Skip to main content
Nota

Yani Mariani & Kala Anjampiani

By April 24, 2023No Comments

Suatu hari bulan puasa lalu, sama seperti hari-hari lain kala senggang saya ke studio seniman Yani Mariani Sastranegara di kawasan Jombang, Tangerang Selatan, tak jauh dari ruang kerja saya di Bintaro. Praktis kami bertetangga, hanya butuh waktu 5 menit mengendarai vespa ke tempat dia.

Saya biasa nyelonong begitu saja seperti di kampung lama dulu biasa menenangga sesuka-suka.

Biasanya dia saya dapati sedang kerja, berkutat dengan karya-karya patung yang dalam hal ini dia adalah salah satu pematung kontemporer terkemuka negeri ini. Karya-karyanya ambil bagian dalam pameran di dalam maupun luar negeri, dikoleksi para kolektor terkemuka,  berada di ruang-ruang publik pada berbagai proyek.

Suaminya, Santo, sama-sama lulusan IKJ zaman dulu seperti dia, juga saya kenal baik.

Bertetangga dengan pasangan ini saya bahagia, merasa menemukan spirit kehidupan lama, kongkow sesuka hati sambil ngopi, bicara ngalor ngidul, terlepas dari managemen kota besar.

Dulu Santo punya kelompok band. Latihan di salah satu sudut di studio itu juga membawakan lagu-lagu lama zaman Uriah Heap, masa jadi seniman cukup dengan modal gondrong.

Reinventing the past in contemporary living, bisik saya dalam hati untuk diri sendiri.

PERBINCANGAN dengan Yani selalu mengandung nuansa spiritual. Ia sedang mengerjakan patung perunggu berbentuk laba-laba.

Gara-garanya, suatu hari saya dan istri saya Vivi ke Magelang, ke rumah sahabat kami kolektor terkenal Dokter Oei Hong Djien, biasa kami panggil OHD.

Di tempat OHD yang banyak art work kelas wahid kami melihat instalasi semut karya Kelompok Semut.

Saya tidak tahu kalau karya tersebut diam-diam memberi inspirasi Vivi untuk membikin karya mengekspresikan novel saya yang tahun lalu memperoleh penghargaan sastra dari Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kidung Anjampiani.

Untuk itu siapa lagi seniman yang bisa membantu mewujudkan kecuali Yani Mariani.

Vernacular bagi saya pengertiannya adalah suatu ruang sosial di sekeliling kita di mana segala kemungkinan kreatif bisa muncul.

Ruang sosial ini adalah pertetanggaan saya dengan Yani dan Santo.

Masih banyak lagi seniman, kalangan film, arsitek, di sekeliling kami.

NOVEL dengan latar belakang Majapahit Kidung Anjampiani dengan tokoh utama Kuda Anjampiani sendiri saya anggit terpicu oleh laba-laba yang banyak membangun sarang berupa jaring-jaring di tempat tinggal kami di Ciawi.

Pada kekosongan ruang yang menipu mata kita dengan warna langit kebiruan—menipu, karena langit tidak biru, bahkan tidak punya warna—saya melihat laba-laba besar tengah memintal jaring.

Perlahan-lahan tercipta instalasi natural dia di angkasa di antara pucuk-pucuk ranting pohon.

Saya tersentak.

Dalam kekosongan, kehampaan, sang laba-laba telah menciptakan ruang.

Langit tanpa rupa, bumi tanpa rasa.

Ruang tercipta karena bentuk.

Dari tiada menjadi ada.

Dengan seketika obsesi saya mengenai salah satu babak dalam sejarah Majapahit yang terus menghuni otak selama ini menemukan bentuk: inilah tokoh saya.

Laba-laba.

Ya, laba-laba….

Jadilah engkau Pujangga Laba-laba.

Kutahbiskan: namamu Kuda Anjampiani.

Dengan sarangmu kamu tidak hanya mengais makanan tapi juga memori.

Seperti kesetanan saya mulai menulis.

Begitu naskah rampung, saya meminta sahabat saya Salomo Simanungkalit untuk memeriksa sekaligus menyunting naskah ini ketika Wijaya Eka dari Tanda Baca bersedia menerbitkannya.

Yang saya minta untuk membikin gambar cover buku cucu saya, Arhazza Amantyari, panggilannya Ara.

Saya selalu doa cucu saya ini akan jadi seniman besar.

Bertransformasilah laba-laba tadi menjadi tokoh, cerita, gambar, dan yang utama: rasa syukur pada apa yang diberikan alam kepada kami.

“KETIKA saya sambil tiduran hendak membaca Kidung Anjampiani dan mulai membuka halaman buku, tiba-tiba ada sesuatu jatuh di tangan kanan saya. Saya perhatikan, ternyata laba-laba kecil. Laba-laba ini kemudian bergerak menyusuri tangan saya, melintasi buku yang saya pegang, lalu pergi,” cerita Yani.

Merinding saya mendengar ceritanya.

Banyak sekali cerita Yani bersangkutan dengan karya-karyanya.

Itulah sebabnya dari dulu pun saya sangat suka menunggui Yani berkarya.

Apalagi saya sering kangen dengan gado-gado dari penjual di dekat studionya.

Paling enak sedunia.

MENJELANG Lebaran tiba-tiba Yani menelepon, akan mengirim asisten untuk mengukur tempat di mana laba-laba karyanya hendak dipasang di tempat berkarya kami di Bintaro.

Dia akan mmbikin persiapan pemasangan.

Terus  terang sebelumnya saya sering merasa heran, ketika mengerjakan instalasi laba-laba ini dia tidak pernah tanya Vivi maupun saya mengenai ukuran.

Dia membikin begitu saja—membuat saya berdecak dalam hati: ini orang pede amat sih.

Mau minta penjelasan tidak berani, merasa segan.

Sehari setelah pengukuran, bersama beberapa asisten dia muncul dengan mobil bak terbuka membawa si laba-laba.

Dipasanglah sang laba-laba di tempat yang telah diukur sehari sebelumnya.

Aneh bin ajaib.

Dari segi ukuran, proporsi, dan lain-lain, di mata kami begitu pas.

Laba-laba itu seakan menentukan tempatnya sendiri.

Saya tercengang dan terheran-heran.

Ada karya favorit saya di dunia, patung besi berupa mawar dan tangkainya setinggi lebih dari 10 meter karya seniman Jerman Isa Genzken di Museum of Modern Art (MoMA) New York.

“Rose II” (2007), begitu judul karya tersebut.

Sama terpesonanya saya melihat karya Yani.

Atas persetujuannya, saya beri judul karya ini:

“Kala Anjampiani” (2023) karya Yani Mariani.

22/4/2023

Leave a Reply