Skip to main content
Nota

Tarzan, Seni, Srawung

By August 1, 2021One Comment
Tarzan saat shooting di sebuah stasiun televisi di Jakarta pekan lalu.

Sering saya menyatakan bahwa seni = srawung.

Bagi saya pribadi itulah makna berkesenian, sebagai aktivitas untuk mengembalikan pelajaran yang saya dapat dari alam kepada alam itu sendiri melalui masyarakat dan kebudayaan. Oleh karenanya hubungan horizontal dengan sesama menjadi penting, sebuah hubungan yang setara, disertai cinta kasih bukan saling tindas-menindas. Kebajikan tersebut saya dapat dari perguruan silat saya Persatuan Gerak Badan Bangau Putih.

Antara lain dengan menulis buku, saya terhubung  dengan sahabat saya, pelawak Tarzan, mempercakapkan novel terbaru saya Dia Gayatri.

Dalam kegiatan shooting untuk acara televisi, pada saat break ia sering menghubungi saya, bertanya ini-itu mengenai buku yang ia baca di sela-sela istirahat.

“Candi Gayatri iku ono temenan tha?” tanyanya (Candi Gayatri itu benar-benar ada?) dalam logat Ngalam.

Kami berdua biasa bercakap-cakap dalam bahasa Jawa.

Betul ada, kata saya. Letaknya di Boyolangu, Tulungagung.

Percakapan jadi kemana-mana.

Tarzan mengenang bagaimana dulu sebagai pemain ludruk dia berkelana ke berbagai kota di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, dan lain-lain.

Sebagian cerita hidupnya saya mengetahuinya.

Kami berteman akrab sejak awal tahun 80an.

Tahun 1981 dia pindah ke Jakarta sebagai pemain Srimulat, tiap malam pentas di Taman Ria Remaja Senayan, tak jauh dari kantor saya di Palmerah.

Hampir tiap malam saya nongkrong di belakang panggung di tengah para pemain. Saya tidak ikut naik panggung, tapi ikut kebagian rokok yang didapat dari saweran para penonton.

“Bukan hanya malam. Siang pun sampeyan main di kos-kosan saya di Slipi. Naik vespa biru,” Tarzan berucap mengenang masa itu.

Namanya nasib, beberapa hal menghubungkan kami.

Dia lahir di Desa Kanigoro, Kecamatan Gondanglegi. Bukan daerah asing bagi saya. Pakde saya tinggal di Turen tak jauh dari Gondanglegi.

“Semua orang desa kenal pakde sampeyan. Satu-satunya dokter di Turen. Semua orang desa kalau sakit berobat ke situ,” kata Tarzan suatu ketika.

Lahir tahun 1945 dengan nama Toto Muryadi, Tarzan adalah anak kepala desa. Tahun 1960, dalam usia 15 tahun dia bergabung dengan ludruk desa.

Ayahnya mencak-mencak. Sang ayah melabrak ke tempat pertunjukan, mengingatkan, bahwa sebagai kepala desa, merasa berkecukupan, ia mengingini anaknya rajin sekolah dan jadi orang pintar, bukan pemain ludruk.

Bukannya mundur, Tarzan jalan terus, bahkan mulai bergabung dengan rombongan ludruk yang lebih profesional, Bintang Masa. Bersama Bintang Masa ia mulai keliling ke kota-kota di sekitar Malang.

“Ayah akhirnya nyerah. Saya ingat nasihatnya: saya hanya bisa mendoakan agar nasibmu baik. Apa pun yang kamu lakukan, lakukanlah dengan tekun,” cerita Tarzan.

Dalam pengelanaan sebagai anak panggung, Tarzan yang ketika itu masih dikenal dengan nama Muryadi mengimpikan punya istri yang rumahnya di pinggir jalan besar.

“Supaya kalau malam-malam saya habis manggung, naik kendaraan, turun tidak perlu jalan di gang. Langsung depan rumah,” kenangnya.

Sampai kemudian seorang teman memberi tahu, ada wanita, lajang, cantik, rumahnya di jalan besar di dekat Pasar Pakisaji. Pakisaji adalah daerah di antara jalan besar Malang-Kepanjen.

Bersama sang teman, Tarzan menyatroni rumah wanita ini, dengan berpura-pura mencari alamat teman.

Dari situ perkenalan bermula.

“Begitu melihat dia, saya hampir semaput,” cerita Tarzan. Dia menambahkan, ternyata seingatnya ia hampir semaput karena waktu itu lapar, belum makan.

Wanita ini bernama Sulistina. Selain baik hati, sabar, saya mengenalnya sebagai pinter menjahit.

