Skip to main content
Nota

Novi di Tiongkok

By May 24, 2021No Comments

Seorang teman mengirimi saya link atau tautan DI’s Way, platform online nama terkenal dalam bisnis media, Dahlan Iskan. Teman ini mendorong saya yang sedang coba-coba memanfaatkan medium digital untuk belajar dari tautan tadi.

Tautan itu menampilkan talk show Dahlan Iskan mewawancarai tamu yang ia perkenalkan sebagai santri dari pesantren Nurul Jadid, Situbondo, Jawa Timur.

Namanya Novi Basuki. Usia 27 tahun. Ia mengaku anak tunggal, berasal dari sebuah desa di lereng Gunung Argopuro.

Saya orang yang gumunan.

Luar biasa. Saya terkagum-kagum. Dia fasih berbahasa Mandarin. Di kuping saya logat bahasa Mandarin-nya seperti logat saudara-saudara saya dari pihak istri di Beijing.

Dia adalah angkatan pertama dari pesantren Nurul Jadid yang dikirim untuk meneruskan studi di Tiongkok. Umurnya waktu itu 17 tahun. Dia menyelesaikan S2, dilanjutkan S3, menulis disertasi dalam bahasa Mandarin.

Program studi lanjut di Tiongkok yang didapatnya ada hubungannya dengan usaha Dahlan Iskan, seperti ia ucapkan di situ, ketika ia masih menjadi “sesuatu”. Bersama rombongan Presiden SBY waktu itu ia ke Beijing, dan ia mengajukan program bantuan pendidikan dari Tiongkok.

Usulan ditindaklanjuti, berupa pengiriman tenaga-tenaga pengajar Tiongkok ke Indonesia, antara lain ke pesantren Nurul Jadid. Di situ Novi memperoleh pengajaran bahasa Mandarin yang kemudian membawanya ke Tiongkok.

Bab paling menarik adalah cerita Novi tentang Islam di Tiongkok. Ia menyinggung pertama kali Islam diperkenalkan ke Tiongkok. Agama baru itu tidak dihadapkan dalam hubungan diametral dengan Konfusianisme, sebaliknya dicarikan titik-titik kesamaannya.

“Bayangkan kalau ulama pada zaman itu mengkafir-kafirkan Konfusianisme,” kata Novi yang tampak matang ini tertawa.

Dahlan Iskan menimpali dengan perbandingan, kurang lebih seperti Islam di Jawa di zaman para wali.

Selebihnya kalian bisa cari sendiri tautan tersebut.

Dahlan Iskan adalah host yang kompeten. Saya lebih suka tontonan yang santai ini, pertanyaan tidak srondal-srondol seperti kebanyakan acara talk show di tv. Penampilan juga kasual.

Pewawancara di tv, memakai sepatu berplatform dengan high heel, dalam pandangan mata saya terasa aneh. High heel tidak berasosiasi dengan intelektualitas, tapi yang lain.

Sejak pensiun saya membatasi engagement dengan penulisan—sebatas menulis pagi hari sebagai bagian dari olah tubuh.

Tiga tigalah badan.

Melatih kuda-kuda; mengolah kata-kata; memelihara pikiran dan kesadaran.

Selebihnya mengerjakan pekerjaan sehari-hari di rumah.

Kemarin membawa istri ke Guru Zen saya untuk terapi pundak yang agak kaku.

Saya merasa mendapat pelajaran dari pengalaman Novi di Tiongkok.

Tak ketinggalan dengan energi Pak Dahlan.

Pagi ini saya memilih menulis tentang itu semua.

Besok pagi mudah-mudahan saya bisa lanjutkan olah serat saya, dengan Ketika Jati Berbunga.

Sekarang saya mau nyapu.***

Leave a Reply