BAGAIMANAKAH selera penonton?
Dulu untuk sebagian besar film Indonesia maupun serial-serial televisi yang amburadul selalu tersedia excuse: mengikuti selera penonton. Kalangan sinema maupun televisi yang hendak berkarya secara baik menyalahkan para produser yang mendikte produksi dan merumuskan pengertian selera penonton dengan semena-mena.
Saya sendiri tidak percaya bahwa selera penonton ada kecuali dikonstruksi oleh para produsen tontonan, dikondisikan untuk mengunyah tontonan-tontonan dangkal.
Dari waktu ke waktu—tidak melulu di dunia tontonan tetapi juga perbukuan—khalayak diasumsikan sebagai manusia ogah berpikir, malas menggunakan otak.
Bikinlah karya yang enteng-enteng saja, jangan serius.
Menurut saya itu sontoloyo.
Oleh karenanya sungguh saya tercengang, bangga berlimpah-limpah ketika menonton film berjudul Jatuh Cinta Seperti di Film-film.
Dari menit-menit pertama saya berdecak dalam hati: siapa produser edan yang sudi mengeluarkan duit untuk produk seperti ini.
Film dibuka dengan pemeran utama, Ringgo Agus Rahman (berperan sebagai Bagus) membuka pintu ruang kantor untuk menghadap produser, pria brewok diperankan Alex Abbad.
Bagus yang kerjanya bikin film-film adaptasi yang selalu menghasilkan uang kepada si produser kali ini menawarkan script yang ia tulis.
“Bagaimana kalau kita bikin film hitam putih?” tanyanya pada produser.
Produser kaget.
Memangnya bakal komersiil.
“Film ini bercerita tentang penulis film yang ingin mendapatkan gadis pujaannya dengan cara menulis script,” lanjut Bagus.
“Jadi personal?”
Sang produser mulai mendengarkan lawan bicaranya.
Adegan percakapan antara penulis film dengan produser menyita menit-menit awal.
Percakapan ini semacam formulasi terhadap scene atau adagan-adegan yang hendak hadir selanjutnya.
Hitam putih, begitu si pembuat film menegaskan.
Bagian berwarna ada di bagian akhir untuk ending yang terang, menyenangkan, memberi harapan.
Mulailah adegan-adegan yang dibagi dalam delapan babak.
Ringkasan cerita: pembuat film tadi jatuh cinta pada teman SMA, Hana (diperankan oleh Nirina Zubir) yang suaminya baru saja meninggal.
Secara tidak sengaja keduanya bertemu di sebuah supermarket.
Tidak berani menyatakan secara langsung perasaannya, Bagus membuat script atau skenario yang menceritakan realitas sehari-hari hubungannya dengan Hana—sebuah narrative reality yang diangkat ke dunia fiksi dalam hal ini film.
Sempat ada dialog menyebut-nyebut istilah hyper-reality.
Dia mengaburkan batas antara film dengan realitas.
“Bagaimana kalau yang jadi Bagus, Dion Wiyoko,” Bagus menawarkan pada produser. “Yang jadi Hana, Julie Estelle.”
Keduanya bakal memerankan Bagus si pembuat film dan Hana yang kini jadi pengusaha bunga, dalam hal ini Ringgo dan Nirina.
Lagi-lagi, pengadegan gagasan di atas dilakukan dengan dialog-dialog panjang dalam gambar hitam putih.
Luar biasa akting Nirina.
Penampilan penuh Nirina itu niscaya juga memerlukan lawan main yang seimbang, yang dibayar lunas oleh Ringgo.
Melihat adegan-adegan dan dialog yang intens itu selintas saya ingat film-film Ingmar Bergman dan Woody Allen.
Film sineas-sineas besar yang saya sebut itu kadang seperti drama panggung, banyak dialog panjang, dan khusus Woody Allen ada suasana komedi.
Kesegaran dialog yang kadang lucu ini pula yang ada pada Jatuh Cinta Seperti di Film-film.
Film ini diproduseri oleh Ernest Prakarsa dengan Imajinari-nya.
Tabik untuk Ernest.
Nirina, si primadona yang membuat orang jenak di kursi penonton, kepada si pembuat film bertanya akan konsep yang ditawarkan Bagus:
“Film roman dengan pemeran usia orang-orang seperti kita? Umur 40an? Mana menariknya, mana romantisnya.”
Tesis itu yang dijawab film ini dengan berhasil: Jatuh Cinta Seperti di Film-film adalah roman yang cerdas.
Selamat untuk Yandy Laurens sebagai penulis naskah sekaligus sutradara.
Penonton bertepuk tangan begitu film selesai.
Bahwa cinta, romantisme, tidak melulu dunia remaja.
Selintas saya ingat beberapa film, Cher dalam Moonstruck, Susan Sarandon dalam White Palace, Debra Winger dalam The Sheltering Sky, dan lain-lain.
Pada film-film di atas mereka waktu itu juga 40an seperti Nirina, bahkan mungkin lebih.
Dalam The Sheltering Sky sekelebat terlihat rambut kemaluan Debra Winger ketika bercinta.
Belum lagi Susan Sarandon dalam White Palace.
Ah….
Pada usia tersebut roman bisa lebih ekspresif dan berani.
Jangan-jangan kalah para remaja, ha-ha-ha.***
4/12/2023
Penasaran. Jadi pengen ponton film nya.