Skip to main content
Nota

Dewi Durian

By October 15, 2021One Comment

Untuk acara diskusi pekan ini, Sabtu tanggal 9 Oktober lalu saya berangkat ke Yogya. Selama pandemi saya jarang bepergian. Ke luar kota sebatas yang bisa dicapai perjalanan darat, mengendarai mobil sendiri.

Mengikuti kehendak hati, saya bisa berhenti di mana saja untuk istirahat.

Seperti kali ini sampai kota Tegal saya menentukan cari hotel, bermalam di situ.

Pagi hari jalan kaki menyusuri daerah seputar hotel, sambil bertanya-tanya para teman seniman di kota ini dulu di mana mereka sekarang.

Trotoar di dalam kota saya taksir tingginya sekitar 1 meter. Di tengah ditaruh pot-pot tanaman berukuran besar. Saya sempat berpikir, ini trotoar atau panggung untuk pot tanaman.

Saya menemukan warung makan dengan menu bubur dan soto. Pengunjung ramai. Tergoda saya untuk mampir.

Luar biasa. Sotonya enak, bercitarasa kuat dengan tauco. Dihidangkan pula tempe goreng bentuk persegi ukuran jumbo.

“Namanya tempe spion,” si penjual bercanda.

Tempe tak kalah mantap dari sotonya.

Banyak antropolog sosial berteori mengenai hubungan masyarakat dengan apa yang mereka makan. Kultur dan struktur sebuah kelompok masyarakat bisa dilihat dari makanannya.

Dari cita rasa, ukuran, dan lain-lain Tegal seperti hidangan yang saya santap pagi itu: mantap, tanpa basa-basi, bikin kenyang.

Sempat terlintas bayangan teman wanita asal Slawi. Selain paras hitam manisnya, saya selalu ingat mbak ini minum kopi hitam dalam gelas besar.

Menurut Denys Lombart, Mataram dulu menjadikan Tegal sebagai basis persediaan makanan bagi para tentaranya ketika kerajaan ini menyerang Batavia tahun 1628/1629. Masakan ala warung Tegal yang praktis dan efektif adalah warisan menu yang muncul untuk keperluan masa itu.

Saya menyantap apa saja di Tegal dengan berseru: Viva Tegal!

Penjual tertawa, meminta saya harus balik lagi.

Dari Tegal melanjutkan perjalanan ke Solo. Saya menghindari bermalam di Solo, tetapi selalu gagal. Saya tidak berdaya menghadapi rayuan Solo di waktu malam.

Di Solo sempat main ke Jumantono. Di kecamatan di kabupaten Karanganyar ini terdapat taman wisata durian.

Sayang tempat itu tutup.

Saya longak-longok mati gaya tidak tahu mau kemana.

Tak jauh dari gerbang yang terkunci saya melihat rumah dan seorang ibu sedang menggelar buah durian di teras.

Saya mampir, sambil tanya apakah durian yang dia gelar dijual.

Untuk tombo pengin.

“Tentu saja,” katanya sembari bertanya rasa macam apa yang saya cari. Dia akan pilihkan sebaik-baiknya.

Durian dia kisat, legit, manis. Bagi saya tidak kalah dibanding jenis musang king dari Malaysia. Saya menikmatinya sambil ngobrol dengan Bu Karti, nama wanita ramah ini.

Padanya saya memperkenalkan diri dari Bogor tapi roh saya ada di Candi Ceto.

Dia tertawa, mengira saya main-main.

Dari tiap buah yang dia belah tidak ada satu pun yang tidak enak.

Dia mengaku, buah durian yang tengah saya nikmati berasal dari pohon yang ia warisi dari orangtua.

“Seperti saya, para pemilik kebun durian di sini umumnya warisan orangtua. Kami harus menjaganya baik-baik. Menjual dengan kejujuran. Itulah sebabnya buah durian di sini jarang yang tidak enak,” tuturnya.

Saya terperangah.

Patuh pada kejujuran.

Sebagai makhluk agraris saya percaya hubungan manusia dengan alam. Alam selalu jujur. Dia tidak mengkhianati perilaku kita terhadapnya.

Pohon yang diperlakukan dengan pekerti baik menghasilkan buah-buah terbaik.

“Saya punya 50 pohon,” kata Bu Karti menjawab pertanyaan saya.

Dari penuturannya, dalam musim durian satu pohon menghasilkan sekitar Rp 20 juta. Dengan 50 pohon berarti dalam musim durian dia berpenghasilan sekitar Rp 1 milyar.

“Tidak minat punya kebun durian di sini?” dia menggoda saya.

“Paling banter saya cuma bisa mengkonsumsi tiga buah. Lebih baik kalau pengin makan durian saya cari Bu Karti,” jawab saya disambut tawa.

Saya berjalan-jalan di kebon belakang rumah.

Suasananya seperti di kampung saya dulu. Bedanya di sini banyak pohon durian tinggi dan besar. Juga pohon pisang.

Buah durian bergelantungan di dahan-dahan tinggi.

“Saya ngungsi ke bangunan sebelah. Rumah yang ini setiap kali kejatuhan durian. Ada yang menjebol atap jatuh ke kamar mandi,” cerita Bu Karti.

“Waduh,” saya berseru, membayangkan ketika gebyar-gebyur kepala tertimpa durian.

“Di kampung ini kami tidak punya padi tapi kami punya durian,” ucapnya. “Durian di sini tidak menyebabkan kolestrol,” tambahnya.

Memulyakan alam, para petani padi memiliki dewi pelindung, namanya Dewi Sri.

Tentulah di kampung ini juga ada dewa/dewi pelindung tanaman durian.

“Kalau di sawah ada Dewi Sri, di kebun durian ini Bu Kerti saya anggap sebagai Dewi Durian,” kata saya.

Dia tertawa terpingkal-pingkal.

Usai sarapan durian  yang tidak hanya lezat tapi juga mencerahkan saya naik ke lereng Gunung Lawu, sembahyang di Candi Ceto.

Hong wilaheng sekaring bawana langgeng.***

15/10/2021

Join the discussion One Comment

Leave a Reply