Skip to main content
Nota

Meja Saya

By April 17, 2021One Comment

Dari kanan: Budiarto Danujaya, Efix Mulyadi, Budi Susilo, dan (kalau tidak salah) Bre Redana.

Awal tahun 2000an ketika saya masih editor Kompas edisi Minggu ada jurnalis asing mewawancarai saya. Sebagai wartawan yang kadang mendapati sulitnya menemui sumber berita, saya menjadi tak pernah ingin menyulitkan wartawan. Sejauh ada waktu siapa pun saya terima, tidak tanya wawancara untuk apa dari mana dan lain-lain.

Yang saya ingat ia bertanya, dengan pengalaman menjadi wartawan cukup lama, apa perbedaan yang saya rasakan jadi wartawan pada masa itu (maksudnya saat saya dia wawancara), dengan masa-masa awal saya jadi wartawan.

Dengan mengingat pengalaman belasan tahun sebelumnya, era 80an, saya jawab: masa lalu saya ketemu sumber berita di rumahnya.

Kadang sulit mencarinya. Waktu itu tidak semua orang punya telepon di rumah. Tidak bisa janjian.

Langsung datang. Kadang yang dicari tidak di rumah. Padahal sudah susah mencari alamatnya, jauh, hujan, dan lain-lain.

Kemana-mana waktu itu saya naik vespa.

Sekarang, begitu saya membandingkan, saya ketemu sumber berita tinggal telepon, janjian di mal.

Ada yang hilang. Dengan ketemu di rumah, saya bisa menggambarkan manusia dengan kesejatian lingkungannya. Ruang tamunya, anak istri atau suaminya, meja kursinya, teh yang disuguhkannya, dan lain-lain.

Dengan ketemu di mal saya merasa ketemu individu tanpa konteksnya yang lengkap. Saya tidak bisa mengobservasi lingkungan hidupnya.

(Saya bayangkan andaikata masih kerja sebagai wartawan sekarang ini, keadaan jauh lebih berbeda lagi. Saya hanya melihat wajahnya di layar ponsel. Saya menangkap representasi, bukan manusia darah-daging.)

Pulang dari rumah yang bersangkutan usai wawancara saya selalu tahu apa yang hendak saya tulis. Konstruksi tulisan sudah tercetak di otak saya.

Sampai kantor tinggal mengetik.

Hanya saja kadang urusan tak sesederhana itu.  Sampai kantor meja saya diduduki teman-teman yang tengah main catur seperti fotonya saya tunjukkan kali ini.

Budiarto Danujaya adalah grandmaster Palmerah. Dia menghadapi Budi Susilo, waktu itu seingat saya direktur Gramedia Film.

Oh ya, Gramedia Film memproduksi banyak film layar lebar. Kantornya di Palmerah tiap hari didatangi artis-artis cantik pada zamannya.

Saya tak jadi nulis. Nonton pertandingan catur dulu.

Waktu itu bukan zaman terburu-buru.

Serba santai.

Akibatnya saya rasakan sampai sekarang.

Saya melulu santai-santai. Bersarung.

Iseng-iseng menulis seperti siang ini.***  

Join the discussion One Comment

  • marinA says:

    Zaman sekarang wartawan juga masih sempat main gim daring Mas Bre:). Untuk narasumber, relasinya menjadi relasi layar.
    Sambung mas ceritanya, jelaskan tokohnya Budiarto Danujaya, Efix Mulyadi, Budi Susilo, dan vespa.

Leave a Reply