Skip to main content
Nota

Parfum

By March 14, 2021One Comment

Saya tengah memangkas daun bambu di depan rumah ketika dikagetkan kemunculan  seorang ibu. Hampir saya kira hantu. Mungkin saya kelewat asyik, tidak melihat dari mana dia datang. Sehari-hari lingkungan saya sepi.

Membawa tas plastik kresek dia menawari saya parfum. Saya tambah heran.

Ini parfum luar negeri, ucapnya merogoh-rogoh kantung bawaannya.

Saya tidak punya uang, ucap saya. Semenjak pandemi dan sehari-hari di rumah saya jarang pegang uang.

Ini parfum luar negeri. Nomor 1, dia berkata.

Waduh, parfum luar negeri nomor 1, saya tambah bingung. Dari luar negeri yang saya tahu nomor 5. Chanel.

Dia terus mendesak. Saya katakan coba kesana. Saya menunjuk dua rumah tetangga. Yang satu juragan kambing, satu lagi ternak lele.

Mereka lebih butuh minyak wangi, kata saya.

Ya, tapi om dulu beli, kata dia.

Tiba-tiba anjing Rottweiler saya muncul.

Ibu ini panik. Saya katakan Balzac anjing baik. Dia tidak mendengar. Sia-sia saya menjelaskan bahwa Balzac baik meski tampangnya seram. Gentle monster. Dia hanya ingin main.

Tanpa peduli ucapan saya, ibu ini ambil langkah seribu.

Giliran saya lintang pukang mengejar. Membawa sandal kiri dia yang tertinggal.

Saya bukan hanya merasa bersalah terhadap ibu itu, tetapi juga merasa terlambat memahami zaman. Kalau di desa orang tidak lagi ditawari sarana pertanian tapi parfum, urbanisme sejatinya telah lama menguasai desa.

Kalau dia bersedia balik esok pagi saya akan beli parfumnya.

Join the discussion One Comment

  • marinA says:

    Di desa tidak lagi ditawari sarana produksi pertanian (saprotan) karena di teve yang mereka tonton tayangan urban centris. Jadilah ditawari parfum dan mobil mewah. Tetapi, warga perdesaan berhak untuk konsumsi barang2 itu.

Leave a Reply