Skip to main content
Nota

Untuk Sam Rido

By June 1, 2023One Comment

MENJAWAB pertanyaan Rido Oetoro mengapa beberapa waktu belakangan saya jarang nulis saya ingin katakan bahwa saya senantiasa menulis. Rido adalah kawan baik yang sejauh ini saya kenal hanya melalui peranti digital. Dia tinggal di Malang, dan saya berterimakasih pernah dikirimi kopi robusta produk Dampit yang luar biasa cita rasanya.

Sekaligus ini menjawab pertanyaan serupa dari beberapa teman dan kenalan yang lain.

Saya adalah pengrajin tulisan—demikian saya melabeli diri sendiri.

Dalam pengertian ini—meski sekarang ini saya sebutannya pensiunan—saya tetap menulis sebagaimana dulu selama 35 tahun dari 1982-2017 saya bekerja sebagai wartawan koran Kompas.

Mungkin ada benarnya jawaban ngawur saya pada hari pensiun, November 2017.

Waktu itu ada yang bertanya: setelah pensiun mau mengerjakan apa?

Saya jawab: ketika saya bekerja saya tidak kerja; ketika saya tidak bekerja saya kerja.

Kenyataannya, sulit saya merumuskan makna sebenarnya kegiatan menulis bagi diri sendiri.

Saya rumuskan sebagai pekerjaan, saya merasa tidak bekerja ketika menulis.

Sebaliknya saya sebut bukan pekerjaan, nyatanya itulah yang menghidupi diri saya. Memenuhi benak dan hasrat dari bangun tidur sampai tidur lagi.

Sebelum kemudian “bekerja” di Kompas di Palmerah yang saya cintai saya juga sudah senantiasa menulis.

Di pers kampus, di koran daerah, koran nasional, dan entah apa lagi bulletin ini itu.

Ada yang saya menerima bayaran ada yang tidak.

Maka ketika diterima menjadi wartawan Kompas dan mendapat gaji bulanan yang untuk ukuran hidup saya yang tak seberapa terasa begitu besar, saya terheran-heran.

“Aneh juga, saya main-main ada yang sedia bayar,” gagas saya.

SAYA punya inklinasi terhadap sastra. Ariel Heryanto adalah salah satu dosen literature saya semasa kuliah di UKSW. Makanya saya senang sama dia dan berhubungan sampai sekarang karena dulu dia memberi saya nilai A.

Seperti Rido, dia “kera ngalam”.

Bekerja sebagai wartawan, menulis berita sehari-hari, saya anggap pekerjaan pertukangan.

Craftsmanship.

Saya melakukan dengan gembira.

Pak Jakob Oetama sering mengatakan: jangan remehkan apa yang kita lakukan sehari-hari. Tulisan-tulisan kecil sehari-hari itu ibarat kain perca. Suatu waktu kita bisa menyambung-nyambungnya menjadi oto.

Beliau orang lama. Bagi yang tidak tahu, oto adalah semacam celemek, dibikin dari potongan-potongan kain, dikenakan pada bagian dada anak kecil.

Dengan itu ia hendak mengingatkan, tidak ada yang sia-sia dengan rutinitas.

Dengan kemampuan reflektif, sesuatu yang biasa-biasa saja sehari-hari bisa menemukan konfigurasi untuk menjelaskan sesuatu yang lebih besar.

Bahkan bagi yang titen bisa memiliki daya prophetic.

Terhadap begawan seperti Pak Jakob saya cenderung tidak bertanya, minta penjelasan, pengin diterangkan, dan seterusnya.

Tidak paham ya tidak apa-apa.

Pokoknya saya turuti dan lakukan apa yang dia katakan.

Dalam proses pertukangan atau craftsmanship perlahan-lahan saya menyisipkan sikap pribadi pada apa yang saya tulis.

Saya tidak tahu istilah yang tepat.

Mungkin personalization.

Biar sedikit ada warna pribadi.

Lumayan bangga ketika ada beberapa orang mengatakan, tanpa lihat inisial penulis di akhir berita di koran, saya tahu itu tulisan kamu.

Siapa mereka itu?

Keluarga saya: ibu, adik, saudara, pacar, ha-ha-ha.

Tidak apa.

Sudah lebih dari cukup.

Menulis itu berkomunikasi dengan orang lain. Kalau berkomunikasi dengan orang dekat saja tidak sanggup mana mungkin bisa berkomunikasi dengan publik yang anonim.

DALAM waktu senggang saya tidak bisa melepaskan godaan untuk melakukan eksperimen-eksperimen untuk membebaskan diri dari kerutinan pekerjaan jurnalistik.

Eksperimen yang saya maksud adalah sesuatu yang seperti saya sebut tadi: inklinasi terhadap sastra.

Setelah craftsmanship, personalization, saya mencoba memasukkan satu unsur lagi, creativity.

Saya bereksperimen dengan kemungkinan bahasa.

Dalam bahasa terkandung kekuatan imajinasi dan kognisi.

Makanya jangan main-main dengan bahasa.

Jangan suka berkata tidak baik pada orang lain maupun pada diri sendiri.

Bahasa itu mantra.

Kembali saya menulis fiksi.

Ketika saya baca ulang, cerpen-cerpen yang saya tulis pada akhir tahun 1980an atau awal 1990an tidaklah terlalu memalukan.

Terus terang saya tidak melihat perbedaan antara jurnalisme dan sastra.

Keduanya bagi saya sama saja.

Aktivitas di situ adalah menulis.

Krida surat.

Terlebih kalau coba saya pikir mengenai hakekatnya.

Keduanya memiliki imperatif yang sama: kebebasan.

Saya merasa itu cocok dengan diri saya.

Saya kurang mampu menjadi bagian dari kelompok besar, organisasi, baris-berbaris, buzzer, dan semacamnya.

Itulah untuk apa yang saya lakukan sehari-hari tersebut saya lebih sreg dengan istilah seperti saya sebut di atas: pengrajin tulisan.

Menulis adalah pekerjaan dalam kesendirian.

Yang dibutuhkan tidak banyak, hanya kertas dan bolpen.

Sekarang dilengkapi laptop.

Dalam tidak menulis pun saya menulis.

Seperti ikan.

Berada di dalam air tahunya berenang.

Jadi begitulah Sam Rido.

Biarlah orang-orang lain mengerjakan apa saja.

Ogut tahunya menulis.

Ikan kalau tidak berenang mati.***

1/6/2023

Join the discussion One Comment

  • Rido Oetoro says:

    Sampai lupa bahwa tajuk itu menyerupai nama ogut .. he ..he .. he ..

    Terus terang atau terang terus .. ogut boleh dibilang kerap mengomentari tulisan piyantun Salatiga yang di pengamatan ogut klebu unik dan mBois .. kerap mengomentari, menjurus ngomyang maybe, atau apalah istilah nan identik .. sejatinya itulah salah satu cara, bahwa ogut demen, ogut remen, karena suka atau tak, para penulis itu kan sosok manusia juga yang ber-hati, punya empati, dan tentu peduli pada dan kepada apa saja .. menyapa bagi ogut sih seolah “sambung rasa” .. istilah yang akrab kala itu dalam “kelompok capit” ..

    Dan .. membaca dan menyimak tulisan Bung Gondrong itu kerap juga seolah lagi menikmati “ombak banyu” di pasar malam. Awalnya pelan .. terayun-ayun .. melenting kemudian dibanting .. namun ogut justru terhindar dari “gulung Koming”. He he he .. 🙏☕

Leave a Reply