Skip to main content
Nota

Palmerah: Clash of Civilizations

By March 25, 20238 Comments

SEJAK pensiun sekitar enam tahun lalu, boleh dikata hanya setahun sekali saya menginjak Palmerah, kawasan kantor koran Kompas tempat kerja saya selama lebih dari 30 tahun. Seperti beberapa hari lalu di bulan Maret ini saya ke Palmerah untuk melakukan pendaftaran ulang sebagai pensiunan, menyatakan diri bahwa makhluk bernapas ini masih hidup.

Naik KRL saya turun di Stasiun Palmerah yang kini sangat bagus, bersih gilar-gilar seperti stasiun bawah tanah di Orchard Road Singapura. Bertambah usia menjadi agak sentimental.

Dalam pandangan nostalgik—nostalgia adalah suatu pertahanan diri bagi makhluk hidup ketika tambah umur—khususnya Jl Palmerah Selatan yang merupakan markas Kompas terlihat sangat lengang. Gedung lama bertingkat enam tempat Redaksi Kompas dulu terkesan vintage dibanding gedung baru di depannya berupa menara tinggi seperti Menara Babel.

Pasca-pandemi mungkin orang kian terbiasa kerja di rumah.

Palmerah senja hari. Foto: Sarie Febriane

Jalanan di depan kantor di mana selain gedung yang saya sebut tadi juga terdapat bangunan tradisional Kudus yang lay out-nya dibikin oleh Romo Mangun kelihatan lengang. Yang berseliweran adalah para security.

Saya merasa memasuki kawasan instalasi nuklir.

Dulu, sebagaimana beberapa teman, saya sering tidur di kantor. Meringkuk di bawah meja kerja. Terbangun pukul 04.00 pagi. Tidak ada enaknya tidur di kantor.

Keluar gedung dalam keremangan pagi buta jalanan telah ramai oleh para agen menunggu hasil cetak koran. Mobil-mobil boks berderet di pinggir jalan. Tak ketinggalan bocah-bocah, para loper koran.

Subuh yang menggairahkan.

Mulai pukul 07.00 pagi pemandangan lain lagi. Agen, loper, dan armada tadi telah meninggalkan tempat, diganti kedatangan para karyawan berbagai bagian. Segar-segar, rapi, cewek-ceweknya sumpah cantik-cantik.

Beberapa teman wartawan beruntung menemukan jodohnya di sini.

Kantin Bu Ratna telah buka. Ada yang biasa sarapan di situ: lontong capgomeh; galantin; bubur; dan lain-lain. Saya lebih sering mengingat pemilik warung daripada makanannya.

Palmerah: rock around the clock.

Kegairahan kerja berputar selama 24 jam.

Tengah malam sekali pun kita bisa menemukan penjual makanan di sekitar sini, dari indomie sampai nasi goreng.

Pak Jakob Oetama, pimpinan dan panutan kami, menyebut tempat ini adalah “sawah kita bersama”.

Banyak ungkapan beliau saya ingat luar kepala.

BAGI saya pribadi,  meninggalnya Pak Jakob Oetama 9 September 2020 adalah turning point. Beliau disemayamkan di tempat yang dicintainya, gedung lama Redaksi Kompas itu.

Suasana Palmerah ketika Pak Jakob Oetama meninggal. Foto: Sarie Febriane

Waktu itu masih masa pandemi, saya melayat tengah malam.

Usai berdoa di tepi peti jenasah saya meninggalkan tempat dengan berurai air mata.

Duduk dulu di teras Bentara Budaya. Tak ada orang lain ketika itu kecuali teman lama, Wiediantoro dan Bustomi.

Palmerah terasa suwung.

Begitulah perasaan saya sampai kini setiap kali menginjak Palmerah.

Saya sering mendapat cerita beberapa teman wartawan yang masih aktif mengenai cara dan suasana kerja kini. Dalam era digital tentu cara kerja berbeda sama sekali dibanding dulu.

Tidak ada yang seperti gembel tidur di bawah meja.

Saya masih mengalami menulis dengan mesin tik.

Mesin tik lama Redaksi Kompas. Foto: Bre Redana

“Ha-ha-ha, mana mungkin tidur di kantor, Mas,” kata seorang teman. “Saya keluar kantor pukul tujuh malam saja satpam tanya, lembur ya Mbak…” tambahnya dengan tawa makin ramai.

Dia ingin melukiskan betapa cara kerja wartawan pun terasa asing, bahkan di lingkungan sendiri. Ia membandingkan para security di masa lalu. Mereka tahu belaka bahwa para wartawan kerja sampai tengah malam (sebenarnya sih cuma kongkow-kongkow), termasuk ada yang suka tidur di kantor.

