Skip to main content
Nota

Mantram Gayatri

By April 12, 20222 Comments

Untuk Klub Baca Kutubuku

“Bapak pernah dengar mantram Gayatri?” Made Wita bertanya pada saya.

Selama saya tinggal di villa milik pasangan Gunadi dan Wafida di Payangan, Made Wita sering menemani saya jalan-jalan di desa, sawah, ladang, bukit, pura, pasar, dan lain-lain.

Payangan adalah daerah sejuk antara Ubud-Kintamani, Bali.

Berbeda dari Ubud yang kosmopolit, Payangan desa agraris yang belum tersentuh turisme.

Malam hari sepi seperti tiada kehidupan.

Jalan raya Payangan yang sepi.

Kemarin sore usai sama-sama mandi di pancuran tepi sawah Wita mengajak saya mampir ke rumahnya—rumah tradisional Bali terdiri dari beberapa bangunan.

Ditunjukkannya lukisan-lukisan karyanya kepada saya.

Selain membantu menjaga villa ia bertani dan melakukan segala kegiatan kesenian seperti melukis, mematung, mengukir.

“Dulu pernah diperdengarkan mantram itu dan tamu yang mendengarkan kesurupan,” ucap Wita sembari memamerkan lukisan. “Apakah bapak minat mendengarnya?” lanjutnya.

“Mengapa tidak?” saya menyahut.

“Baik, nanti malam bapak akan saya jemput ke sini untuk mantram Gayatri. Saya tahu bapak punya banyak pengetahuan mengenai Gayatri.”

Sudut sawah di Payangan.

Malam hari Wita menjemput saya di villa.

Kami berjalan di keremangan malam menuju kediamannya. Langit berhias bulan separuh bayang.

Di Payangan setiap kali saya jalan-jalan sendirian selalu digonggongi bahkan kadang dikejar anjing yang banyak berkeliaran di jalan.

Menyebalkan sekali.

Dinas pariwisata perlu mendidik mereka agar mengenal hospitality.

Bersama orang setempat seperti Wita anjing-anjing itu sama sekali tidak mengganggu.

Saya jadi percaya pendapat ekonom kenamaan Joseph Stiglitz yang mengidentifikasi fungsi anjing-anjing di Bali sebagai penjaga sawah-sawah perorangan.

Untuk mengetahui konsep kepemilikan tanah di Bali kita perlu memahami tabiat anjing-anjing yang menurut Stiglitz tahu batas-batas tanah majikannya.

Wita tertawa ketika saya kemukakan pendapat tadi.

“Memang ada anjing yang usil ngejar-ngejar orang,” ucap Made Wita.

“Berarti saya sial. Yang saya jumpai semua anjing usil,” saya menyahut.

Kembali ia tertawa.

Kami sampai di kediamannya.

Ia mempersilakan saya mengambil tempat di bale dauh.

Tidak ada siapa-siapa.

Semua anggota keluarga berada dalam bangunan yang terpisah-pisah.

Dupa dibakar.

Saya mengikutinya membaca doa.

Dalam hening, perlahan-lahan ia melantunkan mantra yang sebagian saya hafal.

Om om om

Om bhur buah svah

Tat savitur varenyam

Bhargo devasya dimahi

Di yoyonah pracodayat

 

(Ya Tuhan pencinta tiga loka ini

Engkaulah sumber segala cahaya

Engkau sumber kehidupan

Pancarkanlah pada budi nurani ini

sinarMu yang maha suci)

 

Diulang berkali-kali, mantra itu lama-lama membuat saya di ambang jaga dan tidur; mimpi dan sadar; terhampiri pengalaman nyata-tidak nyata.

Saya merasa bertemu ibu suri kerajaan Majapahit, Gayatri Rajapatni.

Anggun dalam penampilan seorang biksuni.

Begitu jelas, rohnya dimulaikan dalam upacara besar bernama Srada tahun 1357.

Saya terbuai dalam pengembaraan roh.

Atau catatan Mpu Prapanca Desawarnana yang saya baca berkali-kali diam-diam telah menghuni alam bawah sadar saya?

Aneh juga.

Sebagai pujangga istana Majapahit dengan rinci ia menguraikan seluk beluk upacara Srada. Tidak ada yang terlewat dari persiapan upacara, tata cara penyelenggaraan, para tamu yang hadir, dan lain-lain.

Sama rincinya dia mencatat perjalanan raja Hayam Wuruk dua tahun setelah itu ke desa-desa di kawasan inti kerajaan Majapahit.

