UNTUK adik pembakar sekolah, kita berbagi pengalaman yang hampir sama. We share the same experience.
Dihina dan dikucilkan semasa sekolah seperti engkau alami di kelas VII SMPN 2 Pringsurat, Temanggung, Jawa Tengah—istilah kemInggrisnya sekarang dibully—saya alami dalam periode sama denganmu puluhan tahun silam. Bedanya saya tidak seberani dan seheroik kamu, membakar sekolah.
Dari berbagai pemberitaan online yang menarik perhatian saya, bukan hanya teman mengolok-olok dan mengeroyokmu, tapi juga beberapa gurumu. Kamu sering diejek, dipanggil dengan nama orangtuamu.
Jelas aku merasakan kepahitanmu. Aku tidak atau tepatnya belum mengenal engkau maupun keluargamu, tapi malah membayangkan masa laluku ketika aku dipanggil dengan nama bapakku: anggota partai terlarang yang kala itu tak jelas nasibnya.
Melapor ke guru?
Kau telah melakukannya.
Lagi-lagi itulah bedanya kita, pada masa itu anak-anak yang bernasib sama di lingkungan sekolah maupun luar sekolah, jarang berani melapor ke guru. Apalagi dengan latar belakang seperti saya sebut tadi, di mana kesedihan dan air mata bahkan harus disembunyikan.
Padahal apa yang kami tahu atau apa urusan kami dengan dinamika politik kekuasaan kala itu.
Tahu juga kagak.
ZAMAN telah berubah, tapi tradisi kekerasan yang telah mengakar tak begitu saja nyisih oleh perubahan zaman. Bahkan kini diamplifikasi dengan ujaran-ujaran kebencian di berbagai platform digital.
Engkau membakar sekolahmu, dinihari Selasa Wage tanggal 27 Juni 2023.
Habislah sekolahmu.
Beda dengan sekolahku dulu yang sampai kini masih berdiri, sama seperti sejumlah gedung lain di kota itu maupun di kota-kota lainnya yang untuk sejumlah orang barangkali menjadi monumen yang diam-diam menyembunyikan pengalaman pahit.
Tidak apa. Semua bangsa menyimpan trauma masing-masing.
BAGI sejumlah orang jelas dunia bisa terasa tak adil. Hanya saja, percayalah, kehidupan tidak berjalan linier.
Pada masa selanjutnya dari masa yang saya singgung tadi, perlahan-lahan saya mulai menyadari bahwa apriori terhadap sekolah bukan hanya milik saya, milikmu sekarang ini, tapi milik banyak manusia di dunia, bahkan di negara-negara yang jauh lebih maju dan beradab dari negeri kita.
Persoalannya sama saja, masyarakat kadang bertumbuh dalam suasana saling tindas. Itulah sebabnya, api cinta kasih selalu relevan untuk digelorakan dari zaman ke zaman.
Yang juga perlu diingat, kita bertumbuh tidak melulu dalam satu garis meridian bernama sekolah. Ada meridian-meridian lain yang tak kalah penting ikut menentukan hidup kita, entah itu pergaulan, nasib, bacaan, musik, film, keberuntungan, dan lain-lain, pendeknya apa yang akan terjadi pada kita bisa serba tak terduga.
Engkau tak perlu segera memahami istilah yang kupakai: divine intervention.
Masa remaja saya mulai hapal lirik lagu yang menjadi hymne kami masa itu.
Pink Floyd, “The Wall”:
We don’t need no education
We don’t need no thought control
No dark sarcasm in the classroom
Teacher, leave them kids alone
Ada juga pada masa itu film Inggris berjudul Melody, disutradarai Waris Hussein. Berupa film musik menggambarkan dunia anak-anak sekolah, selain adegan romantik sepasang bocah ingusan kabur dari sekolah diiringi lagu amat romantik First of May dari Bee Gees, adegan yang tak terlupakan adalah saat salah satu murid melemparkan bom ke mobil guru.
Saya ingat seisi gedung bioskop tepuk tangan.
BEGITU agak beruntung bisa melalap bacaan, saya mengenang buku yang saya baca semasa mahasiswa dan saya ingat sampai sekarang: Pedagogy of the Oppressed karya seorang santo pendidikan dari Brazil, Paulo Freire. Buku itu sangat terkenal, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kaum Tertindas.
Melalui analasis hubungan antar klas dalam Marxisme, Freire menengarai hubungan antara pendidik dan si tedidik banyak yang tak ubahnya seperti hubungan pihak kolonial atau penjajah dengan yang dijajah.
Sampai sini kita niscaya sama-sama paham bagaimana pendidikan di negeri kita. Dalam hampir semua bidang relasi antara yang berkuasa dan rakyat masih berbau kolonialistik dan feodalistik.
Freire wanti-wanti, mustinya guru tidak memperlakukan murid tak ubahnya celengan babi. Bejana kosong untuk menyimpan tabungan—dalam metafora ini tabungan ilmu.
Murid seharusnya menjadi ko-kreator pengetahuan, bukan hanya obyek yang segala hal dijejalkan. Bagi saya pribadi, kelewat banyak pelajaran sekolah yang saya anggap tidak ada gunanya.
Pemikir pendidikan yang lain yang tak kalah menonjol, Ivan Illich, juga pernah mengecam keras lembaga sekolah melalui Deschooling Society.
Bagi saya kalau ada hal paling berharga dari sekolah yang bisa saya refleksikan saat ini adalah saya belajar melatih kesabaran mengarungi waktu yang membosankan bernama masa sekolah.
BANYAK sekali sejatinya hal yang ingin saya sampaikan padamu, tapi untuk sementara ini dulu. Kalau nota saya ini tidak atau belum sampai padamu, atau andaikata sampai pun kamu barangkali tidak memahaminya, juga tidak apa.
Jangankan engkau, guru-gurumu pun belum tentu paham.
Pada suatu waktu nanti, andai hidup yang sering tak terduga ini membuka kemungkinan, istilahnya keleresan, siapa tahu kita bisa bertemu dan berkenalan.
Gunung Sindoro-Sumbing yang luar biasa cantik itu, yang menginspirasi para seniman Belanda sampai lahirnya Mooi Indie, siapa tahu bakal menjadi latar belakang kita berbincang, engkau menceritakan hidupmu sebagai wakil dari yang disebut Freire “the oppressed”, kaum tertindas.
Percayalah, aku pendengar yang tekun, dan sanggup menuliskan untukmu.***
2/7/2023
Lebih banyak lidah yang membahas lidah api, melainkan sedikit yg paham sumber api.
Anak baik yang disakiti.
Saat api besar menjadi pelipur ketertindasan…lalu kemudian bisa berkata apa kita?