Komunitas yang sifatnya organik, bertumbuh secara alami, dari kekuatan pertumbuhannya kemudian bertumbuh kekuatan baru, begitu seterusnya, sejauh ini yang saya ketahui adalah Komunitas Lima Gunung di lingkungan Gunung Merbabu, Merapi, Andong, Sumbing, Menoreh. Pemangku komunitas ini adalah para petani, sehari-hari mengolah alam, dan dikarenakan rangsangan intelektual dari inisiatornya, sahabat saya, Sutanto yang rumahnya tak jauh dari Candi Mendut, mereka menjadi petani yang cerdas, sanggup merefleksikan pengalaman sehari-hari baik berkaitan dengan seni, budaya, sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain.
Sehari-hari bergulat dengan alam, mereka menjadi masyarakat yang stoic. Pengertian sebagai komunitas organik bagi para petani/seniman ini bukanlah komunitas yang kenes, remaja-remaja yang kayak kue lapis melenggang di zebra cross kota besar seperti menjadi trend belakangan ini.
Para seniman gunung melek literasi, selain membaca buku, koran, dan lain-lain, mereka terbiasa membaca metanarrative dari lingkungan alami gunung-gunung, ladang, sawah, sungai, dan seterusnya.
Tidak ada petani tak memiliki kepekaan kosmologis.
Itulah sebabnya saya memilih Studio Mendut, salah satu ruang kultural komunitas ini (mereka punya banyak sanggar di desa-desa dengan berbagai kegiatan) untuk meluncurkan novel terbaru saya, Kidung Anjampiani (Penerbit Pojok Cerpen dan Tanda Baca, Juni 2022).
Waktunya pun saya pilih yang pas dengan ruang dan waktu kosnologis yang masih mereka hidupi dan diabaikan oleh masyarakat urban: Malam 1 Suro.
Saya dan beberapa teman terhubung dalam ruang dan waktu kosmologis.
Kalau pada ruang dan waktu kosmologis tersebut terdapat poros kosmologis, maka poros kosmologis ini bisa disederhanakan sebagai poros Jakarta-Mendut/Magelang-Yogya-Bali. Teman-teman dari kota-kota ini yang akan mengisi acara Malam 1 Suro nanti dengan ritual, performance, diskusi.
Jais Darga dan Bali dan Wijaya Eka dari Yogya, didukung Tanto dan Komunitas Lima Gunung, dan Haris Kertorahardjo, akan mementaskan fragmen dari novel berlatar belakang Tuban/Majapahit ini.
Bergaya ketoprakan.
Profesor Hendrawan Supratikno, cendekiawan dan politisi PDI-P, akan membahas novel tersebut. Mengikuti karya-karya saya sejak lama, dia bakal menyoroti karya-karya saya yang disebutnya mengandung dialektika dua “kepentingan”: pengalaman pribadi yang emotif dan fragmen sejarah yang ilustratif.
Sebagai politisi dia juga mengamati manifesto ideologis di balik karya-karya saya, mengenai Indonesia yang kita cita-citakan.
Terus terang saya sangat bangga dengan pandangan-pandangannya.
Saya menulis catatan ini seusai bertemu teman-teman Komunitas Lima Gunung di Studio Mendut untuk persiapan acara nanti.
Bagi saya mereka bukan sekadar komunitas, tapi sanak kadang.
Dalam kerja kolaborasi ini mereka mencoba membuat interpretasi atas naskah yang hendak dipentaskan, dan bagaimana mereka akan mengeksekusinya.
Tidak ada yang lebih membahagiakan dari proses semacam ini.
Seni adalah srawung.
Dunia serat tak banyak bedanya dengan dunia silat.
Seni-Silat-Srawung.
Untuk apa?
Untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.***
26/7/2022
14.30
Kidung lembayung senja anak manusia yg tetap pada jati dirinya,yang jati dirinya tak ingin tergerus oleh arus edannya dunia.