Tidak sampai sebulan perkenalan, tanggal 1 Oktober 1969 keduanya menikah.

Beberapa kali tatkala mereka memperingati ulang tahun pernikahan, saya datang.

Pernah disertai makan-makan di sebuah restoran di Kelapa Gading—kawasan yang agaknya seluk-beluknya diakrabi Tarzan.

Tahun 1978 ketika bersama rombongan ludruk Tarzan main di kota Malang, pada saat bersamaan tengah berpentas grup sandiwara yang sangat terkenal pada masa itu, Lokaria.

Kelompok asal Jakarta ini didukung pemain-pemain yang pada zamannya kemudian dikenal sebagai pemain-pemain film. Sebut saja antara lain Darussalam dan Netty Herawati.

Dimiliki oleh pasangan Amang Gunawan  dan Maleha, saat Tarzan melihat sandiwara ini di situ ada pemain-pemain cukup moncer namanya yakni Lailasari, Iskandar, Asmuni, dan Herry Koko.

Tarzan tertarik bergabung dengan Lokaria.

Sang pemilik, Amang Gunawan, menerimanya dengan tangan terbuka.

Tarzan masih ingat persis tanggal dia mulai bergabung dengan Lokaria: 5 Maret 1978.

Suatu malam Lokaria hendak menampilkan lakon berjudul Tarzan dan Gadis Sandra.

Ia didapuk untuk memerankan tokoh Tarzan.

Amang Gunawan sejak itu menabalkan nama Tarzan padanya, agar lebih mudah diingat orang.

Pada waktu itu, di Surabaya mulai berkibar-kibar nama kelompok sandiwara lainnya, Srimulat. Beberapa pemain Lokaria, termasuk Asmuni, hijrah bergabung dengan Srimulat. Teman-teman membujuk Tarzan untuk ikut pindah ke Srimulat.

“Saya bergabung dengan Lokaria persis setahun. Masuk 5 Maret 1978, keluar 4 Maret 1979,” kata Tarzan yang sedari dulu saya kenal memiliki ingatan bagus.

Srimulat melebarkan sayap ke Jakarta. Rombongan di bawah pimpinan Teguh yang brilian ini mendirikan gedung untuk pentas tiap malam di Taman Ria Remaja Senayan.

Tiap malam tempat pertunjukan penuh, dengan penonton-penonton bermobil.

Dari sini melesat nama-nama terkenal, Jujuk sebagai primadona dengan penampilan di panggung kinyis-kinyis, Gepeng, Asmuni, Basuki, Tarzan, dan lain-lain. Tak saya lupakan Rina.

Pada perkembangan berikutnya, selain di Jakarta dan Surabaya, Srimulat juga membuka panggung di Solo dan Semarang.

Untuk menyedot penonton di daerah, sebulan sekali bintang-bintang di Jakarta dikirim ke Surabaya, Solo, atau pun Semarang.

Pernah saya menyertai Tarzan pentas di panggung Srimulat di Surabaya di kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR).

Usai pentas, para pemain tidur di lingkungan panggung di dalam THR.

Malam hari, THR telah tutup, saya berjalan-jalan di lingkungan THR bersama Tarzan sambil ngobrol sampai larut malam.

Makan martabak.

Primadona panggung Srimulat Surabaya adalah Vera. Cantik dan pintar. Saya memotretnya menghabiskan banyak rol film. Sebagian besar hasilnya kabur. Saya gagal fokus.

Awal saya tinggal di Ciawi, Tarzan datang menengok saya.

Kami selalu berhubungan.

Hanya di musim pandemi ini kami tidak lagi bisa bertemu langsung.

Ia selalu membaca tulisan saya di Kompas. Juga buku-buku saya.

Saat ini dia membawa-bawa novel saya Dia Gayatri ke tempat shooting. Untuk bacaan di kala senggang menunggu giliran take.

Dia menelepon bertanya beberapa hal dalam novel itu.

Bagaimana saya bisa menggambarkan raja Kertanagara, kecantikan Gayatri, hubungan Dara Petak di atas kapal dengan pemuda yang katanya membuatnya terangsang, dan lain-lain.

Begitulah kami senantiasa terhubung.

Melalui kesenian.

Saya mempercayai pitutur Jawa:

Ono niro ono ningsun; ono ningsung ono niro.

Kamu ada karena aku; aku ada karena kamu.***

1/8/2021

Join the discussion One Comment

  • Yohanes Krisnawan says:

    Terimakasih mas BRE, cerita yang inspiratif tentang “srawung” yang pasti butuh kalimat panjang untuk menjelaskannya dalam Bahasa Indonesia.

Leave a Reply