Belakangan ini saya merasa kehilangan banyak sahabat dan teman. Beberapa namanya cukup dikenal masyarakat. Situasi saat ini terus terang membuat saya melulu dibayangi rasa cemas memikirkan sanak saudara, handai taulan, sahabat, teman, dan lain-lain.
Dalam suasana batin seperti itu, saya tertegun sore ini ketika Myrna Ratna menyampaikan kabar duka, Diah Marsidi meninggal dunia.
Baik Myrna maupun Diah adalah teman-teman saya di Kompas dulu. Myrna pernah menjadi kepala desk Kompas Minggu seusai saya. Diah teman seangkatan saya.
Kepergian Diah mengejutkan semua teman. Para senior maupun beberapa teman lebih muda yang sebagian saat ini masih aktif di Kompas semua mengenal Diah.
Mbak Diah teman-teman lebih muda memanggilnya.
Dalam persepsi saya, Diah adalah sosok populer di kantor. Ramah, gembira, membikin nyaman siapa saja.
Secara profesional, ia barangkali merupakan sosok yang cocok dengan rumusan panutan kami, Pak Jakob Oetama dulu.
Orang bekerja itu yang utama jujur dan tekun, begitu Pak Jakob sering berucap.
Diah adalah pekerja yang tekun. Bekerja dalam diam, tidak banyak berkata-kata.
Ia menguasai berbagai bahasa asing, Inggris, Perancis, Spanyol.
Sebagian besar kariernya di desk internasional.
Di situ dia mengolah berita-berita dari mancanegara dengan tekun, akurat, lugas.
Ia orang yang lugas, jernih, pikirannya tidak banyak terkontaminasi emosi apalagi ego yang berlebihan. Sebutannya: dingin.
Jarang sekali dia menulis dengan byline—menyertakan nama lengkap sebagai penulis. Cukup inisial.
Inisial dia sederhana, mencerminkan warna pribadinya: di (huruf kecil semua).
Begitulah sebagian teman di kantor memanggilnya: Di. Ada yang berseloroh memanggilnya Lady Di. Bagi saya—dan begitu saya ingin mengenangnya—Diah adalah orang yang cantik, dengan rambut dipotong sederhana sepundak.
Ia karateka, sebelum kemudian menekuni capoeira.
Kompas menjadi besar karena kerjasama, begitu Pak Jakob selalu menegaskan. Tidak ada manusia sempurna. Kelebihan yang satu menutup kekurangan yang lain.
Dengan ditopang oleh pribadi-pribadi yang tekun dan enggan menonjolkan diri seperti Diah, Kompas terbit setiap hari. Pembaca membaca tulisan, laporan, features, dan lain-lain, kemungkinan tanpa mengenal siapa penulisnya.
Ada beberapa penulis yang cukup dikenal banyak pembaca.
Para penulis seperti itu bisa berada di panggung karena rutinitas koran, didukung oleh mereka yang bekerja tanpa suara seperti Diah Marsidi.
Diah tidak banyak cingcong. Semata-mata teman yang menyenangkan dan membuat nyaman siapa saja yang mengenalnya.
Ia tidak banyak membicarakan dirinya. Termasuk penyakit yang diidapnya.
Tiba-tiba saja dia pergi begitu saja.
Nanti, di bukit sepi, akan datang teman mengunjungimu, berdoa di depan pusara, di mana tertulis:
Diah Kumorowati Marsidi (20 April 1957-6 Mei 2021).***
Turut berduka.
Doa untuk Mba Diah, pemilik senyum manis, cantik, cerdas.
semoga jiwa mbak diah damai dalam kerahiman tuhan
Selamat jalan Di…ke abadian….
Trims tulisan mu membantu ku mengenang Diah yg selalu ceria dan menyenangkan. Selamat jalan Di…
Tulisan pengantar kepergian teman yang begitu lirih. Semoga alm mendapatkan tempat yang layak.
Tulisan jernih yang sempurna menggambarkan sosok Diah. Teman yang baik hati dan tidak pernah mengkhianati. Teman yang tidak pernah mau merepotkan teman, meski dia butuh pertolongan. Kita kehilangan seorang teman yang hebat. Sama hebatnya dengan Pak bre yang menulis Diah dengan sempurna. Selamat jalan Di…🌹
Sbeuah tulisan yang tulus untuk orang tercinta. Jadi iktu haru membacanya.