepi.

Ketika suatu saat saya ketemu Rudy Gunawan, saya menyalami dia untuk sukses buku Cerpen (Bukan) Pilihan Kompas-nya.

Dengan berseloroh saya berkata, ibarat resi Durna, saya tahu kekuatan Arjuna. Rudy adalah Arjuna, ksatria yang akan jadi besar karena penolakan.

Itu sebabnya aku dulu menolak karyamu, kata saya.

Sambil menerima uluran tangan saya Rudy tertawa. Mungkin dia berpikir, inilah editor geblek itu.

Sampai saat ini, setiap membaca cerpen Kompas saya selalu ingat sisi lain, cerpen  bukan Kompas.

Dengan seketika pula saya ingat FX Rudy Gunawan.

Kreativitas luas, tanpa batas.***

Join the discussion One Comment

  • marinA says:

    Menikmati cerpen melalui berbagai medium, satu di antaranya melalui medium koran fisik atau digital minggu Kompas.

    Silakan pilih dan menikmati cerpen melalui berbagai medium yang tersedia.

Leave a Reply