Lumajang-Kapulungan-Waru-Pancuran-Mungkur-Watu Kiken-Baya-Rembang-Sadeng-Pakembangan-dan seterusnya.

Saya pernah menelusuri rute tersebut, termasuk mengunjungi candi-candi yang diziarahi Raja Hayam Wuruk.

Perjalanan raja dan rombongan berlangsung kurang lebih tiga bulan.

Dari perjalanan itu Mpu Prapanca menamai kitab yang mirip travelogue yang ditulisnya Desawarnana.

Kitab ini juga dikenal sebagai Nagara Kretagama.

Dalam sadar dan tidak sadar, pada otak saya berkecamuk pertanyaan mengapa Mpu Prapanca tidak mencatat peristiwa amat penting pada tahun yang sama, 1357, mengenai peristiwa Bubat?

Ketika putri kerajaan Sunda yang cantik tiada tara, Dyah Pitaloka Citraresmi diantar ayahandanya, Prabu Linggabuana dan para petinggi kerajaan ke ibukota Majapahit, Trowulan, untuk dipersunting Raja Hayam Wuruk,

Karena ulah Mahapatih Gajah Mada rencana perkawinan berubah menjadi malapetaka.

Diterima Majapahit di pesanggarahan Bubat sebelah utara Trowulan, Prabu Linggabuana kaget dan kecewa mengapa bukan raja Hayam Wuruk sendiri yang menjemput mereka.

Melainkan Mahapatih Gajahmada, yang bersikap seolah kedatangan rombongan kerajaan Sunda sebagai kerajaan bawahan, datang membawa persembahan bagi raja.

Prabu Linggabuana tersinggung.

Ini masalah martabat dan harga diri.

Terjadi perselisihan antara Prabu Linggabuana dan Mahapatih Gajahmada.

Perselisihan memuncak jadi perang.

Perang yang tak seimbang.

Rombongan kerajaan Sunda tewas semua, termasuk putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang melakukan bunuh diri sebagai bela pati atas kematian sang ayah, para paman, dan orang-orang tercinta.

Betapa terpukul Raja Hayam Wuruk atas peristiwa ini.

Begitu pun ibunda raja yang kala itu sudah jadi ibu suri kerajaan menggantikan ibu suri Gayatri Rajapatni, yaitu Tribuwana Tunggadewi.

Bagi ibu suri ini adalah skandal kekuasaan yang sangat memalukan.

Marah besar dia kepada Gajah Mada.

Mengapa Mpu Prapanca tak setitik pun menyinggungnya.

Saya bahkan curiga, perjalanan Raja Hayam Wuruk ke desa-desa dan candi-candi adalah untuk menghilangkan luka hati dari kisah kasih tak sampai yang dialaminya.

Adakah sebagaimana sifat catatan mengenai kekuasaan yang kemudian dianggap sebagai sejarah, hanya mencatat apa-apa yang diperkenankan oleh istana dan penguasa.

Termasuk tidak dicatatnya bahwa setelah peristiwa itu Gajah Mada oleh raja dicopot jabatannya sebagai mahapatih.

Oh sejarah….

Engkau dibuat untuk menyeleksi ingatan: mana boleh diingat rakyat mana sebaiknya dianggap tidak ada dan dilupakan.

Kepala saya terantuk-antuk antara tidur dan jaga.

Tiba-tiba saya terbangun.

Made Wita menepuk pundak saya.

Pembacaan mantram Gayatri telah selesai.

“Ngantuk ya?” dia bertanya.

Saya bangkit.

Ia mengantar saya kembali ke villa.

Kali ini saya memilih diam tidak banyak bicara.

“Apa yang bapak dengar dari mantram Gayatri tadi?” Wita bertanya ketika kami sampai  gerbang villa.

“Kamu mengidungkannya dengan baik,” jawab saya.

“Sepertinya ada roh yang hadir,” ucapnya.

Saya diam tidak menanggapi.

Ia mengucapkan selamat malam, kemudian berbalik kembali ke rumahnya.

Sendirian saya menapak taman menuju villa.

Bulan berbentuk setengah bulatan meremang tertutup awan.

Mantram tadi membangkitkan keinginan saya untuk bercerita lebih lanjut.

Saya akan melanjutkan novel Dia Gayatri.***

12/4/2022

Join the discussion 2 Comments

  • Sri Astari Rasjid says:

    Hi Bre, lanjutkan ceritera Gayatri, jangan lupa send it to me please

  • Mr Dahono Fitrianto says:

    Ada temenku tingga di Jerman yang tergila-gila sama Dia Gayatri. Pasti seneng banget dia denger kabar novel ini berlanjut!

Leave a Reply