Skip to main content
Nota

Perjalanan Hariadi

By May 4, 2022March 25th, 2023One Comment

Pengalaman manusia sedemikian kaya.

Pengalaman badan, pikiran, roh, tiada terhingga.

Tidak mudah bahasa mengungkapkan ke-tak-terhingga-an pengalaman manusia, seperti saat ini ketika saya mengenang sahabat, saudara saya, Gregorius Hariadi Saptono, lahir di Yogyakata, 29 April 1957, tutup usia sore ini di Yogyakarta, 4 Mei 2022.

Puluhan tahun kami terikat dalam persaudaraan di tempat kerja kami, koran Kompas.

Belakangan dia ikut bergabung dengan perguruan silat di mana saya telah bergabung  sebelumnya, Persatuan Gerak Badan Bangau Putih.

Pergaulan dengan Hariadi, tatkala masih aktif di Kompas kodenya HRD, niscaya mencerminkan pergaulan di koran ini kala itu. Suasananya adalah suasana persaudaraan.

Kecakapan profesional, merit, tidak seberapa (ora sepiroo) dibanding kebersamaan.

Pimpinan Kompas kala itu, Pak Jakob Oetama, selalu menekankan pentingnya kebersamaan. Tiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang lain niscaya menutupi kekurangan yang lain. Semua saling melengkapi.

Ciri khas orang besar, Pak Jakob selalu mampu melihat kebesaran tiap orang.

Saya sering kemana-mana berdua dengan Hariadi, termasuk melakukan liputan bersama.

Beberapa yang bisa saya ingat, kami pernah ke Ponorogo berdua.

Liputan pada waktu itu selalu membuka kemungkinan untuk berbagai facet. Kami ketemu siapa saja, tokoh masyarakat, seniman tradisional, pejabat daerah, sosiolog, dan lain-lain.

Tiap malam kami nongkrong di alun-alun di tengah kota melihat lalu lalang manusia sembari ngobrol kesana-kemari.

Begitu pun ketika kami ke Indramayu. Kami ketemu dan mewawancarai para petani, pejabat dinas pertanian, seniman penari topeng, dan lain-lain.

Selain perjalanan jurnalistik, kadang saya mengikuti Hariadi untuk urusan Bentara Budaya.

Pernah  menjadi Kepala Biro di Semarang, Yogyakarta, Kepala Desk Humaniora dan lain-lain, ia juga pernah menduduki jabatan sebagai General Manager Bentara Budaya.

Bagi Hariadi dan sebagian teman-teman di Kompas yang saya kenal, bekerja adalah juga proses pencarian diri.

Saya menjadi  fellow traveller Hariadi.

Ia tidak sekadar mencari jati diri dalam pekerjaan yang ditekuninya, tetapi juga melakukan apa yang bisa diistilahkan sebagai soul searching.

Kemungkinan itu yang membuatnya tertarik melakoni pengalaman ketubuhan, sehingga bersedia bergabung dengan PGB Bangau Putih.

Dia sangat aktif dengan kegiatan perguruan, terutama menjelang pensiuan. Dia pensiun lima tahun lalu.

Di Yogya ia pernah melatih di rumah budaya Tembi.

Kadang kala ke Bogor, markas perguruan kami, ketemu Guru Besar Gunawan Rahardja.

Dengan Guru ia biasa ngobrol lama selain latihan.

Hariadi memiliki minat besar terhadap spiritualisme.

Itulah yang saya maksud dengan soul searching tadi.

Jelas, proses pencarian seperti itu sejatinya adalah jalan kesendirian.

Makin jauh perjalanan, belum tentu yang namanya fellow traveller bisa terus bersamanya.

Dia menempuh jalan atau lakunya sendiri.

Sebagai orang yang sama-sama memandang bahwa yang penting bagi seseorang adalah apa yang dijalani, proses, saya tahu Hariadi akan terus berjalan—menuju ke-tak-terhingga-an.

Jalan yang ia tempuh di dunia berakhir tanggal 4 Mei 2022, pukul 15.35 di RS Panti Rapih, tempat dia dirawat beberapa hari terakhir, meninggalkan istrinya, Sri Hastuti MM, dan anak semata wayangnya, Fadjari Gumelar.

Teman-teman kaget.

Terasa begitu mendadak.

Samar-samar saya melihat Hariadi melanjutkan perjalanan menuju kedamaian tak terhingga.***

4/5/2022

Pk 18.55

Join the discussion One Comment

Leave a Reply