Skip to main content
Nota

Dari Balik Jendela KA

By August 27, 2023No Comments

Banyubiru kereta kencanaku melewati Kedungjati dari Kedungjati yang nyata sampai Kedungjati dimensi ketiga menuju tujuan tak terhingga….

Bunyi gesekan roda besi di atas rel berikut pemandangan kiri kanan yang terlihat dari balik jendela kereta api Banyubiru jurusan Solo-Semarang memberi saya pengalaman yang sangat mengesankan.

Pemandangan berupa sawah, ladang, bukit, hutan jati, dan rumah-rumah penduduk di desa-desa di daerah Gemolong,  Grobogan, Demak, membawa saya dalam perjalanan mistik imajiner yang telah membentuk perkembangan saya melalui dongeng, cerita rakyat, mitologi, sejarah, dan lain-lain.

Wilayah inilah setting dari semua bentuk narasi baik berupa cerita lisan atau dongeng sampai ke serat terutama serat-serat yang lahir pada abad ke-14/ke-15 yang dalam dunia sastra Jawa dikategorikan sebagai zaman sastra Jawa Islam.

Tidak perlu sampai ke Amerika Latin untuk berpapasan dengan apa yang dalam dunia sastra disebut “realisme magis”.

Di Jawa, dari dulu mitos dan religi, legenda dan sejarah, kronik perjalanan pujangga tentang yang nyata dan tidak nyata, telah senantiasa campur aduk jadi satu.

Sekelebat saya melihat sosok Mas Karebet.

Ia dibesarkan oleh kerabat, nenek dari desa Tingkir—wilayah dalam domain seperti terlihat dari balik jendela kereta.

Mas Karebet atau Jaka Tingkir ini yang kemudian mengakhiri kesultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa.

Ia memindahkan kerajaan ke pedalaman, ke Kartasura, yang kemudian menjadi cikal bakal Mataram.

Mau cerita apa lagi?

Nama kereta ini, Banyubiru, adalah juga nama desa indah permai tak jauh dari Rawa Pening di Kabupaten Semarang (seniman Eros Djarot juga menamai putranya Banyu Biru).

Rawa Pening terlahir dari legenda terkenal—menghuni otak saya dan saya percaya sebagai kenyataan magis—berjudul Baru Klinting.

Baru Klinting adalah naga, waktu itu tengah bertapa, tubuhnya melilit Gunung Ungaran. Bertahun-tahun bahkan berabad-abad dia bertapa sampai tubuhnya berlumut menyatu dengan gunung.

Suatu ketika para penduduk desa membersihkan gunung. Terbacok tubuh Baru Klinting. Naga besar itu kemudian dibunuh dijadikan santapan, dijadikan sate.

Sang naga berubah menjadi anak kecil kudisan, miskin, lapar.

Ia ingin ikut menyantap apa yang tengah dinikmati penduduk desa, namun ia diusir dan disia-sia.

Kemudian ia membikin taruhan, menancapkan lidi di tanah. Kalau tidak ada yang bisa mencabut lidi, Baru Klinting berhak mendapatkan makanan.

Karena tidak ada satu pun penduduk desa mampu mencabut lidi yang ditancapkan bocah cilik ini, Baru Klinting bisa ikut menikmati makanan yang tengah dinikmati penduduk desa sambil pesta pora.

Akhirnya Baru Klinting sendiri mencabut lidi itu.

Dalam seketika dari bekas lidi tertancap keluar mata air besar.

Air muncul bergulung-gulung.

Banjir besar terjadi.

Desa itu lenyap tenggelam beserta seluruh penduduknya.

Tempat ini berubah menjadi rawa dengan air bening, diberi nama Rawa Pening.

Tak jauh dari situ, dengan pemandangan bukit-bukit yang luar biasa indah, terdapat desa bernama Banyu Biru.

Perjalanan kereta api Banyubiru dari stasiun Solo Balapan ke stasiun Tawang, Semarang, memakan waktu tak lebih dari dua jam.

Sayang sekali.

Saya berharap perjalanan berlangsung lebih lama seperti dari London ke Paris.

Selain menyukai Banyu Biru saya suka London, Paris, New York, Amsterdam.

TELAH lama sekali saya tidak naik kereta api. Seingat saya, saya melakukan perjalanan kereta api jarak jauh dari Gambir Jakarta zaman stasiun Gambir masih banyak kios majalah dan koran.

Sebelum naik kereta saya beli majalah Liberty dan Misteri.

Kini tidak ada lagi kios majalah dan koran.

Yang ada Starbucks.

Sebelum naik kereta Argo Semeru (mengapa bukan Argo Merbabu?) pagi hari pukul 06.30 menuju Solo saya mengisi perut dengan espresso dan croissant terlebih dahulu.

Cukup untuk perjalanan selama sekitar 7 jam ke Solo.

Sampai Solo langsung cari sate kambing di depan stasiun Balapan.

Di Solo menginap semalam.

Ngobrol mengenai bangsa dengan Oom Sanjoto.

Esok paginya ke Semarang, naik kereta Banyubiru seperti saya ceritakan di atas.

Sampai Semarang sore hari.

Menginap di Semarang semalam, menikmati Kota Lama Semarang yang kini menjadi kawasan sangat mempesona.

Kota Lama Semarang

Salah satu yang mempelopori perkembangan kawasan ini adalah sahabat saya, Chris Dharmawan, yang ketika daerah ini masih sepi dengan determinasi kuat ia membuka galeri seni rupa kontemporer, Semarang Gallery.

Saya tidak mencari Chris karena tahu saat ini musim tembakau di mana ia pasti sangat sibuk.

Ngajak Benita saja minum bir.

Hari berikutnya saya balik ke Jakarta dengan kereta api Sembrani.

Luar biasa perkembangan kereta api di Indonesia.

Terimakasih PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Jasa Pak Ignasius Jonan tidak bakal bisa dilupakan.***

27/8/2023

Leave a Reply