Skip to main content
Nota

Mas Goen dan Glundhung Pringis

By July 19, 2023No Comments

Goenawan Mohamad, saya memanggilnya Mas Goen, adalah tokoh fenomenal. Saya suka mendengarkan radio, membaca bukunya Potret Seorang Penyair Muda Sebagai si Malin Kundang tatkala remaja sambil membayangkan si penulis kala itu yang barangkali juga menulis sambil menikmati siaran radio.

Saya ingin jadi seniman. Mula-mula dengan menggondrongkan rambut.

Setelah itu senantiasa membaca kolomnya di Tempo, Catatan Pinggir, saya ingat persis sejak tahun 1977 semasa saya mulai menjadi mahasiswa.

Rebutan membaca dengan sahabat saya Hendrawan Supratikno, kini politikus PDIP.

Tidak pernah membayangkan bahwa di kemudian hari saya mengenalnya pribadi, cukup dekat. Mas Goen pernah mengunjungi saya baik di Ciawi maupun Bintaro.

Terakhir saya bahkan ia beri hadiah lukisan yang ia bikin.

Lukisan cat minyak, saya pajang dengan penyinaran khusus.

Tahun-tahun belakangan, pada usia sekitar 80 tahun, Mas Goen memang mulai melukis. Sika Gallery di Ubud setahu saya memfasilitasi seniman-seniman untuk belajar dan membuat print di bawah tokoh print Devy Ferdianto. Yang tidak saya duga, Mas Goen kemudian menyempatkan diri ikut belajar di Devfto itu.

Pada ArtJog yang tengah berlangsung di Yogya sekarang (dimulai akhir Juni lalu dan akan berlangsung sampai minggu terakhir Agustus nanti), Mas Goen ambil bagian memamerkan karya-karya print-nya.

Foto: Lintang Kusumawardhani

Sangat mengagetkan.

Dia memamerkan puluhan karya print dari himpunan dua kitab yang ia beri judul Kitab Hantu.

Dia menulis dalam pengantar:

Saya belum pernah melihat hantu. Saya akui ini sebuah kekurangan—sebagaimana saya belum pernah melihat Gal Gadot.

Seperti Gal Gadot atau Brad Pitt, hantu datang ke pengalaman saya hanya melalui cerita dan imajinasi.

Saya dan Vivi senyum-senyum membaca pengantar yang ia sebut “Ancang Ancang” itu.

Kemudian mengelilingi ruang melihat karya-karyanya yang terpajang di ruang pamer Jogja National Museum itu, semuanya tentang berbagai jenis hantu yang dikenal di negeri ini, saya tak henti tertawa terguling-guling.

Bayangkan, pada hantu Glundhung Pringis, ia memberi teks begini:

15 Februari 1812, Raffles melihat hantu ini di Semarang. Ia menyebutnya ‘the grinning roundhead’. Dia mengadu ke Ki Ronggowarsito. Ronggowarsito memanggilnya ‘glundhung pringis’.

Ada kelanjutan kalimat setelah itu yang membuat saya tertawa keras terdengar sampai Klaten, tapi tak akan saya kutip di sini.

Silakan lihat sendiri.

Foto: Vivi Yip

Ketangkasannya menarasikan karya tak kalah dari karya visual print-nya.

Tampang hantu Kuda menangis sangat sangar.

Karya print yang luar biasa.

Dari teksnya saya tahu ternyata kuda itu adalah Gagak Rimang, kuda tunggangan pahlawan saya, Arya Panangsang.

Mas Goen memberi penjelasan begini:

Ceritanya begini:  di tahun 1554, di pinggir kota Cepu, bupati Jipang, Aryo Penangsang tewas dalam perang tanding di atas kuda melawan pemuda Sutawijaya. Dikisahkan ia gagal mengelak dari tombak musuhnya, karena Gagak Rimang, kuda jantan yang dinaikinya, melonjak-lonjak birahi melihat kuda cantik Sutawijaya.

Sejak kematian Aryo Penangsang si kuda menangis terus.

Ia bersumpah, setelah jadi hantu, ia akan tetap menangis. Tapi tak akan menikah.

Sumpah yang goblog sebenarnya.

Sambil tertawa berurai air mata saya langsung mengirim pesan melalui WhatsApp ke Mas Goen: Setuju. Gagak Rimang pancen goblog.

Ketika tengah menikmati ArtJog itu pula, melalui WhatsApp saya menerima pesan dari Ariel Heryanto di Melbourne: Milan Kundera meninggal dunia.

Entah bagaimana, ketika saya mempelajari kembali buku-buku Milan Kundera, saya jadi teringat Mas Goen dan tergerak menulis catatan ini.

Ada esai Kundera yang saya anggap salah satu esai terbaiknya, berjudul Enmity and Friendship.

Bagi saya Mas Goen adalah The Last of the Mohicans.

Dari seorang penandatangan Manikebu di tahun 1960an, di kemudian hari ia menjadi bersahabat dengan sejumlah tokoh seniman Lekra, lawan Manikebu ketika negeri ini mendidih dikarenakan pertentangan ideologi semua yang nonkomunis versus komunis.

Dalam esai saya sebut tadi, Kundera menggambarkan ketika dirinya dan isterinya serta tokoh-tokoh lain kehilangan pekerjaan ketika negerinya, Ceko, diduduki komunis Rusia.

Kehilangan pekerjaan, miskin, mereka juga tidak bisa lagi menulis.

Semua penguasa fasis memusuhi tulisan dan pemikiran.

Di dalam diri kelompok intelektual itu sendiri terjadi pertentangan, mana penulis yang dianggap kompromis, menjadi kolaborator penguasa, dan mereka yang menolak kekuasaan.

Pertentangan intern tersebut tak kalah sengit dibanding perasaan anti Rusia itu sendiri.

Sampai pada suatu masa, ketika sudah lama tinggal di Paris sebagai eksil, terkenal sampai langit ketujuh dengan The Unbearable Lightness of Being, Kundera merefleksikan kembali apa yang terjadi di tahun 1970an di negerinya, Ceko.

Pemikiran, gagasan, ide, menurut istilah dia adalah transitory, sesuatu yang bersifat sementara.

Tidak perlu menjadi matang-matang amat untuk memahami, bahwa pendapat yang kita perdebatkan dengan hipotesis yang kita yakini, sejatinya tidaklah sempurna, mungkin sifatnya hanya sementara, hanya manusia dengan kecerdasan terbatas meyakini akan kemutlakan sebuah kebenaran.

Berbeda dari kesetiaan terhadap keyakinan, kesetiaan terhadap pertemanan adalah kebajikan.

Barangkali itulah satu-satunya yang tersisa di dunia yang kian keruh ini.

Dibanding esai-esai Mas Goen, mungkin karya seni rupanya terasa sangat “apolitis”.

Tapi bagi saya pribadi, ketika apa-apa di sekeliling kita menjadi sangat dipenuhi kepentingan politis, “apolitis” tidaklah seinnosens dibayangkan orang.

Dia adalah perlawanan terhadap kegoblokan di sekeliling kita.

Tabik Mas Goen.***

Satu Suro 2023

Leave a Reply