Pokoknya Min Kebo.

“Pakaian kita sehari-hari pun jangan-jangan mereka hapal,” ucap teman tadi.

Ah, jadi terbayang wajah mereka satu persatu.

Siapa saja dari lingkungan ini bagi saya bukan hanya teman, tapi saudara.

PERGESERAN suasana zaman seperti itu niscaya bukan cuma gejala Palmerah yang saya suka mengenangnya seperti mengunyah-nguyah permen karet, enak dan asyik.

Tidak ada satu zaman lebih baik dari zaman lainnya. Semua sama saja, perbedaan hanya terjadi karena pengalaman subyektif, menjadi kian tak keruan ketika diintervensi nostalgia.

“Saya pernah baca cerpenmu, judulnya Palmerah Underground. Tak keruan,” komentar seorang teman.

Saya mengakuinya. Memang tak keruan.

Sesuatu yang tak keruan bagi saya menyenangkan.

Saya cenderung bosan pada keteraturan.

Migrasi dari dunia analog ke digital adalah migrasi yang berarti harus tunduk pada hukum-hukum algoritma. Tidak patuh hukum tersebut akan mengalami hang, macet, tidak jalan.

Pemandangan dari dalam gedung baru Kompas. Foto: Sarie Febriane

Peradaban organik di mana manusia bertumbuh sebagaimana adanya sebagai zat yang hidup, berakar pada asal usul makhluk hidup, sangkan paran, berganti menjadi peradaban digital yang menggantikan kenyataan di alam menjadi kenyataan di pixel.

Dari sesuatu yang nyata, menjadi sesuatu yang tidak nyata.

Dari reality, menjadi virtual reality.

Dari kasunyatan, menjadi citra gadungan.

Clash of civilizations tidak sebatas benturan peradaban Timur-Barat seperti dilukiskan Huntington, tapi lebih dalam lagi, menyangkut segi paling eksistensial manusia, yakni kesadaran diri.

Antara eling dan ora eling.

Saya akui, saya adalah manusia masa lalu.

I’m not getting old, I’m evolving.

Menginjak Palmerah di gedung lama ketemu teman-teman pensiunan, mengisi formulir di atas kertas (kalau secara digital apalagi ditambah memakai OTP segala dipastikan kepala saya mumet), tak ketinggalan beberapa security lama.

Kami tidak hanya salaman, tapi pelukan.

Maaf, saya ingin mengoreksi perasaan saya sebelumnya, bahwa saya merasa di instalasi nuklir.

Tidak.

Saya merasa berada di sepetak sawah yang untung masih tersisa.***

25/3/2023

NB:

Untuk Mas Lilik Oetama dan Irwan Oetama.

Join the discussion 8 Comments

  • Maria Hartiningsih says:

    Bagus banget Bre.. mewakili perasaanku. Blm lama ini aku masuk ke Menara Babel itu. Feel like a stranger going nowhere…
    Get lost!

  • rio says:

    wah. jadi ingat waktu di elex media.

  • Agus Mulyadi says:

    Ah, petak sawah itu. Memang benar-benar sentimentil

  • Andreas hs says:

    Yg membuat kangen sy selama 39 tahun kerja itu bangunan kantor lama dan ruangan mesin cetak koran yg bising tp enak buat kerja dan merem.(+-.22 thn masuk malam)
    Itu setelah 15 tahun di mutasi ke Rancaekek Sumedang Jabar

  • Ace Amir says:

    Wah inget masih Gramedia Film.th 1978.betul2 terasa sekali perubahan.
    Meninggalkqn KKG th 2010

  • Sarie Febriane says:

    Makasih Mas Bre sudah menulis ini.. Tulisan yg menerjemahkan kenang2an kami tentang Palmerah yg pernah terlalui. 🥰🥰🥰

  • Kum says:

    Hiks hiks, jadi ikutan sentimentil. Gedung lama, khususnya lantai 3 tidak hanya sekadar kantor, tapi sudah menjadi rumah kedua. Tidur, mandi, bahkan masak dan makan bersama tentunya dilakoni di lantai 3.

  • Didit says:

    Masa lalu teman-teman di Harian Kompas kini menjadi lembaran-lembaran baru untuk rekan-rekan di Kontan. Ada kesempatan ketika saya mampir ke lantai 3 gedung lama, merasakan nostalgia sekaligus terasing. Lebih nyesek lagi ketika sudah tidak punya ID Card yang tidak bisa membuka pintu kaca yang bisa bergeser sendiri itu.

Leave a Reply