Skip to main content
Nota

Kabut Selabintana

By December 10, 2023No Comments

BAGAIMANA Sukabumi tahun 1980an?

Pada masa itu—begitu dalam kenangan Happy Salma—kota ini marak dengan gairah seni tradisi seperti degung, jaipong, pencak silat, dan lain-lain.

Kini dengan apa yang telah dicapainya serta kemungkinan yang bisa dilakukannya Happy ingin menghidupkan kenangannya tadi, menghidupkan kegairahan seni rakyat di kota kelahirannya, Sukabumi, yang konon artinya bumi yang menyenangan, kota yang bikin betah.

Di Selabintana Conference Resorts (dulu Hotel Selabintana) Jumat tanggal 8 Desember lalu ia menyelenggarakan pesta rakyat dengan nama “Sukabumi 1980”.

Kabut bergulung-gulung sejak petang.

Di antara tempat wisata di daerah pegunungan yang pernah terkenal di masa lalu seperti Selecta di Jawa Timur, Kopeng di Jawa Tengah, Selabintana bisa dibilang yang paling terpelihara keasriannya.

Bangunan hotel lama masih seperti dulu.

Di belakangnya tanah lapang berumput hijau dengan pohon-pohon tinggi yang usianya tentu di atas 100 tahun.

Bagi banyak orang, apa lagi warga Sukabumi, entah berapa banyak kenangan tertatah di Selabintana?

Pesta rakyat digelar oleh Happy dan teman-temannya (tak ketinggalan kakak serta adik-adiknya) di area belakang hotel tersebut.

Putri Happy, Kinan, menggelar lapak tarot.

Saya sempat minta diramal, katanya saya bakal jadi youtuber.

Kontennya dongeng.

Ha-ha-ha….

Tenda-tenda dibangun di beberapa tempat berikut panggung utama.

Semua ditangani skenografer terkemuka, Iskandar Loedin.

Berlangsung di tempat terbuka dan mengingat ini musim hujan, pengunjung diperingatkan untuk membawa jaket, payung atau jas hujan, jangan lupa pula: pakaian yang pantas untuk menghormati tradisi yang hendak kita rayakan.

“Saya ingin memberi yang terbaik untuk Sukabumi pada akhir tahun,” kata Happy.

Jadilah petang itu—demikian perasaan saya—Sukabumi memang “kota yang bikin betah”.

Para pengunjung berdandan rapi, antusias mengikuti dress code.

Para remaja pria-muda mengenakan batik.

Remaja putri sampai kalangan ibu-ibu berkebaya.

Rambut disanggul, alas kaki klompen Tasikmalaya—sumpah sangat mempesona.

Oh ya, klompen Tasikmalaya cuma dalam imajinasi saya.

Sebagian besar mereka mengenakan sepatu kanvas, membuat yang tradisional bercitarasa kontemporer.

Boleh juga.

Tak ada yang bisa menyangkal: Sukabumi adalah gudangnya wanita-wanita cantik.

Berbagai sanggar kesenian tampil sejak sore.

Penonton memadati area acara, duduk di atas tikar yang digelar di lapangan rumput.

Jadi ingat Woodstock.

Malam hari tampil bintang-bintang yang ditunggu.

Mereka adalah para pesohor kelahiran Sukabumi.

Dewi Gita membawakan tarian rakyat, namanya Tari Kandagan.

Dewi Gita. Foto: Titimangsa

Luar biasa kecakapan dan keluwesannya.

Serasa ikut terbawa terbang ketika ia mengibaskan selendang panjang yang melilit pinggangnya.

Tari ini mengingatkan pada tari Kelana di berbagai daerah di Jawa Timur maupun Jawa Barat seperti Cirebon dan Indramayu.

Sudah begitu, ngebodor pula dia.

Bikin gemaz saja…

Ada juga Donna Agnesia, membawakan narasi tentang kecintaannya pada Sukabumi.

Ia juga berasal dari Sukabumi.

Kabut Selabintana secara alami mendukung penuh panggung, menggantikan dry ice atau pun gun smoke.

Suasana tampak mistik.

Happy Salma dan Ariel Tatum

Happy Salma dan Ariel Tatum berjaipongan membikin Woodstock Sukabumi ini bangkit seperti ketika Santana membawakan Black Magic Woman di Woodstock New York tahun 1969.

Konsisten dengan namanya, pesta rakyat, sama sekali tak ada  sepotong pun pidato.

Tampaknya Happy tahu, pidato pejabat dan politisi yang kemaruk panggung bakal membuat orang meninggalkan tempat.

Atau jangan-jangan malah muntah.

Seniman-seniman kawakan Sukabumi tampil di panggung dengan karisma berlimpah-limpah.

Kearifan masyarakat dibentuk oleh praksis kebudayaan seperti ini, bukan pidato dan gambar-gambar politisi di baliho-baliho.

Bukan pula industri 5.0, metaverse, atau kecerdasan buatan yang diigaukan banyak orang dan dalam beberapa hal malah membuat orang tambah pekok.

Modal kita adalah tradisi dan kebudayaan serta sensitivitas, empati, dan kesetiaan terhadap alam, bukit, gunung, kabut, api unggun, dan lain-lain termasuk jajanan-jajanan Sukabumi seperti di Selabintana malam itu.

Semua enak, sayang malam itu saya tak bisa nginap karena pagi-pagi harus berangkat ke Kuala Lumpur.

Sayang pula tidak ada Happy Salma edisi lain, taruhlah edisi Salatiga.

Andaikata ada saya bakal memintanya untuk membikin yang saya pastikan tak kalah seru dibanding Sukabumi 1980, yaitu Salatiga 1970.***

KL, 10/12/2023

Leave a Reply