Mengapa kami semua sedih ditinggal Pudjo? Seketika merasa ngungun ketika kemarin sore menerima kabar lelayu, Thomas Pudjo Widijanto meninggal, Senin 3 Juli 2023 di RS Panti Nugroho Yogyakarta.
Tanyalah Romo Sindhunata, Hari Budiono, Efix Mulyadi, Putu Fajar Arcana, Sutanto Mendut, Ong Hari Wahyu, Pak Pekik, dan lain-lain wartawan atau seniman teman-teman Pudjo yang seabrek-abrek jumlahnya di Yogya.
Dengan pertanyaan yang longgar untuk menggambarkan kewajaran dan keseharian manusia, bukan formalistik dan standar untuk kepentingan pemberitaan.
Yakin mereka semua akan menjawab dengan tertawa-tawa untuk menutupi rasa sedih dan kehilangan. Kalau perlu minum ciu untuk menutupi pilu.
“Dia the last samurai. Samurai tak bertuan perusahaan maupun tim sukses rupiah, dia bersih tanpa tendensi, dia lawasan dalam jalan pena ugahari,” kata Tanto Mendut.
Hanya teman dekat, terikat dalam pertemanan yang sudah lama yang bisa menangkap pernyataan yang amburadul itu.
Sama seperti saya, mungkin Tanto juga lagi kusut pikirannya menerima kabar duka tadi.
Bukan hanya dengan Tanto, tetapi dengan seniman-seniman lain, teman-teman lain, waktu itu selalu ada Pudjo.
Dunia serasa kurang lengkap tanpa Pudjo.
Bersamanya saya menjelajah desa-desa di Gunung Kidul, Wonogiri, Pracimantoro, Baturetno, Eromoko, dan lain-lain, wilayah kebudayaan yang menumbuhkan tokoh kita ini.
Deso mowo coro, negoro mowo toto.
Desa memiliki adat, negara memiliki aturan/hukum.
Bagi saya Pudjo adalah yang pertama, dibentuk oleh desa, adat, budaya, mendalam dalam dirinya melebihi tata cara-tata cara baru.
Kalau toh kemudian kami sama-sama bisa bekerja di lembaga modern Kompas tentulah selain nasib juga dikarenakan kesempatan sejarah generasi kami, sebelum dunia perlahan-lahan diiertibkan seperti taplak meja, nanti bakal lebih rigid lagi dengan apa yang tengah didewa-dewakan orang sekarang, yaitu AI alias artificial intelligence.
The end of history.
Tidak ada lagi kesempatan seperti kami alami dulu, sedikit ngawur untuk memperbaiki diri.
Beberapa kali Pudjo agak sembarangan menulis nama orang.
Demi sama-sama belajar mengenai akurasi, pernah sebagai editor secara sengaja saya mengelirukan byline nama dia sebagai penulis.
Biar tahu rasanya kalau nama yang ditulis salah itu adalah nama kita sendiri.
Saya berharap esok pagi ketika koran terbit akan menerima telepon dari dia, memprotes dan menuntut ralat.
Yang saya harap tidak pernah terjadi.
Dia tidak pernah menghubungi.
Mungkin dia tidak membaca. Atau tidak peduli. Atau barangkali dia terbiasa menerima dunia dengan segala ketidak-genapannya.
Saya memilih menduga dan mempercayai yang terakhir.
Hari Budiono pernah melukis wajah Pudjo dengan cat minyak di atas kanvas dalam ukuran besar, dalam pose seperti lukisan tentang Chairil Anwar yang terkenal.
Entah di mana karya yang saya anggap masterpiece itu sekarang.
Dengan Pudjo segala hal bisa muncul.
Suatu malam bersamanya saya nongkrong di sebuah kafe di daerah yang menyenangkan di Yogya, Prawirotaman.
Ditemani seorang mbak dari kafe itu sampai dini hari, entah ide siapa, dia atau saya (kalau banyak minum bir ingatan saya jadi agak kacau), kami memberi uang pada mbak tersebut agar bisa membeli buku saya entah di toko buku mana di Yogya nanti.
Pudjo rupanya terkesan dengan kecerdasan mbak tersebut.
“Dia perlu baca buku, Mas,” kata Pudjo.
“Semua orang di dunia perlu baca buku, Mas,” saya sependapat dengannya. “Njenengan wartawan Kompas paling TOP,” tambah saya.
Mana ada teman yang bisa membuat hal-hal sehari-hari menjadi luar biasa seperti Pudjo.
Menumbuhkan literasi di kafe.
Jelas saya sedih.
Bagi saya bersama Pudjo adalah Living la Vida Loca.***
4/7/2023
Swargi langgeng Mas Top. Belum sempat ngebeer bareng, hanya denger rengeng-rengeng. Nderek bingah, sekaligus sedih.
Mantap mas bre,
Turut berdukacita, tidak ada lagi yang akan menelpon untuk membuat ilustrasi cerpen. Selamat jalan Mas Pudjo, swarga langgeng 🥰😢🤲