Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (4)

By February 21, 2021No Comments

Gandrung, wuyung, kasmaran, dalam teater rakyat ketoprak atau pun wayang orang selalu diceritakan dengan menggambarkan si pelaku menjadi mata gelap seperti Minak Jingga. Semua yang dilihatnya dia kira wanita yang terus-menerus menghuni pikirannya, membikin hati gelisah, malam tak bisa tidur, melulu terbayang-bayang dirinya. Pokoknya modar.

Cinta dengan gejala jiwa seperti di atas pernah saya garap dalam beberapa cerpen, di antaranya dalam “Bulan di Atas Legian”, saya tulis Maret 1989, muncul dalam buku kumpulan cerpen Urban Sensation yang dicetak dua kali, tahun 1993 dan 2008.

Tokoh utama dalam “Bulan di Atas Legian” melulu terbayang-bayang wanita yang dirindukannya, namanya Maggie (dari karya yang saya bikin 32 tahun lalu itu terus terang saya telah lupa siapa Maggie yang dirindukan oleh tokoh tadi, apakah Maggie Cheung atau Maggie yang lain). Kutipan dalam cerpen tersebut antara lain:

“Saya sering merasa konyol. Memburu orang, yang saya sangka Maggie. Entah di lobi hotel, di bioskop, di supermarket, di toko, di jalanan. Padahal, mirip pun sebenarnya juga tidak. Saya sadar kekonyolan ini. Itu semata-mata harapan saya.”

Yang hendak saya katakan di sini ialah betapa dongeng, cerita rakyat, legenda, mitologi, diam-diam sangat mempengaruhi diri saya. Minak Jingga-Damarwulan, salah satu dongeng favorit, tak pernah membuat saya bosan, setiap saat selalu menimbulkan interpretasi baru.

Kali ini saya mencurigai Minak Jingga adalah rekaan pujangga yang secara tersamar hendak melakukan kritik terhadap kekuasaan yang besar, mutlak, dalam hal ini Majapahit. Dia sejatinya sebuah esai panjang mengenai kekuasaan, sebagaimana dramawan Rendra melakukannya, melalui karya yang saya anggap monumental, Panembahan Reso.

Dongeng Minak Jingga turun temurun dan berkembang dari zaman ke zaman dengan berbagai versi. Versi-versi turunan adalah interpretasi atau penafsiran atas versi sebelumnya. Sampai akhirnya tak jelas lagi mana sebetulnya versi asli dan mana versi turunan. Versi yang saya sampaikan ini jelas versi turunan. Saya menulis di Ciawi. Kalian boleh sebut ini Minak Jingga versi Ciawi.

Dalam versi Ciawi, Blambangan kemudian menyerang kadipaten Puralingga. Serangan sangat tak terduga. Blitzkrieg. Para buto mengobrak-abrik Puralingga. Penguasa Puralingga, adipati Minak Surangga tidak mampu membendung serangan Blambangan. Ia dikalahkan oleh para raksasa, diikat, dibawa ke Blambangan, dijebloskan ke penjara.

Begitu pun dua putri Minak Surangga, kakak beradik Wahita dan Puyengan. Mereka diboyong ke Blambangan. Berbeda dari ayahandanya yang dijebloskan ke penjara, dua wanita rupawan ini ditempatkan di kaputren.

Para raksasa membangun kaputren dengan seketika. Mereka punya reputasi membangun 1000 candi dalam semalam. Jadilah kaputren megah, tempat tidur berhias kelambu pelangi, kolam untuk berendam dengan air bunga, disertai taman bak mayapada. Waktu itu belum ada seni rupa semutakhir karya Andy Warhol untuk penghias dinding. Tidak apa. Keputren tetap luar biasa.

Minak Jingga ingin memperistri Wahita dan Puyengan.

Bersambung

Leave a Reply