Skip to main content
Cerita

Minak Jingga dan Saya (6)

By February 24, 20213 Comments

Tuban. Masyarakat Tuban sangat mencintai Rangga Lawe. Kota ini sering disebut Bumi Rangga Lawe.

Beberapa kali saya mengunjungi Tuban. Malam hari biasanya saya nongkrong di warung kopi pinggir jalan tepi pantai. Debur ombak mengingatkan lagu Leo Kristi, Gulagalugu. Rosihan Nurdin suka lagu ini.

Salah satu kunjungan paling mengesankan adalah ketika saya diajak ke situ oleh Ais Suhana. Sebagai promotor musik, Ais menggelar konser Koes Plus di kota kelahiran kelompok musik legendaris ini. Putra-putra Koeswoyo lahir di Tuban, sebelum keluarga  pindah ke Jakarta.

Saya ingat betapa Koes Plus dicintai, dihormati, dan disanjung-sanjung di Tuban. Mengikuti Mas Yok Koeswoyo, kemana-mana kami dikawal voorijder  polisi. Saya merasa jadi adipati.

Malamnya Mas Yok dengan grup bandnya manggung. Gedung pertunjukan penuh. Penonton menyambut hangat putra kebanggaannya pulang kampung. Sepanjang pertunjukan mereka ikut bernyanyi. Oh, Tuban.

Paginya sambil bermalas-malasan di hotel tempat kami menginap Mas Yok bercerita masa kecilnya di Tuban. Mas Ton—begitu dia menyebut kakaknya Tonny Koeswoyo yang telah almarhum—ketika kecil sering mengumpulkan ember dan kaleng-kaleng, ditabuh sebagai drum. Teman-teman dan saudara-saudaranya kagum. Dari kecil agaknya Tonny Koeswoyo telah memperlihatkan musikalitasnya yang luar biasa. Mas Yok sendiri, seperti diceritakan saudara-saudaranya, tukang berkelahi.

“Saya memang paling sering berkelahi,” Mas Yok terkekeh.

Dia mengajak saya menikmati jajanan kas Tuban yang baru saja dibelinya di pasar. Namanya kue dumbek. Terbuat dari tepung beras, daun pandan, dan gula jawa, kue ini warnanya cokelat dibungkus daun kelapa menyerupai terompet. Manis, kenyal, lembut, enak setengah mati. Kalau ada pembaca saya di Tuban, tolong upahi saya kue itu.

Menempatkan Rangga Lawe dalam cerita Minak Jingga seperti versi yang beredar dimana-mana dan saya ikuti ini, jelas ngawur tingkat dewa. Rangga Lawe hidup pada pemerintahan pertama Majapahit di bawah Raden Wijaya. Ia diangkat sebagai adipati Tuban, tahun 1295 berontak karena tidak puas dengan keputusan politik Majapahit mengangkat Nambi sebagai patih.

Majapahit diperintah penguasa perempuan tahun 1328-1351 (Tribhuwana Tunggadewi) dan tahun 1427-1447 (Suhita). Perlawanan Minak Jingga umumnya dihubungkan dengan Perang Paregreg, perang saudara yang melemahkan sendi-sendi Majapahit tahun 1404. Mau dihubungkan dengan Perang Paregreg ataupun Suhita, selisih sekitar 100 tahun kiranya Rangga Lawe telah menyatu dengan tanah.

Kecenderungan para pendongeng: mereka menokohkan siapa saja untuk mengekspresikan pandangan sendiri. Pencerita memilih, mengambil, menghidupkan sosok entah siapa untuk mengekspresikan dirinya. Rangga Lawe adalah personifikasi dari ekspresi politik si pencerita.

Begitu pun Minak Jingga. Ia dikarang-karang untuk mengekspresikan pandangan dan sikap politik penciptanya.

Mengapa sikap politik diekspresikan melalui dongeng?

Dari zaman dulu kala di belahan dunia mana saja, dongeng adalah sumber kebajikan. Kebudayaan dibangun di atas dongeng.

Berita yang kalian anggap nyata banyak bohongnya. Kasunyatan, truth, adanya pada fiksi, pada dongeng.

Teroktoktoktoktoktok…

Esok akan saya ceritakan Rangga Lawe yang kini telah jadi senapati peperangan Majapahit.

Bersambung

Join the discussion 3 Comments

Leave a Reply